Akhir-akhir
ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) “mempublish” langkah-langkah hukumnya untuk
menyeret perusahaan yang terbukti membakar dan penyebab asap tahun 2014[1].
Di Sumsel, KLHK mendaftarkan gugatan terhadap di PT. Bumi Mekar Hijau di
Pengadilan Negeri Palembang. Kemudian di Pengadilan Negeri Jakarta utara dengan
tergugat PT. Jatim Jaya Perkasa yang melakukan pembakaran di Desa Sungai Majo,
Rokan Hilir, Riau.
Secara sekilas,
upaya upaya yang dilakukan oleh KLHK harus diberikan apresiasi. Upaya KLHK “mempersoalkan” pelaku pembakaran
mulai dibicarakan dalam proses hokum melalui mekanisme “hak gugat Pemerintah”.
Mekanisme yang telah diatur didalam pasal 90 UU No. 32 Tahun 2009[2].
Namun upaya
tersebut tidak cukup. KLHK sebagai “pemegang mandate” konstitusi untuk
“memastikan hak katas lingkungan hidup yang baik dan sehat” dapat menggunakan
upaya penghukuman dalam ranah pidana. Termasuk menyita asset dan “membangkrutkan’
perusahaan penyebab asap tahun 2014. Atau dengan kata lain, upaya mekanisme di
lapangan hokum perdata tidak cukup. Negara harus menggunakan mekanisme lapangan
hokum pidana untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku pembakaran.
Namun apabila
kita telaah lebih jauh, maka ada beberapa persoalan hokum (teknis juridis) yang
bermasalah.
Pertama.
Mekanisme “hak gugat Pemerintah” masih menggunakan “term” kesalahan dan
kelalaian dalam gugatannya. Penegasan “membuktikan” kesalahan ataupun kelalaian
masih tersirat jelas dari pernyataan di
public. Sebuah keniscayaan beban pembuktian kepada penggugat untuk membuktikan
dalilnya. Sehingga tidak salah kemudian gugatan baru bisa didaftarkan tahun
2015 dengan alasan Pemerintah masih kesulitan proses pengumpulan alat bukti,
uji laboratorium, pendataan maupun verifikasi berbagai dokumen. Upaya ini
kemudian akan merepotkan penggugat terhadap dalil gugatannya.
Padahal beban
pembuktian terhadap term “kesalahan’ ataupun “kelalaian” merupakan tema yang
tidak bisa dilepaskan dari
pertanggungjawaban Baik pertanggungjawaban yang tidak dapat dilepaskan
dari kesalahan (liability based on fault) maupun tanggungjawab mutlak (strict
liability).
Kedua.
Mekanisme gugatan yang masih mencampuradukan antara “term” kesalahan dan
kelalaiannya dengan factual di lapangan. Padahal sudah kasat mata terhadap
kebakaran asap tahun 2014 telah menyebabkan berbagai gangguan baik terhadap
kehidupan manusia yang ditandai dengan terganggunya penerbangan, ISPA hingga
harus meliburkan sekolah.
Ketiga.
Kesulitan penggugat untuk menentukan “gelanggang’ pertarungan di pengadilan.
kesulitan ini ditandai selain kesulitan pembuktian, alat bukti juga merumuskan
“factual” dan daya serang yang bisa dimainkan.
Keempat.
Gugatan melalui mekanisme Hak gugat Pemerintah hanya dititikberatkan mengenai
ganti rugi kerusakan lingkungan hidup. Sebuah upaya reduksi “meminta pertanggungjawaban”
penyebab asap.
Sekarang mari
kita telaah lebih lanjut.
Andri G. Wibisana[3]
dengan lugas “mempersoalkan” mekanisme “perbuatan melawan hokum
(onrechtmaatigdaad) dengan titik tekan terhadap “kesalahan” ataupun kelalaian”.
Dalam berbagai
literatur ilmu hukum lingkungan, pembuktian terhadap bencana (act of god)
dapat dilihat dengan melihat kriteria seperti (a)Extraordinary, (b)
Unprecedented, (c) Unforeseeable, (d) Free from human intervention.
Maka dengna
melihat kriteria diatas, Bencana alam (act of god) merupakan misteri
Tuhan dimana tidak ada sama sekali campur tangan manusia. Bencana alam
merupakan ranah “preogratif” Tuhan. Bencana alam sebuah “kekuasaan”
Tuhan dimana ilmu pengetahuan tidak mampu menerangkan “kapan terjadinya'.
Diluar daripada kriteria diatas, merupakan “perbuatan manusia” yang
harus dipertanggungjawabkan dimuka hukum.
