04 Januari 2016

opini musri nauli : Siapa Direktur Walhi 2016 - 2020 ? (Pernik-pernik menjelang PNLH)

Menjelang Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH-Kongres Walhi), suasana hiruk pikuk menjelang PNLH mulai memantik pertarungan siapa yang menjadi Direktur Eksekutif Walhi 2016-2020. Dari nama yang beredar yang sudah mendaftar, Nurhidayati (yaya), Pius Ginting (Pius) dan Arie Rompas (Rio). Ketiganya sudah mendeklarasikan untuk bertarung menjadi “Walhi satu”. Sebuah sign dan penamaan untuk Direktur Walhi.

Secara organisasi, saya mengenal mereka dari interaksi advokasi Walhi. Namun tentu saja secara  pribadi saya mempunyai penilaian tersendiri dalam hubungan emosional hubungan personal.

Namun kata orang bijak. “Alam tidak bisa berbohong”. Di alamlah semua tingkah laku, kelakuan, perangai (kata orang Jambi) tidak bisa berbohong. Pendakian Gunung Tambora telah mengenalkan pribadi masing-masing. Di Puncak Gunung Tambora, di setiap pos pemberhentian, saya mengenal ketiganya. Baik dalam mengambil keputusan penting ( ditengah keputusan harus berhenti/ngecamp, atau terus berjalan) maupun dalam canda gurau.

Sebagai leadership, sikap kepemimpinan telah ditunjukan ketiganya. Mereka mengambil sikap untuk mengikuti barisan para pendaki mengikuti rute k Gunung Tambora.

Saya ingat persis, ketika peserta KNLH (semacam Rapimnas Walhi) kemudian terbelah dua untuk mengikuti agenda paska KNLH. Sebagian memilih ke Gilitrawangan dan sebagian memilih pendakian ke Gunung Tambora. Kami kemudian memberikan istilah “kelompok gilitrawangan” dan “kelompok Tambora”. 

Suasana menjadi heboh. Persis “suasana kampanye” Pemilu. Kedua barisan saling memprovokasi untuk “mematahkan argumentasi” sehingga kelompoknya yang merasa paling benar. Kedua kelompok sama-sama kuat. Bahkan di kalangan nasionalpun terbelah. Kelompok Gilitrawangan maupun kelompok Tambora didukung personil Eksekutif Nasional maupun Dewan Nasional. Sebuah “pertarungan” paling panas setelah penentuan tuan rumah PNLH.

Namun demokrasi khas Walhi adalah “mengeluarkan argumentasi” namun tetap saling menghormati pilihan masing-masing. Kelompok Gilitrawangan dan kelompok Tambora tetap dengan agenda masing-masing. Dan saya kemudian memberikan apresiasi kepada candidate Direktur Walhi yang memilih mengikuti agenda ke Tambora.

Perjalanan yang panjang, menempuh perjalanan sehari dari Pulau Lombok ke Pulau Sumbawa, praktis 2 hari ngecamp membuat saya mengenal mereka lebih personal. Selain Yaya (pernah mendaki Kerinci tahun 2013), di lapangan barulah saya mengenal Rio dan Pius. Dalam hubungan emosional, saya lebih banyak berinteraksi dengan Rio (teranyar tentu saja dalam jaringan melawan asap). Sedangkan dengan yaya dan Pius dalam hubungan advokasi, saya lebih intensif dalam jaringan nasional. Sehingga praktis, di lapangan saya mengenal mereka lebih dekat dalam waktu bersamaan.

Dalam perjalanan ke Tambora, fisik saya tidak sekuat dengan yaya (yang konon jogging mengelilingi lapangan dapat ditempuh 20 x non stop). Yaya cukup aktif menjaga kesehatan sehingga perjalanan turun-naik Tambora tidak mengalami fisik kelelahan. Sebuah tekad yang dipersiapkan dengan baik, perencanaan matang membuat Yaya tangguh di Tambora

Atau dengan Pius yang rajin berolahraga, tidak merokok, menjalani hidup sehat. Sebuah filosofi yang dipegang oleh Pius sehingga bisa melihat ketangguhannya di Tambora.

Fisik saya mungkin juga tidak lebih baik dari Rio yang usianya sedikit di bawah saya.

