Dalam
persidangan pilpres 2014, para pihak menghadirkan ahli. Dari pihak pemohon
diantaranya dihadirkan Yusril Ihza Mahendra (YIM), Margarito Kamis, Imron Putra
Sidin (IPS). Sedangkan dari KPU dihadirkan Harjono (mantan hakim MK). Dan dari
pihak Jokowi diantaranya menghadirkan Saldi Isra.
Kehadiran
“ahli” dalam sidang Pilpres 2014 mempertemukan ahli Yusril Ihza Mahendra (YIM),
Margarito Kamis dan Imron Putra Sidin dengan Harjono dan Saldi Isra. Pertemuan
ahli dari tiga pihak menarik untuk disimak sekaligus melihat bagaimana kiprah
ahli didalam persidangan di MK.
Dalam
sebuah wawancara di sebuah televisi, saya melihat pertarungan perdebatan antara
Refli Harun dengan Margarito Kamis. Akhir saya berkeinginan untuk urun rembug
melihat persoalan ini.
Dengan
lugas Margarito Kamis mempersoalkan pemilihan menggunakan fasilitas DPK dan
DPKTb. “DPK dan DPKTb tidak sah dan melanggar UU di mana semua hasilnya
bertentangan dengan hukum dan harus didiskualifikasi. "Saya berpendat
pemilu adalah peristiwa konstitusi. Pelanggaran prosedur akan menghilangkan
keabsahan pilpres dan menurut saya penggunaan DKTb tidak sah”
Pernyataan serupa juga
ditegaskan oleh IPS juga disampaikan dalam sidang di MK.
Namun
dalam dialog di sebuah televisi, ahli Harjono (hakim MK yang menjadi hakim di
MK sejak tahun 2003 – 2014) mengeluarkan “jurus jitu”. Putusan MK Nomor 102
Tahun 2009 sudah mempertimbangkannya.
Dengan
kata lain, maka MK sudah menetapkan Putusan MK sudah membolehkan DPT untuk
memilih di TPS dengan menunjukan KTP. Sebuah esensi demokrasi yang memberikan
ruang kepada pemilih agar tidak kehilangan hak konstitusionalnya dengan alasan
administrasi. Sebuah kesalahan yang tidak mesti ditanggung oleh sang pemilih.
Perdebatan
itu sebenarnya tidak diperlukan. Namun penulis “merasa heran' dengan
menghadirkan ahli dari pihak pemohon. Selain akan menjadi bahan diskusi yang
sempat “meragukan” kapasitas dari ahli, kesaksiannya justru akan berdampak
pandangan publik kepada dirinya.
Untuk
melihat bagaimana kiprah ahli yang dihadirkan, maka tentu kita harus melihat
track record panjang sebelum kita memberikan penilaian.
Terhadap
YIM, penulis tidak meragukan keahliannya. Sebagai pakar tatanegara, YIM dikenal
jenius dan piawai, YIM terbukti handal. Menurut catatan saya, YIM sudah
mengalahkan Pemerintah 7 kali termasuk “Mempersoalkan” Jaksa Agung,
mempersoalkan “pasal 197 KUHAP”, berhasil mengikutsertakan PBB sebagai peserta
Pemilu 2014 (sebelumnya sempat dibatalkan oleh KPU), berhasil memperjuangkan
Gubernur Bengkulu. Tidak salah kemudian YIM piawai di dunia hokum yang
berkaitan dengan Tata Negara.
Namun
terhadap “keahliannya” sebagai pakar Tata Negara harus menemui persoalan.
Selain memang YIM sudah aktif di dunia politik dengna mendirikan PBB baik
sebagai Ketua Umum maupun sebagai Ketua Majelis Syuro PBB, sikap netral YIM
memang tidak tepat lagi. YIM lebih tepat dikategorikan sebagai praktisi hokum.
Dengan demikian, pandangan apriori kita melihat “kepakaran” YIM tidak terjebak
dengan pilihan YIM yang kemudian memposisikan sebagai praktisi hokum.
Sementara
alasan Margarito Kamis menarik untuk ditelaah lebih jauh. Dalam berbagai
tayangan, Margarito “konsisten’ mempersoalkan persoalan DPK-DPKTb. Argumentasi
ini sudah disanggah oleh Refli Harun. Refli Harun secara sistematis menerangkan
tentang putusan MK yang mengakomodir “fasilitas” untuk memilih walaupun tidak
terdaftar di DPT.
Namun
saya kesulitan “memahami” argumentasi dari Margarito. Entah dengan penjelasan
yang disampaikan berulang-ulang namun essensinya sudah tercantum didalam
putusan MK.
Saya
kemudian “menghela” nafas panjang untuk berusaha memahami penjelasan Margarito.
Alasan
saya sulit menerima penjelasan yang disampaikan oleh Margarito dilatarbelakangi
beberapa hal.
Pertama.
Argumentasi itu sudah diuraikan didalam putusan MK. Sehingga perdebatan yang
masih berangkat dari “pendapat ahli” sudah dipertimbangkan secara
konstitusional.
Kedua.
Sebagaimana sering menjadi perdebatan di kalangan hokum, putusan pengadilan
diharapkan dapat menyelesaikan persoalan. Apabila “semangat” dari Margarito
ternyata “diakomodir” oleh MK, maka akan menimbulkan persoalan hokum. Apakah
Pilpres harus diulang seluruhnya ?
Tentu
saja dengan mudah, praktisi hokum menjawab, bahwa hokum tidak menimbulkan
persoalan baru. Atau setidak-tidaknya dilakukan di daerah yang “bermasalah”
dengan DPK-DPKTb.
Ketiga.
Sebelumnya saya memperhatikan alasan Margarito Kamis dan IPS dalam berbagai
tayangan di media televisi. “kesan” yang saya tangkap, semangat “mempersoalkan”
pelaksanaan pilpres lebih kental dibandingkan argumentasi hokum yang
disampaikan. Saya belum menemukan korelasi antara argumentasi yang dikeluarkan
dengan keinginan untuk melaksanakan ulang pilpres 2014.
Keempat.
Betul. Bahwa dalam sebuah persoalan hokum, pendapat ahli hokum bisa
berbeda-beda. Saya tidak menafikan itu. Sebuah keniscayaan dalam system hokum
yang terbuka untuk diperdebatkan. Namun argumentasi yang disampaikan tentu saja
berangkat dari kondisi riil dan kondisi obyektif semangat rakyat Indonesia
melihat Pilpres 2014. Dari ranah itu, maka hokum harus tetap berpijak kepada
kondisi factual di tengah masyarakat.
Hukum
bukanlah berada diawang-awang. Di alam “khayal” dari ahli hokum. Bukan itu.
Hukum tetap berpihak kepada rakyat.
Berbagai
“terobosan” hokum yang dilakukan MK sudah membuktikannya.
Dengan
melihat alasan demikian, maka alasan Refli Harun lebih “sederhana”, mudah
diaplikasikan, rasional dan bisa dibaca oleh orang awanpun.
Ditambah
dengan penjelasan dari Saldi Isra dan “skak matt” dari mantan Hakim MK Harjono,
maka alasan Margarito Kamis dan IPB jauh dari kenyataan public yang memandang
pilpres dilaksanakan dengan baik.