Sebelum
lahirnya UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, sistem Pemerintahan
Desa masih mengacu kepada sistem peninggalan Belanda.
Setelah
Sultan Thaha Saifuddin gugur tahun 1904. Wilayah Jambi dinamakan Residentie
DJambi dan ditetapkan menjadi Keresidenan dan masuk wilayah Nederlandsch Indie.
Residen Jambi, O.L. Helfrich diangkat menjadi berdasarkan Keputusan Gubernur
Jenderal No. 20 tanggal 4 Mei 1906. Nama Sultan Thaha Saifuddin kemudian
ditetapkan menjadi nama Bandara di Jambi.
Setelah
kemerdekaan, Jambi kemudian menjadi Propinsi Sumatera. Tanggal 18 April 1946,
Propinsi Sumatera kemudian dibagi menjadi Propinsi Sumatera Utara, Propinsi
Sumatera Tengah dan Propinsi Sumatera Selatan. Propinsi Sumatera Tengah
kemudian terdiri dari Sumatera Barat, Riau dan Jambi berdasarkan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1948.
Tarik
menarik Residen Jambi menjadi Propinsi Sumatera Tengah atau Propinsi Sumatera
Selatan menjadi cukup alot. Dan akhirnya berdasarkan rapat KNI Sumatera masuk
ke Sumatera Tengah.
Dalam
berbagai literature dan catatan, Jambi sering ditempatkan kedalam Sumatera Tengah dan kawasan
pantai timur Sumatera. Kata-kata seperti Midden Sumatera (Sumatera Tengah)
sering diulas oleh P.J. Veth dalam karya berserinya seperti Aardrijksundige
Beschrijving, Reisverhaal, Naturlijke historie, Volkbeschrijving. Sedangkan
von Alfred Maab menuliskan istilah “Durch Zentral-Sumatra” sebagai
wilayah yang menunjuk Sumatera Tengah sebagaimana dalam catatan koleksi
Etnografi
Begitu juga kalimat “oostkust
van Sumatera” sebagaimana sering dituliskan berbagai sarjana Belanda
seperti A. F. Van Blommestein, dalam berbagai peraturan seperti Algmenen
Vereeniging van Rubber planters ter ooskust van Sumatera, Arbeidestoestanden op
de Oostkust van Sumatera, katalog inzending van de oostkust van sumatra,
verslag betreffende bezoek aan het gewest ooskust van sumatra, vereeniging
“plantersbond oostkust sumatera”, sering mewarnai berbagai perjalanan
didalam buku yang telah dituliskan oleh berbagai sarjana.
Sementara menggunakan kata “East
Coast of Sumatera” dapat kita temukan dalam karya A. V. ROS yang menulis
panjang lebar dari perjalanan dan pandangan tentang Sumatera Timur.
Dari berbagai sumber
disebutkan Sumatera Tengah adalah sebuah provinsi yang pernah tercatat sebagai
salah satu provinsi di Indonesia. Namun sejak tahun 1957 kemudian dimekarkan
menjadi provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi
Berbeda dengan penempatan
Jambi dalam “oostkust van Sumatera” atau “East Coast of Sumatera”
dalam karya A. V. ROS, istilah Negara Sumatera Timur pernah menjadi bagian dari
sejarah bentukan boneka Pemerintah Belanda (1945 – 1950).
Dari buku-buku, laporan
ataupun peraturan yang dikeluarkan pemerintah Belanda, nama “oostkust van
Sumatra' cukup sering disebutkan. Jambi yang kemudian ditempatkan dalam
“Oostkust van Sumatra” disebutkan sering menghasilkan karet.
Begitu juga A.H.P. Clemens
dalam skripsinya 'De Bevolkingsrubbercultuur in Djambi en Palembang Tijdens het
Interbellum' (Perkebunan Karet Rakyat.di. Jambi dan Palembang Di Antara Dua
Perang Dunia)
Penempatan Jambi sebagai
bagian dari “oostkust van Sumatera” atau “East Coast of Sumatera”
dan midle Sumatra atau Midden Sumatra sebagaimana didalam catatan
panjang P.J. Veth memang menarik untuk digali lebih lanjut.
