CARA MEMBACA PERBER[1]
Musri Nauli[2]
Ketika
PERBER [3]
kemudian dijadikan salah satu tema diskusi, maka saya kemudian menjadikan
kesempatan memotret PERBER ini secara utuh. Kesempatan melihat PERBER dilihat
dari berbagai aspek berangkat dari “good
will” dari Negara melihat persoalan kehutanan secara utuh.
Pertama.
Lahirnya PERBER dilandasi dengan semangat Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011[4],
Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011[5]
dan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012[6].
Dengan melihat “penegasan” dari
ketiga putusan MK[7],
maka Perber kemudian “mempersiapkan”
tata kelola, mengakui hak masyarakat dan menegaskan hutan adat tidak termasuk
kedalam hutan Negara.
Dengan
menggunakan “penegasan” dari MK, maka
apabila kita lihat didalam merumuskan didalam PERBER belum menjadkan putusan MK
begitu “bermakna”.
PERBER
menggunakan judul “Tata Cara Penyelesaian
Penguasaan Tanah Yang Berada di dalam Kawasan Hutan” mendasarkan kepada ketiga
putusan MK. Maka apabila kita telisik lebih jauh, maka Tatacara yang digunakan
oleh PERBER sama sekali tidak mendasarkan kepada ketiga putusan MK.
Sebagai
contoh, PERBER masih menggunakan definisi “kenyataan
fisik” terhadap bukti kepemilikan dari kalimat “Pengakuan hak adalah proses pemberian hak atas tanah yang alat bukti
kepemilikannya tidak ada tetapi telah dibuktikan kenyataan penguasaan fisiknya
selama 20 tahun sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 61 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997”[8].
Relevansi
pasal 1 ayat 18 PERBER dengan berbagai putusan MK sebagaimana didalam
“pertimbangan” sama sekali tidak tepat.
Misalnya
meletakkan konteks pasal 1 angka 18 PERBER dengan Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011
tidak relevan.
Apabila
kita merujuk kepada putusan MK Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011, maka semangat ini
tidak “nyambung” dengan putusan “maksud” dari Putusan MK.
“Penguasaan fisik selama 20 tahun”
merupakan ranah “fakta” dalam ranah
hokum private. Semangat ini memberikan “keistimewaan”
kepada penguasa tanah pada waktu tertentu. Penguasaan ini diberikan setelah
penggarap mengerjakan tanah dan menguasai fisik tanah selama waktu tertentu.
Penguasaan
wilayah dengan “kenyataan fisik” bertentangan
dengan pemikiran yang hidup di tengah masyarakat .
Di
tengah masyarakat hulu Sungai Batanghari[9],
masyarakat mengenal wilayah yang biasa dikenal dengan Tambo[10].
Mereka mengenal “tata ruang” yang
ditandai dengan daerah-daerah yang tidak boleh dibuka[11].
Daerah ini termasuk kedalam wilayah adat namun “tidak perlu dikuasai “secara fisik”.
Selain
itu masyarakat juga mengenal “areal
pencadangkan” untuk generasi mendatang. Mereka mengenal dengan istilah “sesap rendah jerami tinggi (Bangko)”, empang
kerenggo (Sarolangun), sesap rendah tunggul pembarasan (Tebo), Payo genah
beladang (Kumpeh). Areal pencadangan juga “tidak perlu dikuasai secara fisik”.
Dengan
demikian, maka PERBER masih menggunakan definisi “kenyataan fisik” terhadap bukti kepemilikan tidak sesuai dengan
konsep “penguasaan” wilayah oleh
masyarakat.
Selain
itu juga, penguasaan terhadap wilayah juga tidak berkaitan dengan hak
kepemilikan.
Dalam
praktek sehari-hari di tengah masyarakat, hak terhadap hutan sama sekali tidak
berkaitan dengan “hak kepemilikan” mutlak sebagaimana diatur didalam UUPA.
