28 Desember 2015

opini musri nauli : Meminta Pertanggungjawaban korporasi kebakaran



Kebakaran tahun 2015 menyebabkan asap pekat di Jambi hampir 4 bulan. Asap pekat yang terus menutupi matahari di Jambi ternyata belum mampu memberikan empati kepada persoalan asap. Dalam kurun Januari 2014 – Agustus 2015, di Jambi sudah menunjukkan 1300 titik api (hotspot). Angka ISPO sudah mencapai 769 pm, angka level empat kali membahayakan bagi kesehatan. Minggu pertama September saja, angka ISPA sudah mencapai angka ribuan. Kematian bayi, perebutan air bersih, terhentinya penerbangan melalui udara. Tidak melautnya nelayan, hingga diliburkannya anak sekolah adalah fakta-fakta yang sudah terpapar di depan mata.

Dengan menggunakan berbagai sumber, titik api menunjukkan berada di kawasan izin konsesi HTI dan sawit. Walhi Jambi sendiri memastikan 80 % letak titik api berada di izin HTI dan sawit. Pola yang sama, berulang, canggih dan “terkesan” dilindungi dari hukum.


Melihat pola kebakaran asap maka bisa dihitung secara periodik. Memulai “tradisi” asap di Jambi tahun 1997 (sebuah kebakaran massal yang menyelimuti Indonesia dengan titik api berada di 23 Propinsi) kemudian berulang 5 tahun kemudian. Namun sejak tahun 2006, pola ini semakin massif dengan berulang dua tahun sekali. Yang lebih memilukan, sejak tahun 2010, pola ini semakin berulang setiap tahun dengan titik konsentrasi tahun 2013 dan tahun 2015.


Tahun 2013, Indonesia kemudian “diprotes” oleh Singapura dan Malaysia yang menerima “ekspor” asap dari Indonesia. Namun tahun 2015, pesisir pantai timur Sumatera yang berkawasan gambut memanjang dari Riau, Jambi dan Sumsel kemudian “merasakan” akibat dengan titik api yang berada di gambut.


Dalam catatan Walhi, sejak tahun 2006 terdapat 146.264 titik api. Tahun 2007 : 37.909 titik api. Tahun 2008 : 30.616 titik api. Tahun 2009 : 29.463 titik api. Tahun 2010 : 9.898 titik api. Tahun 2011 : 22.456 ttk api. Bahkan selama periode 13-30 Juni 2013, tercatat 2.643 jumlah peringatan titik api, maka pada periode 20 Februari – 11 Maret 2014 saja telah terdeteksi 3.101 titik api. Untuk tahun 2015, titik api telah membakar seluas 135 ribu hektar[1]


Dengan menggunakan berbagai penghitungan, maka titik api tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Antara lain, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Angka-angka ini mewakili “kesuraman” persoalan asap dari tahun-ketahun.


Padahal kebakaran Hutan Indonesia di Tahun 1982 - 1983 merupakan kebakaran hutan/lahan terbesar pertama di Indonesia. Kebakaran tahun 1997 - 1998, terjadi di 23 propinsi (dari 27 propinsi di Indonesia pada waktu itu). Hampir seluruh wilayah ASEAN terkena dampaknya[2].


Periode tahun 1999 – 2007, Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan di tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 cukup besar. Di wilayah Sumatera, kerugian mencapai US $ 7,8 milyar dan di wilayah Kalimantan mencapai US $ 5,8 milyar. Gabungan keduanya telah mencapai separuh dari total kerugaian di seluruh Indonesia. (WALHI, 2006).


Kebakaran kemudian menyebabkan asap pekat. Menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. NASA memperkirakan 600 juta ton gas rumah kaca telah dilepas akibat kebakaran hutan di Indonesia tahun ini. Jumlah itu kurang lebih setara dengan emisi tahunan gas yang dilepas Jerman[3]


25,6 juta orang terpapar asap dan mengakibatkan 324.152 jiwa yang menderita ISPA dan pernafasan lain akibat asap. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) melampaui batas berbahaya. Bahkan hingga enam kali lipat seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. 12 orang anak-anak meninggal dunia akibat asap dari kebakaran hutan dan lahan. 4 balita di Kalteng, 3 orang di Jambi, 1 orang di Kalbar, 3 di Riau dan 1 orang di Sumsel.


Entah memang “tidak menguasai kondisi di lapangan” atau memang ada indikasi “melindungi” kepentingan bisnis yang mencengkram pesisir pantai timur Sumatera, issu pokok tentang asap kemudian “dikamuflase” dan menggiring publik untuk melihat persoalan asap dari sudut yang lain. Dan perdebatan publik kemudian “digiring” menjadi polemik “tuduhan” terhadap masyarakat yang membakar. Dan pesan ini disampaikan berulang-ulang. Baik dari level tertinggi seperti Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga petinggi negeri di Jambi.


Ditengah kebakaran sejak tahun 2010, hukum belum mampu menjangkau korporasi untuk diminta pertanggungjawaban (liability). Selain putusan PT. Kalista alam dan Putusan PT. Adei Plantation, hampir praktis korporasi belum bisa dimintakan pertanggungjawaban (liability).


Didalam melihat persolan kebakaran, berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan tidak dapat dipisahkan dari berbagai ketentuan yang berkaitan dengan UU Sumber daya alam. Penulis mencatat 18 UU yang berkaitan dengan sumber daya alam yang memberikan perlindungan terhadap hutan dan lahan.


