14 November 2014

opini musri nauli : Seni Dendang Khas Pinoraya


Seni dendang Mutus Tari. Itu sebagian kata-kata yang menarik dari Undangan dari Zenzi Suhadi, Sang Kampanye Walhi dari Desa Tungkal I, Kecamatan Pinoraya, Bengkulu Selatan, Bengkulu. Kata-kata itu merupakan rangkaian panjang dari prosesi adat setelah “Ambil bambu dan Daun”, “Melemang – Menunggu Mendah”, “Tari Andun”, “Bimbang Adat – Menjamu”.
Kata-kata seperti “berdendang”, Tari, Bambu, daun, melemang, mendah, andun, bimbang adat dan menjamu adalah kata-kata yang sudah biasa dikenal di Jambi. Namun ketertarikan saya bukanlah kata-kata itu. Tapi prosesi acaranya sendirinya sehingga saya dapat menangkap pesan yang tersirat dari prosesi acaranya.

Sebagai prosesi adat, Seni dendang mutus tari bukanlah ritual adat yang mistik. Merupakan prosesi adat yang sudah lama tumbuh di tempat Zenzi namun sudah banyak dilupakan masyarakat di sekitar desa itu sendiri.

Zenzi yang merupakan putra tokoh adat pemangku adat mengalami benturan peradaban. Sebagai kampanye di Walhi, nilai-nilai adat merekat batin antara manusia modern dengan persoalan Sumber daya alam. Tentu Zenzi paham, bagaimana melawan dominasi industri diperlukan kekuatan lokal yang mampu menyatukan kekuatan itu sendiri.

Dalam prosesi yang cukup panjang (dimulai pukul 21.00 hingga 05.00 pagi), segala sesuatu “dikabarkan” dalam rapat adat yang dikenal dengan istilah “rapat majelis”. Seluruh peserta rapat majelis menggunakan peci hitam, berjas hitam dan berkain. Peserta rapat majelis terdiri dari pemangku adat, kepala desa, tokoh-tokoh adat, alim ulama, cerdik pandai.

Sebelum Prosesi rapat majelis dimulai diadakan rapat di rumah keluarga (sementara anggota rapat majelis menunggu di ruangan besar di luar rumah). Setelah rapat di rumah keluarga, maka seluruh peserta rapat dirumah mengganti peci dengan peci dari rotan. Peserta rapat didalam rumah kemudian bergabung dengan anggota rapat majelis untuk menjelaskan hasil rapat.

Dalam rapat majelis kemudian diterangkan oleh Ketuo Kerjo (semacan ketua panitia zaman sekarang), prosesi yang akan dilalui dan pentingnya rapat majelis (semacan susunan agenda rapat). Ketuo kerjo juga menyampaikan peserta rapat seperti “bujang inang”.

Setelah itu kata sambutan dari ahli rumah (tuan rumah) yang disebut sebagai “tegur sapo”. Sebelum memulai kata sambutan, baik ketuo kerjo dan ahli rumah memberikan hormat dengan cara tangan terkatup didepan dada, merendahkan kepala dan memberikan hormat kepada pemangku adat. Cara ini persis digambarkan seloko seperti “saya mohon maaf apabila ada kata-kata yang salah. Maklumlah saya minta maaf, Ampun seribu ampun. Disusun jari nan sepuluh. Diletakkan tangan diatas lulut nan duo. Ditekukkan kepala yang rendah”.

Istilah Tegur sapo dikenal di sebagian daerah Jambi. Di Margo Bathin Pengambang, daerah hulu Sungai Batangasai, “tegur sapo” adalah sanksi adat berdasarkan tingkat kesalahan. Dimulai dari Tegur sapo berupa ayam satu ekor dan beras segantang. Kemudian Tegur pengajar berupa kambing 10 ekor dan beras 20. Guling batang berupa denda satu ekor kerbau dan beras seratus gantang

Tegur Sapo seperti Menumbang pohon yang dilarang, memburu hewan yang dilarang, membuka hutan diluar aturan adat.

Tegur Ajar terdiri dari Membuka lahan kebun orang yang sudah dimiliki. Orang luar yang mengambil hasil hutan tanpa izin kepala Desa. Setelah dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke pihak keamanan.

