Seni
dendang Mutus Tari. Itu sebagian kata-kata yang menarik dari Undangan
dari Zenzi Suhadi, Sang Kampanye Walhi dari Desa Tungkal I, Kecamatan
Pinoraya, Bengkulu Selatan, Bengkulu. Kata-kata itu merupakan
rangkaian panjang dari prosesi adat setelah “Ambil bambu dan Daun”,
“Melemang – Menunggu Mendah”, “Tari Andun”, “Bimbang Adat
– Menjamu”.
Kata-kata
seperti “berdendang”, Tari, Bambu, daun, melemang, mendah, andun,
bimbang adat dan menjamu adalah kata-kata yang sudah biasa dikenal di
Jambi. Namun ketertarikan saya bukanlah kata-kata itu. Tapi prosesi
acaranya sendirinya sehingga saya dapat menangkap pesan yang tersirat
dari prosesi acaranya.
Sebagai
prosesi adat, Seni dendang mutus tari bukanlah ritual adat yang
mistik. Merupakan prosesi adat yang sudah lama tumbuh di tempat Zenzi
namun sudah banyak dilupakan masyarakat di sekitar desa itu sendiri.
Zenzi
yang merupakan putra tokoh adat pemangku adat mengalami benturan
peradaban. Sebagai kampanye di Walhi, nilai-nilai adat merekat batin
antara manusia modern dengan persoalan Sumber daya alam. Tentu Zenzi
paham, bagaimana melawan dominasi industri diperlukan kekuatan lokal
yang mampu menyatukan kekuatan itu sendiri.
Dalam
prosesi yang cukup panjang (dimulai pukul 21.00 hingga 05.00 pagi),
segala sesuatu “dikabarkan” dalam rapat adat yang dikenal dengan
istilah “rapat majelis”. Seluruh peserta rapat majelis
menggunakan peci hitam, berjas hitam dan berkain. Peserta rapat
majelis terdiri dari pemangku adat, kepala desa, tokoh-tokoh adat,
alim ulama, cerdik pandai.
Sebelum
Prosesi rapat majelis dimulai diadakan rapat di rumah keluarga
(sementara anggota rapat majelis menunggu di ruangan besar di luar
rumah). Setelah rapat di rumah keluarga, maka seluruh peserta rapat
dirumah mengganti peci dengan peci dari rotan. Peserta rapat didalam
rumah kemudian bergabung dengan anggota rapat majelis untuk
menjelaskan hasil rapat.
Dalam
rapat majelis kemudian diterangkan oleh Ketuo Kerjo (semacan ketua
panitia zaman sekarang), prosesi yang akan dilalui dan pentingnya
rapat majelis (semacan susunan agenda rapat). Ketuo kerjo juga
menyampaikan peserta rapat seperti “bujang inang”.
Setelah
itu kata sambutan dari ahli rumah (tuan rumah) yang disebut sebagai
“tegur sapo”. Sebelum memulai kata sambutan, baik ketuo kerjo dan
ahli rumah memberikan hormat dengan cara tangan terkatup didepan
dada, merendahkan kepala dan memberikan hormat kepada pemangku adat.
Cara ini persis digambarkan seloko seperti “saya mohon maaf apabila
ada kata-kata yang salah. Maklumlah saya minta maaf, Ampun seribu
ampun. Disusun jari nan sepuluh. Diletakkan tangan diatas lulut nan
duo. Ditekukkan kepala yang rendah”.
Istilah
Tegur sapo dikenal di sebagian daerah Jambi. Di Margo Bathin
Pengambang, daerah hulu Sungai Batangasai, “tegur sapo” adalah
sanksi adat berdasarkan tingkat kesalahan. Dimulai
dari Tegur sapo berupa ayam satu ekor dan
beras segantang. Kemudian Tegur pengajar berupa kambing 10 ekor dan
beras 20. Guling batang berupa denda satu ekor kerbau dan beras
seratus gantang
Tegur
Sapo seperti Menumbang pohon yang dilarang, memburu hewan yang
dilarang, membuka hutan diluar aturan adat.
Tegur
Ajar terdiri dari Membuka lahan kebun orang yang sudah dimiliki.
Orang luar yang mengambil hasil hutan tanpa izin kepala Desa. Setelah
dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke pihak keamanan.