Seloko
seperti “sesap rendah jerami tinggi
(Bangko)”, empang kerenggo (Sarolangun), sesap rendah tunggul pembarasan
(Tebo), Payo genah beladang (Kumpeh) merupakan bentuk “penguasaan” terhadap
obyek tanah tanpa harus kepemilikan mutlak. Hak milik tidak mengikuti kepemilikan
seseorang. Ajaran ini kemudian
diturunkan seperti “harta berat
ditinggalkan. Harta berat dibawa”.
Kedua.
PERBER masih menggunakan kalimat “Sepanjang pada
kenyataannya masih ada” dari pasal 1 angka 12 yang berbunyi “Pengakuan hak masyarakat hokum adat adalah
pengakuan pemerintah terhadap keberadaan hak-hak masyarakat hokum adat sepanjang
pada kenyataannya masih ada”.
Kalimat
“sepanjang pada kenyataannya masih ada”
merupakan kalimat yang ditemukan didalam UU Kehutanan dan berbagai peraturan
perundang-undangan lainnya.
Bahkan
Mahkamah Konstitusi secara rigit dijelaskan Pasal 51 ayat 1 huruf (b) UU MK menyebutkan
yang menyatakan “Ayat (1) : Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu: 2. kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang.
Penghormatan
terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya harus
didasarkan pada syarat-syarat sebagai berikut “Sepanjang masih hidup, Sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
diatur dalam undang-undang.
Dalam
konteks masyarakat adat, kata “sepanjang
pada kenyataannya masih ada” lebih tepat diletakkan dengan kalimat “masyarakat hokum adat” tanpa embel-embel
kalimat “sepanjang pada kenyataannya
masih ada”.
Ketiga.
PERBER masih menggunakan istilah “data
yuridis” yang menegaskan status hokum bidang tanah dan satuan tanah
rumah susun yang didaftar pemegang haknya dan pihak lain serta beban-beban lain
yang membebaninya.[12].
Data
yuridis kemudian mudah “ditafsirkan” data-data yang bisa dipertanggungjawabkan
secara hokum.
Dalam
praktek jamak yang sering dilakukan, data yuridis kemudian “diplesetkan”
menjadi bukti tertulis. Pasal 7 huruf b PERBER memuat kalimat “Surat pernyataan penguasaan fisik bidang
tanah (SPPFBT) yang dibuat oleh yang bersangkutan dan keterangan yang dapat
dipercaya dari sekurang-kurangnya 2 orang saksi dari lingkungan masyarakat
setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai
derajat kedua baik dalam kekerabatan vertical maupun horizontal yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan adalah benar pemilik bidang tanah tersebut dan
diketahui oleh Kepala Desa/Kelurahan atau sebutan lain yang disamakan dengan
itu”.
Dengan
demikian, maka “lagi-lagi” yang
diutamakan adalah “penguasaan secara
fisik” yang kemudian dirumuskan dengan berbagai dokumen yuridis untuk
mendukung “penguasaan fisik” dari
pemilik tanah. Sebuah padanan yang tidak sesuai dengan berbagai putusan MK.
Keempat.
istilah “data fisik”. Pasal 1 angka
10 PERBER mendefinisikan “Data fisik
adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah
susun yang didaftar termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian
bangunan diatasnya.
Makna
ini kemudian menimbulkan persoalan didalam praktek di lapangan. Menyandingkan
antara “keterangan letak, batas dan luas
bidang tanah” dengan makna “akses
masyarakat” terhadap hutan sama sekali tidak relevan.
Akses
masyarakat terhadap hutan merupakan “areal pencadangkan” untuk generasi
mendatang. Makna seperti “sesap rendah jerami tinggi (Bangko)”, empang
kerenggo (Sarolangun), sesap rendah tunggul pembarasan (Tebo), Payo genah
beladang (Kumpeh). adalah areal
pencadangan juga “tidak perlu dikuasai
secara fisik”.
