Menjelang Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH-Kongres Walhi), suasana hiruk pikuk
menjelang PNLH mulai memantik pertarungan siapa yang menjadi Direktur Eksekutif
Walhi 2016-2020. Dari nama yang beredar yang sudah mendaftar, Nurhidayati (yaya), Pius Ginting (Pius) dan Arie Rompas (Rio). Ketiganya sudah mendeklarasikan
untuk bertarung menjadi “Walhi satu”.
Sebuah sign dan penamaan untuk Direktur Walhi.
Secara organisasi, saya mengenal mereka dari
interaksi advokasi Walhi. Namun tentu saja secara pribadi saya mempunyai penilaian tersendiri
dalam hubungan emosional hubungan personal.
Namun kata orang bijak. “Alam tidak bisa berbohong”. Di alamlah semua tingkah laku,
kelakuan, perangai (kata orang Jambi)
tidak bisa berbohong. Pendakian Gunung Tambora telah mengenalkan pribadi
masing-masing. Di Puncak Gunung Tambora, di setiap pos pemberhentian, saya
mengenal ketiganya. Baik dalam mengambil keputusan penting ( ditengah keputusan harus berhenti/ngecamp,
atau terus berjalan) maupun dalam canda gurau.
Sebagai leadership, sikap kepemimpinan telah
ditunjukan ketiganya. Mereka mengambil sikap untuk mengikuti barisan para
pendaki mengikuti rute k Gunung Tambora.
Saya ingat persis, ketika peserta KNLH (semacam Rapimnas Walhi) kemudian
terbelah dua untuk mengikuti agenda paska KNLH. Sebagian memilih ke
Gilitrawangan dan sebagian memilih pendakian ke Gunung Tambora. Kami kemudian
memberikan istilah “kelompok
gilitrawangan” dan “kelompok Tambora”.
Suasana menjadi heboh. Persis “suasana kampanye” Pemilu. Kedua barisan saling memprovokasi untuk “mematahkan argumentasi” sehingga
kelompoknya yang merasa paling benar. Kedua kelompok sama-sama kuat. Bahkan di
kalangan nasionalpun terbelah. Kelompok Gilitrawangan maupun kelompok Tambora
didukung personil Eksekutif Nasional maupun Dewan Nasional. Sebuah “pertarungan” paling panas setelah
penentuan tuan rumah PNLH.
Namun demokrasi khas Walhi adalah “mengeluarkan argumentasi” namun tetap
saling menghormati pilihan masing-masing. Kelompok Gilitrawangan dan kelompok
Tambora tetap dengan agenda masing-masing. Dan saya kemudian memberikan
apresiasi kepada candidate Direktur Walhi yang memilih mengikuti agenda ke
Tambora.
Perjalanan yang panjang, menempuh perjalanan sehari
dari Pulau Lombok ke Pulau Sumbawa, praktis 2 hari ngecamp membuat saya
mengenal mereka lebih personal. Selain Yaya (pernah mendaki Kerinci tahun 2013), di lapangan barulah saya
mengenal Rio dan Pius. Dalam hubungan emosional, saya lebih banyak berinteraksi
dengan Rio (teranyar tentu saja dalam
jaringan melawan asap). Sedangkan dengan yaya dan Pius dalam hubungan
advokasi, saya lebih intensif dalam jaringan nasional. Sehingga praktis, di
lapangan saya mengenal mereka lebih dekat dalam waktu bersamaan.
Dalam perjalanan ke Tambora, fisik saya tidak
sekuat dengan yaya (yang konon jogging
mengelilingi lapangan dapat ditempuh 20 x non stop). Yaya cukup aktif
menjaga kesehatan sehingga perjalanan turun-naik Tambora tidak mengalami fisik
kelelahan. Sebuah tekad yang dipersiapkan dengan baik, perencanaan matang
membuat Yaya tangguh di Tambora
Atau dengan Pius yang rajin berolahraga, tidak
merokok, menjalani hidup sehat. Sebuah filosofi yang dipegang oleh Pius
sehingga bisa melihat ketangguhannya di Tambora.
Fisik saya mungkin juga tidak lebih baik dari Rio
yang usianya sedikit di bawah saya.