Guling
Batu seperti Membuka tempat yang dilarang, luar membuka hutan tanpa
izin dari pihak tuo tengganai, nenek mamak, membuka hutan tanpa rapat
kenduri
Sedangkan
“tunjuk ajar” merupakan rangkaian acara dalam pesta peresmian
kedua mempelai yang berisikan nasehat perkawinan seperti sikap
tingkah laku kepada sang mempelai laki-laki dan sikap tingkah laku
kepada sang mempelai perempuan. Ujaran ini bisa dilihat dari
kata-kata seperti “perangai bujang tinggallah bujang. Perangai
gadis tinggallah gadis”
Setelah
itu dimulai dari prosesi rangkaian adat “Seni dendang mutus tali”.
Acara dimulai dengna mengucapkan syair-syair dan puja-puji syukur
kepada Tuhan.
Di
sebagian besar di Jambi cari ini biasa dikenal dengna istilah
“barzanzi”. Cukup lama syair-syair ini dilantunkan. Dimulai dari
nada pelan dengan diiringi rebana (ukurannya cukup besar. Istilah
rebana di Jambi biasanya kecil. Digunakan dalam prosesi menyambut
pengantin pria. Acara ini dikenal dengan istilah “kompangan”).
Setelah
itu mulai dengna nada menanjak naik. Kemudian diiringi biola dan
keluar kata-kata seperti “rentak kudo”. Ujaran bijaksana dengan
melapalkan kata-kata dengan teriakan melengking mengingatkan seperti
“krinok”. Pengucapan lafal dengan nada tinggi biasa dikenal di
Daerah Bungo.
Tiga
hal unik menarik perhatian saya. Pertama. Barzani. Kedua rentak kudo.
Ketiga. Krinok.
Barzanzi
sering digunakan dalam prosesi ucapan syukuran seperti “akikah”
menyambut kelahiran bayi dan cukuran rambut sang bayi. Nada yang
dilantunkan berisi syair-syair puji-pujian dan doa kepada sang bayi.
Barzanzi
juga dilakukan menjelang melepaskan sang mempelai laki-laki dari
rumah keluarga sang mempelai laki-laki sebelum prosesi acara ke rumah
perempuan. Biasanya tetangga jiran dari keluarga sang mempelai
laki-laki yang menghadiri acaranya. Selain itu di rumah keluarga
mempelai perempuan sembari menunggu sang mempelai juga diadakan acara
serupa. Acara ini biasa ditemui di kota Jambi, di ibukota kabupaten
di Propinsi Jambi.
Rentak
kudo merupakan tarian khas dari Kerinci. Tarian ini sering
dipergelarkan pada acara-acara adat. Hampir setiap tahun, Pemerintah
Kerinci mengadakan festival Danau Kerinci. Didalam festival Danau
Kerinci bisa temukan tarian ini. Rentak kudo hanya bisa dijumpai di
Kerinci. Hampir praktis tidak ada ditemukan selain Kerinci.
Sedangkan
krinok adalah musik diiringi rebana, biola dan syair yang diucapkan
dengna nada melengking. Krinok hanya dijumpai di daerah Bungo, sebuah
kabupaten arah barat dari Jambi. Sekitar 250 km.
Seni
krinok hampir sulit ditemukan lagi. Selain karena mengucapkan nada
dengan melengking memerlukan teknik vokal yang sulit, sang penyanyi
sangat sedikit. Saya hanya mendengar waktu remaja di Bungo.
Upaya
menghidupkan kembali seni krinok pernah dilakukan oleh Dewan Kesenian
Jambi. Namun saya meyakini, seni ini sangat sulit dan memerlukan sang
vokal yang mumpuni.
Seni
dendang merupakan perpaduan berbagai budaya.
Didalam
seni dendang diperagakan tarian dengan berbagai model dengan
menggunakan selendang, piring, selendang dibentangkan dan kemudian
selendang yang kemudian diikuti sebagian besar peserta rapat majelis.
Namun yang unik Tarian piring.
Tarian
piring dengan cara ibu jari menggunakan cincin yang telah
dipersiapkan kemudian cincin digerakkan ke piring sehingga terdengar
suara “berdencing'. Tarian piring mengingatkan akan tarian piring
di Minangkabau Sumatera Barat.
Melihat
berbagai perlintasan berbagai budaya seperti “barzanzi”,
“krinok”, tarian piring dan rentak kudo merupakan perpaduan
antara daerah hulu Sungai Batanghari terutama di Bungo – Jambi,
Minangkabau dan Kerinci.
Diperlukan
waktu yang panjang mengapa ada perlintasan berbagai budaya yang ada
di Minangkabau, Kerinci, Bungo dan Jambi kemudian terhimpun di Seni
dendang.
Kehadiran
saya dapat mengobati rasa rindu saya terhadap kebudayaan di
Minangkabau, Bungo, Kerinci dan Jambi dalam satu waktu di Pinoraya,
Bengkulu Selatan.