Keresiden
Jambi terdiri dari Kabupaten Merangin, Kabupaten Batanghari dengan Kotapraja
Jambi. Kabupaten Merangin terdiri dari kewedanan Muara Tebo, Kewedanaan Bangko
dan kewedanaan Muara Bungo. Sedangkan Kabupaten Batanghari terdiri dari
kewedanaan Muara Tembesi, kewedanaan Jambi Luar Kota dan kewedanaan Kuala
Tungkal. Sedangkan Kerinci masih termasuk kedalam Residen Sumatera Barat.
Berdasarkan UU Darurat No. 19
tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Dengan
UU No. 61 tahun 1958 tanggal 25 Juli 1958 UU Darurat No. 19 Tahun 1957 Tentang
Pembentukan Daerah Sumatera Tingkat I Sumatera Barat, Djambi dan Riau sebagai
Undang-undang, maka Jambi kemudian menjadi Propinsi. Kerinci kemudian menjadi
bagian dari Pemerintahan Propinsi Jambi
Namun
seluruh proses pergantian pemerintahan Residen Jambi tidak dialami di
Pemerintahan di bawahnya. Wilayah
dibawah residen biasa dikenal Marga.
Sejarah Margo
ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Dari berbagai sumber disebutkan,
marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Menurut Regeering Reglement
(RR) 1854, Nederlandse Indie diperintah
oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Nederland secara sentralistis.
Daerah Nederlandse Indie dibagi dalam
dua kategori besar yaitu daerah Indirect Gebied dan Direct Gebied. Daerah
Indirect Gebied adalah daerah yang diperintah
secara tidak langsung oleh penguasa Batavia. Istilah Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang pegawai
Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam disertasinya (1927).
Didalam peta
Belanda “Schetskaart Residentie Adatgemeenschappen (Marga’S) tahun 1910, ditemukan
Margo Batin Pengambang, Margo Batang Asai, Cerminan Nan Gedang, Datoek Nan
Tigo. Sedangkan di Merangin dikenal Luak XVI yang terdiri dari Margo Serampas,
Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah
Pembarap dan Margo Sanggrahan. Sedangkan Di Tebo dikenal dengan Margo Sumay.
Batanghari Margo Petajin Ulu, Margo Petajin Ilir, Margo Marosebo, Kembang
Paseban. Sedangkan di Muara Jambi dikenal Margo Koempeh Ilir dan Koempeh Ulu,
Jambi Kecil. Di Tanjabbar dikenal dengan Margo Toengkal ilir, Toengkar Ulu. Dan
di Tanjabtim dikenal Margo Berbak, Margo Dendang Sabak.
Selain Margo juga dikenal Batin. Seperti Batin Batin II, III
Hoeloe (Hulu), Batin IV, Batin V, Batin VII, Batin IX Hilir, Batin VIII dan
Batin XIV.
Didalam “Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap”
disebutkan in het batin gebied staan de woningen in de
doesoen. Dengan
demikian, maka Batin terdiri dari beberapa Dusun.
Cerita di masyarakat, arti kata “batin” berasal dari kata “asal”. Makna ini
kemudian menjadi dasar untuk pembagian Dusun. Misalnya Batin 12 Marga Sumay.
Dengan menggunakan kata “Batin”, maka ada 12 dusun asal (dusun Tua) sebagai
bagian dari Marga Sumay. Sehingga Dusun didalam Marga Sumay terdiri dari
Pemayungan, Semambu, Muara Sekalo, Suo-suo, Semerantihan, Tua Sumay, Teluk
Singkawang, Teliti, Punti Kalo, Teluk Langkap, Tambon Arang dan Bedaro Rampak.
Begitu juga
Batin III Ulu yang terdiri dari Batang Buat, Muara Buat dan Batang Bungo.
Muara
Buat terdiri dari kampung Dusun Senamat Ulu, Lubuk Beringin dan Aur Chino.
