Pilpres
sudah usai. Tanggal 9 Juli 2014, rakyat sudah menentukan aspirasinya
politiknya. Terlepas dari berbagai evaluasi dari partai-partai, hasil
yang diterima partai cukup mengejutkan.
Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan memperoleh 109 kursi. Partai
Golongan Karya (Golkar) memperoleh 91 kursi. Partai Gerakan Indonesia
Raya (Gerindra) memperoleh 73 kursi. Partai Demokrat memperoleh 61
kursi. Partai Amanat Nasional (PAN) memperoleh 49 kursi. Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh 47 kursi. Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) memperoleh 40 kursi. Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) memperoleh 39 kursi. Partai Nasdem memperoleh 35 kursi
Partai
Hati Nurani Rakyat (Hanura) memperoleh 16 kursi.
Hasil
pileg 2014 memberikan gambaran konfigurasi peta politik 2014.
Pertama.
PDI-P menjadi pemenang pemilu 2014 dengan mengalahkan Partai Golkar.
Sementara Partai Gerindra menjadi pemenang ketiga. PKB juga cukup
naik. Sementara suara PKS dan Partai Demokrat anjlok cukup jauh.
Partai Pendatang baru, Partai Nasdem cukup menjanjikan.
Dengan
melihat konfigurasi suara yang diraih, maka pada saat pilpres, Jokowi
hanya didukung PDI-P, PKB, Partai Nasdem dan Partai Hanura. Sedangkan
Prabowo didukung oleh Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai
Demokrat, PPP, PAN, PKS.
Namun
Jokowi – Kalla berhasil menang tipis 53 % - 47 % atau sekitar 8,4
juta suara.
Kedua.
Setelah kekalahan Prabowo di Pilpres 2014, koalisi partai pendukung
Prabowo “menebar teror' akan menguasai di senayan. Dengan komposisi
partai pendukung seperti Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai
Demokrat, PPP, PAN dan PKS, koalisi Prabowo berharap dapat menguasai
mayoritas suara 353 kursi berhadapan dengan partai pendukung Jokowi
206 suara.
Mayoritas
ini sudah dibuktikan dengan “menganulir” Ketua DPR yang menurut
UU MD3 dipegang partai pemenang pemilu. Mayoritas ini mencoba akan
membuat Pansus Pilpres 2014.
Ketiga.
Namun politik di Indonesia merupakan “suasana” seru yang menarik
untuk dipantau. Dalam perkembangan akhir-akhir ini sudah kelihatan
Partai koalisi Prabowo akan menentukan sikap setelah putusan di MK.
Yang pasti Partai Demokrat, Partai Golkar dan PPP sudah jauh-jauh
hari akan mendukung pemerintahan yang berkuasa.
Sedangkan
Partai Gerindra, PAN dan PKS tidak menampakkan tanda-tanda akan
“merapat” ke Partai pendukung Jokowi – Kalla. Dengan demikian
maka ketiga partai “sulit” bergabung dengan koalisi partai
pendukung Jokowi. Ketiga partai sudah komitment untuk mengambil jalur
oposisi. Mengambil sikap diluar pemerintahan. Dan berkonsentrasi di
parlemen.
Dengan
kalkulasi demikian, maka partai pendukung Jokowi mendapatkan tambahan
191 kursi menjadi 397 kursi. Akibatnya koalisi pendukung Prabowo
berkurang 191 kursi sehingga hanya tersisa 162 kursi. Perbandingan
antara 397 kursi dengan 162 kursi tidak dapat menjadikan partai
Koalisi Prabowo “menguasai” senayan.
Sehingga
tidak salah kemudian, putusan MK dapat “merubah” peta politik
kontemporer. Desakan kuat dari internal partai Golkar, sikap
ragu-ragu dari Partai Demokrat terhadap koalisi permanen dan
“desakan” Munas Luarbiasa PPP paska ditetapkan Ketua Umum sebagai
tersangka menjadi signal yang menjanjikan. Bergabungnya ketiga partai
yang semula mendukung Prabowo dan kemudian bergabung dengan
partai-partai pendukung Jokowi di senayan merupakan “jalan tol”
Jokowi – Kalla untuk menuntaskan agenda politiknya.
Sehingga
teror yang semula begitu kuat setelah tanggal 9 Juli kehilangan
momentum. Dan koalisi permanen yang sempat diikrarkan hanya
meninggalkan catatan kecil pilpres 2014.
Tinggal
kita menanti langkah selanjutnya. Apakah langkah Partai Demokrat, PPP
dan Partai Golkar yang mengayun bandul menuju ke partai pendukung
Jokowi – Kalla.