Lantas apakah
kabut asap merupakan bencana alam (act of god) ?. Memperjelas paparan
Andri G Wibisana, maka dengan lugas maka kita mudah menjawab. Tentu saja tidak
termasuk kedalam bencana alam (act of god). Kebakaran asap merupakan sebuah
intervensi manusia terhadap alam.
Prinsip absolute
liability sering diidentikkan dengna prinsip strict liability (tanggungjawab
mutlak). Prinsip strict liability menetapkan kesalahan dan tanggung
jawab mutlak namun tetap memberikan pengecualian untuk dibebaskan dari tanggung
jawab, melepaskan tanggungjawab atas kerusakan dari pihak lain, keadaan
terpaksa (force majeure) dan bencana
alam (act of god).
Sedangkan absolute
liability merupakan prinsip tanggungjawab tanpa melihat kesalahan dan tidak
dapat dibebaskan dari tanggungjawab.
Dengan demikian
maka absolute liability adalah tanggung jawab tanpa berdasarkan
kesalahan (liability of non fault).
Asas Absolute
liability dapat kita lihat didalam UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU
Lingkungan Hidup, PP No. 4 Tahun 2001 dan PP nomor 45 tahun 2004 dengan tegas
menyatakan “setiap orang dilarang membakar hutan dan kebun”
Didalam PP No.
45 tahun 2004 menegaskan “perlindungan hutan dari kebakaran dan melarang
melakukan pembakaran. Dengan demikian, maka pemilik izin bertanggungjawab
terhadap areal didalam izinnya. Pemilik izin bertanggungjawab terjadinya
kebakaran hutan. Bahkan pemilik izin tidak bisa dikecualikan pertanggungjawaban
(defence) baik disebabkan manusia, melepaskan tanggungjawab atas
kerusakan dari pihak lain, keadaan terpaksa (force majeure) dan bencana alam (act of god). Asas absolute
liability tidak membatasi sebab
terjadinya kebakaran hutan. Nada yang sama dapat juga dibaca didalam PP No. 4
tahun 2001.
Makna kata-kata
pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal, bertanggung jawab terjadinya
kebakaran, tidak ada pengecualian (defence) dapat dikategorikan dan
prasyarat sebagai Absolute liability.
Pertanggungjawaban
pemilik izin meliputi pidana, tanggung
jawab perdata, membayar ganti rugi dan sanksi administrasi.
Dengan
menggunakan mekanisme Absolute liability, maka pemilik izin tidak dapat
menghindarkan atau pengecualian pertanggungjawaban.
Dengan melihat
titik api (hotspot) dan dilakukan overlay dengan peta, maka dapat
ditentukan letak titik api (hotspot)
didalam sebuah kawasan sebuah izin (baik perkebunan maupun kehutanan).
Pemerintah kemudian bisa menyeret pemilik izin untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
Dalam
pembuktian, tidak perlu menentukan perbuatan melawan hukum (onrechmaatigdaad),
kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa). Beban pembuktian ini dikenal dalam sistem hokum Eropa kontinental.
Sedangkan
terhadap kejahatan sektor sumber daya alam dengan cara pandang (mainstream)
sistem hukum Eropa kontinental harus ditinggalkan. Beban Pembuktian harus
bergeser kedalam sistem hokum anglo saxon. Paradigma yang keluar dari ortodok
dan konvensional menjadi beban pembuktian yang simple, sederhana dan mudah
dilaksanakan.
Dengan
menggunakan prasyarat absolute liability, maka pemilik izin
bertanggungjawab terhadap terjadinya kebakaran didalam izinnya. Sehingga
Penggugat tidak perlu melakukan beban pembuktian dengan memaparkan kesalahan
maupun kelalaian yang dilakukan oleh tergugat.
[1]http://news.detik.com/berita/2958907/kemenhut-gugat-perusahaan-yang-diduga-sengaja-bakar-hutan-di-sumsel-dan-riau
[2] Mekanisme ini diatur
didalam UU No. 32 Tahun 2009. Sebuah terobosan didalam UU Lingkungan Hidup.
Tujuan utamanya adalah “memulihkan kualitas lingkungan hidup yang telah
tercemar atau rusak. Sebuah makna dari perwujudan “welfare state”, yaitu
kewajiban Pemerintah untuk memastikan kesejahteraan umum dan melindungi ha
katas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
[3] Disampaikan pada
Pelatihan Strategi Hukum Melawan Perusahaan Batubara dan PLTU Batubara,
diselenggarakan oleh Walhi, Jatam, Greenpeace, YLBHI, Pil-NET, dan ICEL,
Jakarta, 24 Juni 2015.