Kelima.
Didalam PERBER tidak “membuka ruang”
terhadap siapa yang berwenang untuk menentukan wilayah klaim yang diusulkan
oleh masyarakat.
Menilik
PERBER, para pemohon tidak disebutkan. Para pemohon bisa kita temukan didalam Peraturan
Menteri Agraria dan Tatarian/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 2015. DIdalam Pasal 2
hanya disebutkan Masyarakat hokum adat
dan kelompok masyarakat.
Rumusan
masyarakat hokum adat masih menggunakan terminology pasal 67 UU Kehutanan[13].
Dengan menggunakan terminology pasal 67, maka para pemohon yang mengajukan ke tim
IP4T[14]
kemudian terjebak dengan kalimat “melakukan pemungutan hasil hutan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.
Padahal “akses terhadap” hutan oleh
masyarakat adat tidak semata-mata berkaitan dengan kegiatan “melakukan
pemungutan hasil hutan”. Akses menjaga hutan dengan hulu sungai seperti “kepala
sauk”, kawasan penting yang ditandai dengan “Teluk sakti Rantau betuah
gunung bedewo”, rimbo sunyi’, sialang pendulangan, “lupak
pendanauan”, “Payo genah beladang”, tidak
berkaitan dengan kegiatan “memungut hasil hutan”. Sebuah reduksi makna
“pentingnya hutan”.
Prinsip-prinsip
hukum adat yang berlaku bagi masyarakat memiliki ciri antara lain. Magis dan
keagamaan (magis religious), nyata
atau konkrit (concrete), kontan atau
tunai, (cash), keberlakuan ajeg (constant) dan fleksibel (flexible). Hak ini melekat yang ditandai
dengan
- Hak untuk “menguasai” (memiliki, mengendalikan) & mengelola
(menjaga, memanfaatkan) tanah dan sumber daya alam di wilayah adatnya;
- Hak untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan hukum adat
(termasuk peradilan adat) dan aturan-aturan adat yang disepakati bersama
oleh masyarakat adat;
- Hak untuk mengurus diri sendiri berdasarkan sistem
kepengurusan/ kelembagaan adat;
- Hak atas identitas, budaya, sistem kepercayaan (agama), sistem
pengetahuan (kearifan tradisional) dan bahasa asli.
Keenam. PERBER tidak “menyiapkan ruang”
untuk menyelesaikan tumpang tindih permohonan dengan wilayah yang telah
diberikan konsensi kepada perusahaan. Sama sekali tidak ada ruang untuk
menyelesaikannya.
Dengan melihat semangat PERBER yang
mendasarkan kepada putusan MK didalam bagan “pertimbangannya, PERBER sama
sekali tidak menyambut semangat dari putusan MK. Sandaran kepada putusan MK
sama sekali tidak termaktub jelas didalam PERBER.
Selain itu juga, PERBER masih menanggap “para
pemohon” terhadap penguasaan tanah dikawasan hutan masih memandang “tanah
sebagai komoditas”, tanah sebagai asset dan tanah sebagai investasi yang
ekuivent dengan obyek.
Padahal di tengah pemikiran masyarakat hokum
adat. Tanah tidak semata-mata sebagai komoditas yang tidak ternilai harganya.
Tanah merupakan “identitas”. Tanah merupakan symbol-simbol penghormatan pentingnya
“hutan”. Ter Haar sendiri menyebutkan adanya penghormatan tempat-tempat
yang dilarang untuk dibuka[15].
Yusmar Yusuf menyebutkannya “rimbo
simpanan atau rimbo larangan”[16].
Tideman melaporkan sebagai “rimbo gano[17]”.
Simbol-simbol seperti “Teluk sakti.
Rantau Betuah. Gunung Bedewo”, Sialang pendulangan, kepala sauk, lupak
pendanauan, Kepala sauk, hulu sungai, Payo genah beladang” merupakan
penghormatan terhadap pentingnya menjaga hutan. Sebuah makna yang tidak bisa
direduksi dengan makna “kepemilikan” yang disampaikan didalam UU Kehutanan.