Dalam
literatur Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara
Tebo dan Muara Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial
Institutut, Amsterdam, 1938, disebutkan “di
daerah hulu Sungai Batanghari, masyarakat mengenal dusun sebagai pemerintahan
terendah (village government). Dusun terdiri dari beberapa kampung, Mengepalai
Kepala Dusun adalah Depati. Dibawah Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian
menjadi Margo. Pembagian kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu
adalah bathin dengan gelar Rio, Rio Depati atau Depati, di daerah hilir
penguasanya adalah Penghulu atau Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar,
tukang memberi pengumuman)
Marga dan Batin dipimpin
seorang Pesirah. Dibawah Marga dikenal dusun. Dusun merupakan sebagai
pemerintahan terendah (village
government). Dusun adalah kumpulan dari kampung atau kelebu. Dipimpin
seorang Depati atau Rio atau Penghulu. Untuk daerah hulu biasa dikenal dengan
Depati atau Rio. Sedangkan di daerah hilir seperti Marga Kumpeh, Marga Jebus,
Marga Sabak-Dendang, Marga Berbak biasa mengenal “Penghulu”.
Di tingkat
Dusun, orang semendo dikenal dengan istilah Depati. Sedangkan putra asli adalah
Bathin. Keterangan ini kemudian didukung oleh Elsbeth Locher Sholten sebagaimana
dikutip dari “memorie van Overgave, V.E. Korn, 1936.
Kepala Kampung
hampir sama dengan tuo kampung atau kelebu. Ini ditandai dengan seloko “kampung betuo, negeri bebathin”. Namun Kepala kampung tidak bisa disebut
dengan “tuo kampong.
Dibawah dusun
dikenal dengan “Tengganai”. Tengganai yang tertua memiliki kekuasaan tertinggi.
Dan karenanya dalam perkara penting biasanya tengganai yang tua ikut hadir. Seloko
adat dapat dilihat “Rumah bertengganai. Kampung betuo”.
Pemimpin suku
adalah ninik-mamak, yang dipilih melalui musyawarah anggota keluarga laki-laki.
Mamak merupakan saudara pria tertua dari Ibu. Ninik-mamak ini berperan
menyelesaikan sengketa dalam sebuah suku, dan karena itu diharapkan memiliki
pengetahuan mendalam tentang adat- istiadat. Bila ada konflik antara
orang-orang dari dua suku atau lebih ninik-mamak dari masing- masing klan akan
bertemu dan berunding untuk memecahkan masalah
Selain
Marga dan Batin, di Kerinci dikenal Mendapo. Dalam Laporannya “Bijdragen tot de
Taal, Kerintji Documents”, disebutkan “Mendapo
Limo Dusunm Mendapo Rawang, Mendapo Depati Tudjuh, Mendapo Kemantan , Mendapo Semurup , Mendapo
Hiang , Mendapo Seleman, Mendapo Keliling Danau. Mendapo Tanah Kampung
Kata
“mendapo” juga didapatkan dari nama Desa Karang Mendapo Kecamatan Pauh,
Sarolangun. Desa Karang Mendapo terdiri dari Dusun Karang Mendapo, Dusun Muara
Danau dan Dusun Teluk Gedang.
Sistem
pemerintahan dusun ini kemudian digantikan dengan sistem pemerintahan Desa
berdasarkan UU No. 5 tahun 1979. Kampung kemudian menjadi dusun.
Di kabupaten
Bungo kemudian dikembalikan dengan Sistem Pemerintahan Dusun dengan dikepalai
“Rio”. Dusun terdiri dari beberapa kampung.
Namun
dalam struktur social seperti Kepala Dusun, Menti, Tuo tengganai, Ninik Mamak,
Kalbu masih hidup dan terbukti mampu merawat identitas dalam kehidupan
sehari-hari. Termasuk menyelesaikan persoalan sehari-hari.
Penghormatan terhadap struktur ini sering disebutkan didalam
seloko “kampung betuo, alam berajo, negeri bebathin.” Di Margo Sungai Tenang menyebutkan “Hidup
bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai.” Di Margo Sumay biasa dikenal dengan ujaran “Alam
sekato rajo, negeri Sekato Batin.”