09 Juli 2015

opini musri nauli : INDONESIA DARURAT ASAP


Ketika asap dari Riau dan Jambi mengirimkan ke Singapura dan Malaysia tahun 2013, rakyat Singapura dan Malaysia marah. Mereka mendesak Pemerintahnya untuk menegur Indonesia yang mengeluarkan asap. Mereka meminta Indonesia harus bertanggungjawab”.
Pemerintah Singapura kemudian mengirimkan nota protes. Bahkan Negara-negara ASEAN mendesak Indonesia agar meratifikasi Persetujuan ASEAN Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution). Presiden SBY kemudian meminta maaf kepada Pemerintah Singapura. Namun satu tahun kemudian Indonesia meratifikasinya.

Apakah Indonesia tidak mampu mengendalikan asap dan dapat disebutkan sebagai darurat asap ?

Dalam catatan Walhi, sejak tahun 2006 terdapat 146.264 titik api. Tahun 2007 : 37.909 titik api. Tahun 2008 : 30.616 titik api. Tahun 2009 : 29.463 titik api. Tahun 2010 : 9.898 titik api. Tahun 2011 : 22.456 ttk api. Bahkan selama periode 13-30 Juni 2013, tercatat 2.643 jumlah peringatan titik api, maka pada periode 20 Februari – 11 Maret 2014 saja telah terdeteksi 3.101 titik api.

Dengan menggunakan berbagai penghitungan, maka titik api tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Antara lain, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Angka-angka ini mewakili “kesuraman” persoalan asap dari tahun-ketahun.

Padahal kebakaran Hutan Indonesia di Tahun 1982 - 1983 merupakan kebakaran hutan/lahan terbesar pertama di Indonesia. Kebakaran tahun 1997 - 1998, terjadi di 23 propinsi (dari 27 propinsi di Indonesia pada waktu itu). Hampir seluruh wilayah ASEAN terkena dampaknya.

Periode tahun 1999 – 2007, Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan di tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 cukup besar. Di wilayah Sumatera, kerugian mencapai US $ 7,8 milyar dan di wilayah Kalimantan mencapai US $ 5,8 milyar. Gabungan keduanya telah mencapai separuh dari total kerugaian di seluruh Indonesia. (WALHI, 2006)

Melihat kejadian terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun, maka timbul pertanyaan. Dimana peran dan tanggung jawab negara didalam melindungi hak rakyat untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Pertanggungjawaban negara

Dalam Konstitusi, pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat  (the rights to healthful and deccen environemen) merupakan hak asasi.

Deklarasi ini menegaskan keterkaitan erat antara hak terhadap lingkungan yang baik dan sehat dan hak pembangunan, seperti hak untuk hidup dalam kondisi yang layak dan hak hidup dalam suatu lingkungan yang memiliki kualitas yang memungkinkan manusia hidup sejahtera dan bermartabat.

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (HAL) ini menjadi penopang bagi hak-hak dasar manusia lainnya.

HAL ini kemudian diturunkan didalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pemerintah mendapatkan mandat dari negara untuk melaksanakan kewajiban memenuhi HAL. Namun Pemerintah lalai memenuhi kewajiban untuk memastikan HAL.

Kebakaran yang terjadi setiap tahun sudah menunjukkan di areal kebakaran lahan (titik api) terjadi di wilayah izin perusahaan baik perkebunan maupun Hutan Tanaman Industri (HTI). Pemerintah “tidak berkutik” berhadapan dengan perusahaan.

Padahal Pemerintah dapat memberikan punisment kepada perusahaan yang “tidak mampu” menjaga arealnya.

Namun Pemerintah terkesan bertindak “responsif” dengan menyiapkan berbagai alat pemadam api, menyiapkan masker, membuat edaran “melarang aktivitas warga keluar rumah”. Bahkan persoalan asap menguap ketika “disiram” air ketika musim hujan tiba. Sehingga pelaku pembakaran sama sekali sulit disentuh.