Sudah
saatnya paradigma “menghormati” hutan
berdasarkan symbol-simbol yang dipegang masyarakat hokum adat harus diletakkan
pada konteksnya “menghormati dan mengakui”
identitas masyarakat[18].
Identitas yang tidak dapat dipisahkan
dari hutan dan cara pandang masyarakat terhadap hutan.
[1] DIsampaikan pada Kegiatan Pelatihan Pendamping Hukum
Masyarakat untuk Kasus Hutan Tanaman Industri, Palembang 10 – 11 Juli 2015
[2] DIrektur Walhi Jambi
[3] Perber yang dimaksudkan adalah Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala BPN
yang mengatur tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah Yang Berada di
dalam kawasan hutan.
[4] Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 pada pokoknya
menegaskan Negara harus memperhatikan dan menghormati ha katas tanah
masyarakat.
[5] Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 berisikan pada pokoknya
pengukuhan kawasan hutan harus segera dituntaskan untuk menghasilkan kawasan
hutan yang berkepastian hokum dan keadilan.
[6] MK No. 35/PUU-X/2012 menegaskan hutan adat bukan
merupakan hutan Negara.
[7] Didalam pertimbangannya.
[8] pasal 1 angka 18 Perber
[9] Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu
Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan
Muara Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial
Institutut, Amsterdam, 1938.
[10] Tambo berasal dari bahasa sanskerta, tambay yang
artinya bermula. (wikipedia). Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo
merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo
atau tarambo dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno
Diradjo, Dt. Tambo Alam Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai
istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah
berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat
baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan
berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah,
dan sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi
dan masih terlihat sampai sekarang. Bandingkan definisi yang diberikan oleh
Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH,
Prisma, 9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru
semacam ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera. Versi yang sama juga
terjadi pada pembukaan tanah di Kalimantan sebagaimana riwayat Sultan Adam yang
dituangkan oleh Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang
Sultan Adam, dalam majalah Orientasi, nomor 2, Januari 1977. Begitu juga ketika
Sri Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A.
Basit Adnan, “Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji Masyarakat, nomor
233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH
dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1,
Tahun VIII, Januari 1978.
[11] Di Margo Bathin Pengambang (Sarolangun), biasa
dikenal dengan “Teluk sakti. Rantau Betuah. Gunung Bedewo. Di Margo Sungai
Tenang (Merangin) dikenal dengan Rimbo Sunyi. Tempat siamang beruang putih.
Tempat ungko berebut tangis. Di Margo Sumay (Tebo) dikenal “Sialang
pendulangan”, lupak pendulangan. Di berbagai tempat masyarakat juga mengenal
“ulu sungai, kepala sauk.
[12] Pasal 1 angka 9 PERBER
[13] Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan menyebutkan Masyarakat
hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya
berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan masih
memungut dari hasil hutan.
[14]Istilah IP4T adalah Tim Inventarisasi Penguasaan,
Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah ditemukan didalam pasal 1 angka 9
Peraturan Menteri Agraria dan Tatarian/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 2015. Menurut
Pasal 4 PERBER, IP4T bertugas untuk menerima permohonan pendaftaranan IP4T,
melakukan verifikasi permohonan IP4T, melaksanakan pendataan lapangan, melakukan
analisa yuridis dan fisik, menerbitkan hasil analisis berupa rekomendasi dan
menyerahkan hasil analisis
[15] Ter Haar dalam bukunya “Beginselen van ret
adatrecht” sebagaimana dikutip oleh Nico Ngani, Perkembangan hukum adat,
op.cit. Hal, 16
[16] Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA WIDYA
SASTRA, Jakarta, 2009, Hal. 71
[17] F. J.
Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
[18] Makna hakiki dari pasal 18 b konstitusi