18 Juni 2014

opini musri nauli : Kata dan Makna



Akhir-akhir ini kita disodorkan kata-kata yang bombastis, kata-kata yang nyelekit, kata-kata yang bertujuan counter, kata-kata yang menyejukkan. Semua berangkat dari “pemahaman” seseorang yang mengenal dan memahami kata-kata itu sendiri.

Saya memulai dengan tema yang sering disampaikan dalam hiruk pikuk pilpres. Kata-kata “boneka”, “amanah”, “tegas”, kebocoran, berhadapan dengan kata-kata blusukan, Merakyat, sederhana, “baik” dan sebagainya.

Sebagai identitas pembeda, penggunaan kata haruslah mampu mempengaruhi orang untuk menilai sang pengabar kata. Kata yang digunakan harus mampu menggerakkan orang untuk melakukan/tidak melakukan sesuatu. Kata yang digunakan mampu membuat orang merenung dan berfikir.

Dengan kata, maka persoalan menjadi jelas. Problema bisa terurai. Identitas dapat diukur antara suatu dengan yang lain.

Pada awal kemerdekaan, kata-kata “proklamasi” begitu dahsyat menggelorakan rakyat Indonesia memandang kemerdekaan. Dengan kata “proklamasi”, Soekarno mampu menyisir rakyat Indonesia dan bergerak melawan kedatangan Belanda setelah dinyatakan “merdeka” oleh Soekarno – Hatta.

Dengan kata-kata proklamasi, para pemimpin bangsa Indonesia (founding father) meyakinkan sebagai negara berdaulat, negara yang mandiri, negara yang merdeka.

Mereka bisa membusungkan dada bertemu dengna pemimpin-pemimpin dunia dalam berbagai forum internasional. Dengan kata “proklamasi” mereka bisa membicarakan berbagai persoalan dunia.

Kata-kata “proklamasi” mempunyai daya magnet yang menggerakkan, membangun rakyat Indonesia setelah dijajah oleh Belanda. Proklamasi mempunyai makna “sebagai manusia merdeka” sebagai bangsa yang berdaulat.

Sehingga kata “proklamasi” bukanlah sekedar kata. Bukanlah sekedar slogan semata. Kata Proklamasi mempunyai makna yang sampai sekarang bisa menggambarkan suasana politik setelah kemerdekaan.

Setelah Soekarno tumbang, Soeharto mengeluarkan kata magnis. Pembangunan. Sebuah kata yang menghipnotis rakyat Indonesia dan kemudian berbaris di belakang Soeharto.

Soeharto kemudian menjadikan kata “pembangunan” sebagai term. Sebagai “navigasi” untuk menangkap gagasan Soeharto. Menangkap pesan dan arah dari politik Soeharto.

Dengan kata-kata “pembangunan”, Soeharto “membungkus” ekonomi. Menutupi agenda politik. Menentukan arah hendak kemana bangsa Indonesia dibawa.

Dengan kata-kata “pembangunan”, maka Soeharto menasbihkan diri sebagai “pioner” dan kemudian membangun diri sebagai “proses” membangun bangsa.

Kata-kata ini kemudian menjadi magnis. Tanpa reserve. Tanpa boleh diintervensi, diinterpretasi diluar dari Soeharto.
Diluar itu, maka dianggap sebagai “pengganggu pembangunan”. Sebuah padanan dari mereka yang “dianggap” berseberangan gagasan dengan Soeharto.

Kata-kata pembangunan kemudian kehilangan makna ketika dihadapkan dengan kenyataan yang berbeda dengan disampaikan. Kata-kata pembangunan kemudian dibenturkan dengan tingkat inflasi, tidak menyebarkan gagasan ekonomi berdasarkan konstitusi.

Kata-kata pembangunan kemudian diperlihatkan tingkat korupsi di lapisan inti (inner cycle). Berada di ruang gelap. Berada di ruang sunyi yang memerlukan tafsiran dari seorang Soeharto.

Kata-kata pembangunan kemudian menjadi kata tanpa makna. Sepi dari gegap gempita dan kemudian tercecer di kampus ilmiah yang berdebu.

Soeharto kemudian “tertelan” dengan kata-kata pembangunan ketika rakyat sudah menyadari kata “pembangunan” kehilangan makna. Soeharto lambat menyadari dan kemudian terjungkal.