Guling Batu seperti Membuka tempat yang dilarang, luar membuka hutan tanpa izin dari pihak tuo tengganai, nenek mamak, membuka hutan tanpa rapat kenduri

Sedangkan “tunjuk ajar” merupakan rangkaian acara dalam pesta peresmian kedua mempelai yang berisikan nasehat perkawinan seperti sikap tingkah laku kepada sang mempelai laki-laki dan sikap tingkah laku kepada sang mempelai perempuan. Ujaran ini bisa dilihat dari kata-kata seperti “perangai bujang tinggallah bujang. Perangai gadis tinggallah gadis”

Setelah itu dimulai dari prosesi rangkaian adat “Seni dendang mutus tali”. Acara dimulai dengna mengucapkan syair-syair dan puja-puji syukur kepada Tuhan.

Di sebagian besar di Jambi cari ini biasa dikenal dengna istilah “barzanzi”. Cukup lama syair-syair ini dilantunkan. Dimulai dari nada pelan dengan diiringi rebana (ukurannya cukup besar. Istilah rebana di Jambi biasanya kecil. Digunakan dalam prosesi menyambut pengantin pria. Acara ini dikenal dengan istilah “kompangan”).

Setelah itu mulai dengna nada menanjak naik. Kemudian diiringi biola dan keluar kata-kata seperti “rentak kudo”. Ujaran bijaksana dengan melapalkan kata-kata dengan teriakan melengking mengingatkan seperti “krinok”. Pengucapan lafal dengan nada tinggi biasa dikenal di Daerah Bungo.

Tiga hal unik menarik perhatian saya. Pertama. Barzani. Kedua rentak kudo. Ketiga. Krinok.

Barzanzi sering digunakan dalam prosesi ucapan syukuran seperti “akikah” menyambut kelahiran bayi dan cukuran rambut sang bayi. Nada yang dilantunkan berisi syair-syair puji-pujian dan doa kepada sang bayi.

Barzanzi juga dilakukan menjelang melepaskan sang mempelai laki-laki dari rumah keluarga sang mempelai laki-laki sebelum prosesi acara ke rumah perempuan. Biasanya tetangga jiran dari keluarga sang mempelai laki-laki yang menghadiri acaranya. Selain itu di rumah keluarga mempelai perempuan sembari menunggu sang mempelai juga diadakan acara serupa. Acara ini biasa ditemui di kota Jambi, di ibukota kabupaten di Propinsi Jambi.

Rentak kudo merupakan tarian khas dari Kerinci. Tarian ini sering dipergelarkan pada acara-acara adat. Hampir setiap tahun, Pemerintah Kerinci mengadakan festival Danau Kerinci. Didalam festival Danau Kerinci bisa temukan tarian ini. Rentak kudo hanya bisa dijumpai di Kerinci. Hampir praktis tidak ada ditemukan selain Kerinci.

Sedangkan krinok adalah musik diiringi rebana, biola dan syair yang diucapkan dengna nada melengking. Krinok hanya dijumpai di daerah Bungo, sebuah kabupaten arah barat dari Jambi. Sekitar 250 km.

Seni krinok hampir sulit ditemukan lagi. Selain karena mengucapkan nada dengan melengking memerlukan teknik vokal yang sulit, sang penyanyi sangat sedikit. Saya hanya mendengar waktu remaja di Bungo.

Upaya menghidupkan kembali seni krinok pernah dilakukan oleh Dewan Kesenian Jambi. Namun saya meyakini, seni ini sangat sulit dan memerlukan sang vokal yang mumpuni.

Seni dendang merupakan perpaduan berbagai budaya.

Didalam seni dendang diperagakan tarian dengan berbagai model dengan menggunakan selendang, piring, selendang dibentangkan dan kemudian selendang yang kemudian diikuti sebagian besar peserta rapat majelis. Namun yang unik Tarian piring.

Tarian piring dengan cara ibu jari menggunakan cincin yang telah dipersiapkan kemudian cincin digerakkan ke piring sehingga terdengar suara “berdencing'. Tarian piring mengingatkan akan tarian piring di Minangkabau Sumatera Barat.

Melihat berbagai perlintasan berbagai budaya seperti “barzanzi”, “krinok”, tarian piring dan rentak kudo merupakan perpaduan antara daerah hulu Sungai Batanghari terutama di Bungo – Jambi, Minangkabau dan Kerinci.

Diperlukan waktu yang panjang mengapa ada perlintasan berbagai budaya yang ada di Minangkabau, Kerinci, Bungo dan Jambi kemudian terhimpun di Seni dendang.

Kehadiran saya dapat mengobati rasa rindu saya terhadap kebudayaan di Minangkabau, Bungo, Kerinci dan Jambi dalam satu waktu di Pinoraya, Bengkulu Selatan.