Namun semangat mengalahkan diri sendiri saya
temukan kepada Rio (yang mengaku 7 tahun
tidak mendaki, sedikit mengalami kram di kaki) namun tetap berjalan
mengikuti perjalanan ke Tambora. Dengan kaki “sedikit” pincang namun tetap berjalan terus membuat saya mengagumi “Sikap tangguh” dan saya harus rela
menemani sepanjang perjalanan turun dari Pos 5 ke Pos 1. Saya kemudian
membayangkan “sikap petarung” dari Rio merupakan modal yang kuat menghadapi
PNLH 2016
Dalam keadaan krisis, ketika tim tercecer turun
dari pos 5, sikap kepemimpinan mulai tumbuh dari ketiganya. Saya termasuk tim
di belakang (tim sweeper). Pilihan
saya mengambil barisan di belakang (tim
sweeper) selain memang fisik tidak mampu berjalan cepat seperti barisan di
depan juga keinginan menikmati perjalanan di Tambora sambil “sedikit santai’. Tokh Pendakian ini
adalah pendakian “menikmati alam”.
Bukan Ekspedisi apalagi “touring’.
Dalam perjalanan, ketua Rio dan ketuawati Chaus (Direktur Walhi Sumbar) melihat “kegigihan” langkah demi langkah dari
Ketua Rio dan Ketuawati Chaus (yang juga
sedikit bermasalah dengan kram kakinya) membuat “jiwa petarung” dari Rio. Sebagai sebuah sikap keteladanan. Tidak
perlu “melawan alam” (kondisi fisik yang
mulai turun) namun tidak boleh kalah dan tetap semangat membangkitkan
optimism sehingga tidak membuat mental teman-teman menjadi drop (turun).
Tanpa menutupi rasa sakit namun tidak cengeng
membuat langkah kami berjalan sangat pelan. Kami kemudian “kesorean” di pos 3. Langit mulai gelap. Kami kemudian menentukan
sikap. Meneruskan perjalanan dengna kondisi yang sedikit “sempoyongan’, atau harus “ngecamp”
untuk istirahat.
Dalam diskusi kecil dengan melihat logistic, tenda,
maka kami kemudian memutuskan harus meneruskan perjalanan. Logistik tidak
mencukupi dua kali makan. Sedangkan tenda tidak mencukupi peserta yang
tertinggal.
Perjalanan malampun ditempuh. Dengan hujan yang
terus mengguyuri Tambora, diterangi senter yang kurang maksimal, peserta
Sweeper praktis berjalan dengan langkah berdekatan. Langkah satu demi satu
dijalani. Entah berapa kali saya mendengar suara “gedebug” sebagai tanda adanya yang jatuh. Langkah kamipun semakin
pelan menunggu teman-teman meniti langkah demi langkah.
Setelah menempuh perjalanan 4 jam, kami ditunggu di
Pos 1. Di Shelter 1, setelah makan malam, kami mulai mengadakan rapat kecil
untuk menentukan langkah selanjutnya. Apakah harus menempuh 4 jam perjalanan
turun ke pintu rimba atau harus mengecamp di pos 1.
Melihat jumlah tenda domb yang tersedia, logistic dan
ditambah kondisi personil yang mulai “compang
camping”, maka diputuskan kemudian ngecamp di pos 1. Sebuah keputusan yang
tepat sembari menikmati alam.
Sebelumnya ketika Yaya ketika turun dari Pos 5
kemudian berpapasan dengan saya. Saya mengeluarkan ide agar ada tim yang duluan
turun ke bawah dan mempersiapkan segala sesuatu menghindarkan peristiwa yang
tidak terduga. Praktis yaya menempuh perjalanan turun dari pos 5 hingga ke
pintu rimba selama -5-6 jam. Sebuah waktu yang bisa ditempuh dengan kondisi
fisik yang prima.
(Dalam cerita
terpisah), Yaya kemudian mencari porter untuk mengantar nasi (makan Malam)
dan makan pagi. Sebuah leadership yang mengutamakan “keutuhan kelompok” daripada mementingkan kepentingan pribadi.
Leadership yang dibutuhkan memimpin kelompok bahkan organisasi.
Keesokan harinya setelah pagi hari, kami “tertawa riang” menuruni tambora setelah
istirahat “cukup” di Pos 1. Kamipun
saling berbagi cerita di pos bawah.
Dari perjalanan Tambora saya kemudian bisa menilai
ketiganya. Modal leadership dimiliki ketiganya. Stamina yang kuat, perencanaan
yang matang, mengutamakan kepentingan bersama/kelompok, tidak menyerah,
optimis, meniti langkah demi langkah adalah pengalaman pribadi yang saya
temukan di Tambora. Modal leadership inilah yang menjadi pernik-pernik di PNLH
2016.
Namun siapapun yang terpilih menjadi Direktur,
Direktur Walhi 2016-2020 adalah Pendaki Gunung. Dia adalah Pencinta Alam. Dan
saya bangga mengenal ketiga dan bagian dari sejarah di Tambora.
Baca : Belajar Demokrasi Walhi 2012