Memasuki awal-awal kejatuhan Soeharto, kata-kata “reformasi” menemukan ruang dan relung hati rakyat Indonesia. Kata-kata ini kemudian bergulir bak “air bah”. Terus menggelinding memasuki ruang-ruang politik, ekonomi dan berbagai sendi kehidupan.

Rakyat Indonesia kemudian “bersorak” menyambut kata-kata “reformasi”. Rakyat dimana-mana menyambut sukacita bak merindukan seorang pahlawan. Kata-kata ini kemudian ikrar “rakyat” memandang politik, kemandirian ekonomi, beradab dan aktualisasi sebagai manusia yang independent.

Kata-kata ini kemudian mewarnai perdebatan di berbagai media massa. Mengantarkan ke panggung politik dengan menghadirkan permainan baru. Menciptakan konsep ekonomi dan terus melahirkan gagasan yang terus tersebar.

Pelan tapi pasti. Kata-kata reformasi memakan korban. Memanipulasi kata-kata “reformasi” bergesekan dengan putaran zaman. Memaknai reformasi dalam rangka “membungkus” demi kepentingan politik terlindas oleh zaman.

Kata “reformasi' kemudian mempunyai makna. Reformasi adalah harapan rakyat Indonesia memandang Indonesia. Kata “reformasi” terus berproses dan mengalami pemaknaan semakin dalam.

Belum selesai melihat bagaimana akhir dari kata “reformasi”, kita kemudian disuguhkan berbagai kata-kata “boneka”, “amanah”, “tegas”, kebocoran, berhadapan dengan kata-kata blusukan, Merakyat, sederhana, “baik”, berhadapan dengan kata-kata blusukan, Merakyat, sederhana, orang “baik” dalam hiruk pikuk pilpres 2014.

Kata-kata ini berseliweran di panggung politik. Setiap kata kemudian dihitung oleh waktu. Apakah kata-kata merupakan sarat makna atau hanya “membungkus” demi kepentingan politik jangka pendek.

Kata “boneka” haruslah diartikan sebagai “anak dalang” atau sebuah “wayang” dari pertunjukkan dari sang dalang dibalik layar. Dengan penggunaan kata “boneka” kemudian diukur apakah mempunyai relevansi sebagai “psywar” terhadap serangan yang hendak dibangun. Kata “boneka” kemudian kehilangan makna ketika kata boneka” cuma bertujuan memalingkan muka kepada sang pengabar kata.

Sedangkan kata amanah” merupakan salah satu strategi “menghancurkan citra terhadap sang lawan. Namun akan kehilangan relevansi makna ketika kata “amanah” ternyata berbalik kembali kepada  sang pengabar kata “amanah”. Kata amanah bisa menghujam sang pengabar kata “amanah” sehingga pengabar kata justru sebagai “tidak amanah”.

Kata-kata “tegas” digunakan untuk membangun image personal dari sang pengabar kata. Namun kata “tegas' justru akan berbahaya ketika kata tegas disandingkan dengan personal sasaran lawan.

Kata tegas kemudian berdampak kepada sang pengabar kata “tegas”, ketika satu persatu peristiwa dipertontonkan kepada rakyat. Kata tegas justru menguatkan personal sang lawan.

Begitu juga kata blusukan sebuah antitesa dari “laporan” meja. Blusukan kemudian menjadi warna politik kontemporer Indonesia.

Kata “blusukan” telah mengalami perjalanan panjang dari sang pengabar kata “blusukan”. Kata blusukan telah mengalami proses yang matang. Sehingga ketika sang pengabar kata “blusukan” disampaikan, makna kata “blusukan” tidak dapat ditandingi dengan padanan kata “pencitraan'. Blusukan berhasil melewati benturakan kata “pencitraan'. Blusukan memenangkan “pertarungan dengan makna “pencitraan.

Sehingga upaya menghadang kata “blusukan” dengan dibenturkan kata “pencitraan” tidak berhasil. Kata “blusukan” terus menggelinding dan kemudian menarik simpati termasuk kepada “pencetus” pencitraan itu sendiri.

Namun upaya memaknai “blusukan” dengan kepura-puraan justru akan kehilangan makna. “blusukan” justru menajamkan makna kata itu sendiri. Bersin-bersin ketika berpura-pura “blusukan” justru memperkuat makna kata itu sendiri.

Dengan demikian, pengabar kata haruslah mengabarkan kata dengan makna. Mengabarkan kata tanpa makna akan menikam sang pengabar kata itu sendiri.