Namun semangat mengalahkan diri sendiri saya temukan kepada Rio (yang mengaku 7 tahun tidak mendaki, sedikit mengalami kram di kaki) namun tetap berjalan mengikuti perjalanan ke Tambora. Dengan kaki “sedikit” pincang namun tetap berjalan terus membuat saya mengagumi “Sikap tangguh” dan saya harus rela menemani sepanjang perjalanan turun dari Pos 5 ke Pos 1. Saya kemudian membayangkan “sikap petarung” dari Rio merupakan modal yang kuat menghadapi PNLH 2016

Dalam keadaan krisis, ketika tim tercecer turun dari pos 5, sikap kepemimpinan mulai tumbuh dari ketiganya. Saya termasuk tim di belakang (tim sweeper). Pilihan saya mengambil barisan di belakang (tim sweeper) selain memang fisik tidak mampu berjalan cepat seperti barisan di depan juga keinginan menikmati perjalanan di Tambora sambil “sedikit santai’. Tokh Pendakian ini adalah pendakian “menikmati alam”. Bukan Ekspedisi apalagi “touring’.

Dalam perjalanan, ketua Rio dan ketuawati Chaus (Direktur Walhi Sumbar) melihat “kegigihan” langkah demi langkah dari Ketua Rio dan Ketuawati Chaus (yang juga sedikit bermasalah dengan kram kakinya) membuat “jiwa petarung” dari Rio. Sebagai sebuah sikap keteladanan. Tidak perlu “melawan alam” (kondisi fisik yang mulai turun) namun tidak boleh kalah dan tetap semangat membangkitkan optimism sehingga tidak membuat mental teman-teman menjadi drop (turun).  

Tanpa menutupi rasa sakit namun tidak cengeng membuat langkah kami berjalan sangat pelan. Kami kemudian “kesorean” di pos 3. Langit mulai gelap. Kami kemudian menentukan sikap. Meneruskan perjalanan dengna kondisi yang sedikit “sempoyongan’, atau harus “ngecamp” untuk istirahat.

Dalam diskusi kecil dengan melihat logistic, tenda, maka kami kemudian memutuskan harus meneruskan perjalanan. Logistik tidak mencukupi dua kali makan. Sedangkan tenda tidak mencukupi peserta yang tertinggal.

Perjalanan malampun ditempuh. Dengan hujan yang terus mengguyuri Tambora, diterangi senter yang kurang maksimal, peserta Sweeper praktis berjalan dengan langkah berdekatan. Langkah satu demi satu dijalani. Entah berapa kali saya mendengar suara “gedebug” sebagai tanda adanya yang jatuh. Langkah kamipun semakin pelan menunggu teman-teman meniti langkah demi langkah.

Setelah menempuh perjalanan 4 jam, kami ditunggu di Pos 1. Di Shelter 1, setelah makan malam, kami mulai mengadakan rapat kecil untuk menentukan langkah selanjutnya. Apakah harus menempuh 4 jam perjalanan turun ke pintu rimba atau harus mengecamp di pos 1.

Melihat jumlah tenda domb yang tersedia, logistic dan ditambah kondisi personil yang mulai “compang camping”, maka diputuskan kemudian ngecamp di pos 1. Sebuah keputusan yang tepat sembari menikmati alam.

Sebelumnya ketika Yaya ketika turun dari Pos 5 kemudian berpapasan dengan saya. Saya mengeluarkan ide agar ada tim yang duluan turun ke bawah dan mempersiapkan segala sesuatu menghindarkan peristiwa yang tidak terduga. Praktis yaya menempuh perjalanan turun dari pos 5 hingga ke pintu rimba selama -5-6 jam. Sebuah waktu yang bisa ditempuh dengan kondisi fisik yang prima.

(Dalam cerita terpisah), Yaya kemudian mencari porter untuk mengantar nasi (makan Malam) dan makan pagi. Sebuah leadership yang mengutamakan “keutuhan kelompok” daripada mementingkan kepentingan pribadi. Leadership yang dibutuhkan memimpin kelompok bahkan organisasi.

Keesokan harinya setelah pagi hari, kami “tertawa riang” menuruni tambora setelah istirahat “cukup” di Pos 1. Kamipun saling berbagi cerita di pos bawah.

Dari perjalanan Tambora saya kemudian bisa menilai ketiganya. Modal leadership dimiliki ketiganya. Stamina yang kuat, perencanaan yang matang, mengutamakan kepentingan bersama/kelompok, tidak menyerah, optimis, meniti langkah demi langkah adalah pengalaman pribadi yang saya temukan di Tambora. Modal leadership inilah yang menjadi pernik-pernik di PNLH 2016.

Namun siapapun yang terpilih menjadi Direktur, Direktur Walhi 2016-2020 adalah Pendaki Gunung. Dia adalah Pencinta Alam. Dan saya bangga mengenal ketiga dan bagian dari sejarah di Tambora.