Pasal 69 ayat (1) UU Lingkungan Hidup, Pasal 56 UU Perkebunan dan pasal 50 ayat (3) huruf d  UU Kehutanan  secara tegas mencantumkan “larangan membakar”. Namun didalam ketiga UU kemudian dimaknai dengna “perbuatan sengaja (dolus)” yang dilakukan oleh korporasi dan perorangan. Dalam sistem eropa continental kemudian harus dibuktikan hubungan sebab akibat (causalitet) dan hubungan antara kesalahan (schuld) dan pertanggungjawaban (liability). Asas ini kemudian dikenal dengan istilah “tiada pemidanaan tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens sir rea). Adanya hubungan antara kesalahan dengan pertanggungjawaban, maka tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability based on fault).


Sehingga kemudian membuktikan “perbuatan sengaja (kehendak jahat/mens rea)” menimbulkan kesulitan proses penegakkan hokum.


Absolute Liability


Dalam hukum kebakaran hutan dan lahan, mekanisme sistem pembuktian dalam sistem hukum Eropa Kontinental haruslah ditinggalkan. Merujuk pasal 48 ayat (3) UU Kehutanan dinyatakan “Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya”. Pasal 49 justru menegaskan “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal  kerjanya. Pasal 56 ayat (2) UU Perkebunan kemudian memerintahkan kepada “pelaku usaha perkebunan” untuk menyiapkan sistem, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun. Ketentuan ini kemudian diatur lebih rinci di Peraturan Menteri Pertanian Nomor 47 tahun 2014


Menilik pasal 48 dan pasal 49 UU Kehutanan, pasal 56 ayat (2) UU Perkebunan maka “pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal didalam izinnya. Makna ini kemudian dapat dilihat didalam pasal 20 PP No. 4 Tahun 2001 maupun pasal 18 UU PP No. 45 tahun 2004 dan Permentan No. 47 tahun 2014


Dengan melihat makna “pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal didalam izinnya”, maka pemilik izin kemudian tidak dapat melepaskan tanggungjawab terhadap kebakaran di arealnya. Asas ini kemudian dikenal asas absolute liability.


Absolute liability kemudian mengenyampingkan asas “tiada pemidanaan tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens sir rea). Dengan demikian maka asas absolute liability kemudian dapat meminta pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault) dan mengenyampingkan asas liability based on fault


Asas Absolute liability memberikan beban tanggungjawab lebih besar kepada pemilik izin daripada asas "strict liability". Strict liability dimungkinkan untuk melepaskan tanggung jawab dengan berbagai persayaratan. Misalnya dengan pembagian resiko atau berbagai model melepaskan tanggungjwabnya (defende).


Sedangkan terhadap absolute liabilty tidak dimungkinkan lepas dari pertanggungjawaban. Kecuali force mayour, the act of god dan bencana alam. Putusan PT. Kalistra Alam dan PT. Ade plantation jelas menyebutkan tanggungjawab korporasi. Putusan PT. Kalista Alam dapat dijadikan yurisprudensi karena telah mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkracht van gewijsde).


Dengan menggunakan pasal 49 UU Kehutanan, pasal 56 UU Perkebunan, Pasal 20 PP No. 4 Tahun 2001, PP No. 45 tahun 204 dan Permentan No. 47 tahun 2014 sebagai dasar penggunaan asas Absolute liability, maka korporasi kemudian bertanggungjawab terhadap kebakaran dan juga menyebabkan penurunan baku mutu emisi. Sehingga berdasarkan pasal 98 atau pasal 108 UU Lingkungan hidup, korporasi tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban. Baik terhadap ganti rugi maupun pemulihan terhadap lingkungan hidup.


Walhi Jambi kemudian berhasil mengidentifikasi perusahaan sebagai penyebab kebakaran tahun 2015. Dari hasil groundcheck di lapangan, maka konsentrasi diarahkan kepada 18 perusahaan yang tergabung didalam group-group besar. 18 Perusahaan kemudian terletak di 5 kabupaten. Mekanisme gugatan melalui gugatan kelompok (class action) sebagaimana diatur didalam PERMA No. 1 tahun 2002. Masyarakat yang dikelompokkan kedalam kesamaan fakta, kesamaan dasar hokum dan kesamaan dalil permohonan (petitum) kemudian terdiri di 20 Desa di 5 Kabupaten.


Gugatan yang disampaikan selain meminta pertanggungjawaban dari korporasi dengan menyatakan absolute liability (pertanggungajawaban penuh) sebagaimana dalil yang disampaikan berbagai peraturan perundang-undangan, juga meminta kepada perusahaan agar dapat melakukan tanggungjawab hokum untuk melakukan  pemulihan lahan yang terbakar (restorasi). Restorasi “dipaksakan” untuk daerah-darah gambut yang paling massif menyebabkan kebakaran.


Gugatan dilakukan selain meminta pertanggungjawaban kepada para pelaku juga menghapus “dugaan” imunitas terhadap pelaku yang belum tersentuh oleh hokum. Gugatan juga dilakukan dengan dukungan dari korban yang menderita disebabkan kebakaran.


Baca : Hukum Kebakaran Hutan dan Lahan dan KEBAKARAN DALAM PEMBICARAAN INTERNASIONAL


[1] LAPAN, Kompas, November 2015

[2] Kebakaran terbesar dan terluas terjadi pada tahun 1982-1983 yang mencapai 3,2 juta hektare. Kemudian disusul pada 1997 seluas 1,3 juta hektare. The Singapore Center for Remote Sensing menyebutkan 1,5 juta hektar.

[3] Data dari berbagai sumber. Diolah oleh Walhi Jambi, 2015