Ketika asap dari Riau dan Jambi
mengirimkan ke Singapura dan Malaysia tahun 2013, rakyat Singapura dan Malaysia
marah. Mereka mendesak Pemerintahnya untuk menegur Indonesia yang mengeluarkan
asap. Mereka meminta Indonesia harus bertanggungjawab”.
Pemerintah Singapura kemudian
mengirimkan nota protes. Bahkan Negara-negara ASEAN mendesak Indonesia agar
meratifikasi Persetujuan ASEAN Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution). Presiden SBY kemudian meminta maaf
kepada Pemerintah Singapura. Namun satu tahun kemudian Indonesia
meratifikasinya.
Apakah Indonesia tidak mampu mengendalikan asap dan dapat
disebutkan sebagai darurat asap ?
Dalam catatan Walhi, sejak tahun
2006 terdapat 146.264 titik api. Tahun 2007 : 37.909 titik api. Tahun 2008 :
30.616 titik api. Tahun 2009 : 29.463 titik api. Tahun 2010 : 9.898 titik api.
Tahun 2011 : 22.456 ttk api. Bahkan selama periode 13-30 Juni 2013, tercatat
2.643 jumlah peringatan titik api, maka pada periode 20 Februari – 11 Maret
2014 saja telah terdeteksi 3.101 titik api.
Dengan menggunakan berbagai
penghitungan, maka titik api tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Antara
lain, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur. Angka-angka ini mewakili “kesuraman” persoalan asap dari
tahun-ketahun.
Padahal kebakaran Hutan Indonesia
di Tahun 1982 - 1983 merupakan kebakaran hutan/lahan terbesar pertama di
Indonesia. Kebakaran tahun 1997 - 1998, terjadi di 23 propinsi (dari 27
propinsi di Indonesia pada waktu itu). Hampir seluruh wilayah ASEAN terkena
dampaknya.
Periode tahun 1999 – 2007,
Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan di tahun 2001 sampai dengan tahun 2006
cukup besar. Di wilayah Sumatera, kerugian mencapai US $ 7,8 milyar dan di
wilayah Kalimantan mencapai US $ 5,8 milyar. Gabungan keduanya telah mencapai
separuh dari total kerugaian di seluruh Indonesia. (WALHI, 2006)
Melihat kejadian terjadinya
kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun, maka timbul pertanyaan.
Dimana peran dan tanggung jawab negara didalam melindungi hak rakyat untuk
mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pertanggungjawaban negara
Dalam Konstitusi, pasal 28H ayat
(1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hak untuk mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat (the rights to
healthful and deccen environemen) merupakan hak asasi.
Deklarasi ini menegaskan
keterkaitan erat antara hak terhadap lingkungan yang baik dan sehat dan hak
pembangunan, seperti hak untuk hidup dalam kondisi yang layak dan hak hidup
dalam suatu lingkungan yang memiliki kualitas yang memungkinkan manusia hidup
sejahtera dan bermartabat.
Hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat (HAL) ini menjadi penopang bagi hak-hak dasar manusia lainnya.
HAL ini kemudian diturunkan
didalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Pemerintah mendapatkan mandat
dari negara untuk melaksanakan kewajiban memenuhi HAL. Namun Pemerintah lalai
memenuhi kewajiban untuk memastikan HAL.
Kebakaran yang terjadi setiap
tahun sudah menunjukkan di areal kebakaran lahan (titik api) terjadi di wilayah
izin perusahaan baik perkebunan maupun Hutan Tanaman Industri (HTI). Pemerintah
“tidak berkutik” berhadapan dengan perusahaan.
Padahal Pemerintah dapat
memberikan punisment kepada perusahaan yang “tidak mampu” menjaga arealnya.
Namun Pemerintah terkesan
bertindak “responsif” dengan menyiapkan berbagai alat pemadam api, menyiapkan
masker, membuat edaran “melarang aktivitas warga keluar rumah”. Bahkan
persoalan asap menguap ketika “disiram” air ketika musim hujan tiba. Sehingga
pelaku pembakaran sama sekali sulit disentuh.