Akhir tahun 2013, Walhi kemudian meminta pertanggungjawaban negara dalam perbuatan melawan hukum oleh negara (onrechtmaatigoverheidaad) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Absolute liability

Prinsip absolute liability sering diidentikkan dengna prinsip strict liability (tanggungjawab mutlak). Prinsip strict liability menetapkan kesalahan dan tanggung jawab mutlak namun tetap memberikan pengecualian untuk dibebaskan dari tanggung jawab (defence), melepaskan tanggungjawab atas kerusakan dari pihak lain, keadaan terpaksa (force majeure) dan bencana alam (the act of god).

Sedangkan absolute liability merupakan prinsip tanggungjawab (responbility) tanpa melihat kesalahan dan tidak dapat dibebaskan dari tanggungjawab.

Dengan demikian maka absolute liability adalah tanggung jawab tanpa berdasarkan kesalahan (liability of non fault).

Asas Absolute liability dapat kita lihat didalam UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Lingkungan Hidup, PP No. 4 Tahun 2001 dan PP nomor 45 tahun 2004 dengan tegas menyatakan “setiap orang dilarang membakar hutan dan kebun

Didalam PP No. 45 tahun 2004 menegaskan “perlindungan hutan dari kebakaran dan melarang melakukan pembakaran. Dengan demikian, maka pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal didalam izinnya. Pemilik izin bertanggungjawab terjadinya kebakaran hutan. Bahkan pemilik izin tidak bisa dikecualikan pertanggungjawaban (defence) baik disebabkan manusia, melepaskan tanggungjawab atas kerusakan dari pihak lain, keadaan terpaksa (force majeure) dan bencana alam (act of god). Asas absolute liability tidak membatasi  sebab terjadinya kebakaran hutan. Kalimat yang sama dapat juga dibaca didalam PP No. 4 tahun 2001.

Makna “pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal”, bertanggung jawab terjadinya kebakaran, tidak ada pengecualian (defence) dapat dikategorikan dan prasyarat sebagai Absolute liability.

Pertanggungjawaban pemilik izin meliputi pidana, tanggung jawab perdata, membayar ganti rugi, rehabilitasi dan sanksi administrasi.

Dengan menggunakan mekanisme Absolute liability, maka pemilik izin tidak dapat menghindarkan dan pengecualian pertanggungjawaban apapun.

Mekanisme ini dapat ditempuh dengan cara melihat titik api (hotspot) dan dilakukan overlay dengan peta. Setelah diketahui dan ditentukan letak titik api (hotspot) didalam sebuah kawasan sebuah izin (baik perkebunan maupun kehutanan) dan setelah “dioverlay”, maka Pemerintah kemudian dapat menyeret pemilik izin untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Dalam beban pembuktian, tidak perlu menentukan perbuatan melawan hukum (onrechmaatigdaad), kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa).  Beban pembuktian ini biasa dikenal didalam sistem hokum Eropa kontinental.

Sedangkan terhadap kejahatan sektor sumber daya alam dengan cara pandang (mainstream) sistem hukum Eropa kontinental harus ditinggalkan. Beban Pembuktian harus bergeser kedalam sistem hokum anglo saxon. Paradigma yang keluar dari ortodok dan konvensional menjadi beban pembuktian yang simple, sederhana dan mudah dilaksanakan.

Dengan menggunakan prasyarat “absolute liability”, maka pemilik izin bertanggungjawab terhadap terjadinya kebakaran didalam izinnya.

Pemerintah dapat “menegakkan hukum” dan menyeret pelaku dimuka hukum bahkan meminta pertanggungjawaban membayar kerugian yang timbul dari kebakaran asap.

Pemerintah dapat memberikan punisment kepada perusahaan yang “tidak mampu” menjaga arealnya. Bahkan Pemerintah dapat mencabut izin  perusahaan.

Dengan meminta pertanggungjawaban pemilik izin dan memberikan hukuman kepada perusahaan yang tidak mampu menjaga arealnya, maka Pemerintah telah melaksanakan kewajiban untuk melindungi Hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik kepada rakyat.