Akhir tahun 2013, Walhi kemudian
meminta pertanggungjawaban negara dalam perbuatan melawan hukum oleh negara
(onrechtmaatigoverheidaad) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Absolute liability
Prinsip absolute liability sering
diidentikkan dengna prinsip strict liability (tanggungjawab mutlak).
Prinsip strict liability menetapkan kesalahan dan tanggung jawab mutlak
namun tetap memberikan pengecualian untuk dibebaskan dari tanggung jawab (defence),
melepaskan tanggungjawab atas kerusakan dari pihak lain, keadaan terpaksa (force
majeure) dan bencana alam (the act of god).
Sedangkan absolute liability merupakan
prinsip tanggungjawab (responbility) tanpa melihat kesalahan dan tidak
dapat dibebaskan dari tanggungjawab.
Dengan demikian maka absolute liability adalah tanggung
jawab tanpa berdasarkan kesalahan (liability of non fault).
Asas Absolute liability dapat
kita lihat didalam UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Lingkungan Hidup, PP No. 4
Tahun 2001 dan PP nomor 45 tahun 2004 dengan tegas menyatakan “setiap orang
dilarang membakar hutan dan kebun”
Didalam PP No. 45 tahun 2004
menegaskan “perlindungan hutan dari kebakaran dan melarang melakukan
pembakaran. Dengan demikian, maka pemilik izin bertanggungjawab terhadap
areal didalam izinnya. Pemilik izin bertanggungjawab terjadinya kebakaran
hutan. Bahkan pemilik izin tidak bisa dikecualikan pertanggungjawaban (defence)
baik disebabkan manusia, melepaskan tanggungjawab atas kerusakan dari pihak lain,
keadaan terpaksa (force majeure) dan bencana alam (act of god). Asas absolute
liability tidak membatasi sebab terjadinya kebakaran hutan. Kalimat yang
sama dapat juga dibaca didalam PP No. 4 tahun 2001.
Makna “pemilik izin
bertanggungjawab terhadap areal”, bertanggung jawab terjadinya kebakaran,
tidak ada pengecualian (defence) dapat dikategorikan dan prasyarat
sebagai Absolute liability.
Pertanggungjawaban pemilik izin
meliputi pidana, tanggung jawab perdata, membayar ganti rugi, rehabilitasi dan sanksi
administrasi.
Dengan menggunakan mekanisme Absolute
liability, maka pemilik izin tidak dapat menghindarkan dan pengecualian
pertanggungjawaban apapun.
Mekanisme ini dapat ditempuh
dengan cara melihat titik api (hotspot) dan dilakukan overlay dengan
peta. Setelah diketahui dan ditentukan letak titik api (hotspot) didalam
sebuah kawasan sebuah izin (baik perkebunan maupun kehutanan) dan
setelah “dioverlay”, maka Pemerintah kemudian dapat menyeret pemilik izin untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dalam beban pembuktian, tidak
perlu menentukan perbuatan melawan hukum (onrechmaatigdaad), kesengajaan
(dolus) atau kelalaian (culpa).
Beban pembuktian ini biasa dikenal didalam sistem hokum Eropa
kontinental.
Sedangkan terhadap kejahatan
sektor sumber daya alam dengan cara pandang (mainstream) sistem hukum Eropa
kontinental harus ditinggalkan. Beban Pembuktian harus bergeser kedalam sistem
hokum anglo saxon. Paradigma yang keluar dari ortodok dan konvensional menjadi
beban pembuktian yang simple, sederhana dan mudah dilaksanakan.
Dengan menggunakan prasyarat “absolute
liability”, maka pemilik izin bertanggungjawab terhadap terjadinya
kebakaran didalam izinnya.
Pemerintah dapat “menegakkan
hukum” dan menyeret pelaku dimuka hukum bahkan meminta pertanggungjawaban
membayar kerugian yang timbul dari kebakaran asap.
Pemerintah dapat memberikan punisment
kepada perusahaan yang “tidak mampu” menjaga arealnya. Bahkan Pemerintah
dapat mencabut izin perusahaan.
Dengan meminta pertanggungjawaban
pemilik izin dan memberikan hukuman kepada perusahaan yang tidak mampu menjaga
arealnya, maka Pemerintah telah melaksanakan kewajiban untuk melindungi Hak
atas lingkungan hidup yang sehat dan baik kepada rakyat.