13 Maret 2016

opini musri nauli : Struktur Sosial di Jambi


Sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, sistem Pemerintahan Desa masih mengacu kepada sistem peninggalan Belanda.


Setelah Sultan Thaha Saifuddin gugur tahun 1904. Wilayah Jambi dinamakan Residentie DJambi dan ditetapkan menjadi Keresidenan dan masuk wilayah Nederlandsch Indie. Residen Jambi, O.L. Helfrich diangkat menjadi berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal No. 20 tanggal 4 Mei 1906. Nama Sultan Thaha Saifuddin kemudian ditetapkan menjadi nama Bandara di Jambi.

Setelah kemerdekaan, Jambi kemudian menjadi Propinsi Sumatera. Tanggal 18 April 1946, Propinsi Sumatera kemudian dibagi menjadi Propinsi Sumatera Utara, Propinsi Sumatera Tengah dan Propinsi Sumatera Selatan. Propinsi Sumatera Tengah kemudian terdiri dari Sumatera Barat, Riau dan Jambi berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1948.

Tarik menarik Residen Jambi menjadi Propinsi Sumatera Tengah atau Propinsi Sumatera Selatan menjadi cukup alot. Dan akhirnya berdasarkan rapat KNI Sumatera masuk ke Sumatera Tengah.

Dalam berbagai literature dan catatan, Jambi sering ditempatkan kedalam Sumatera Tengah dan kawasan pantai timur Sumatera. Kata-kata seperti Midden Sumatera (Sumatera Tengah) sering diulas oleh P.J. Veth dalam karya berserinya seperti Aardrijksundige Beschrijving, Reisverhaal, Naturlijke historie, Volkbeschrijving. Sedangkan von Alfred Maab menuliskan istilah “Durch Zentral-Sumatra” sebagai wilayah yang menunjuk Sumatera Tengah sebagaimana dalam catatan koleksi Etnografi

Begitu juga kalimat “oostkust van Sumatera” sebagaimana sering dituliskan berbagai sarjana Belanda seperti A. F. Van Blommestein, dalam berbagai peraturan seperti Algmenen Vereeniging van Rubber planters ter ooskust van Sumatera, Arbeidestoestanden op de Oostkust van Sumatera, katalog inzending van de oostkust van sumatra, verslag betreffende bezoek aan het gewest ooskust van sumatra, vereeniging “plantersbond oostkust sumatera”, sering mewarnai berbagai perjalanan didalam buku yang telah dituliskan oleh berbagai sarjana.

Sementara menggunakan kata “East Coast of Sumatera” dapat kita temukan dalam karya A. V. ROS yang menulis panjang lebar dari perjalanan dan pandangan tentang Sumatera Timur.

Dari berbagai sumber disebutkan Sumatera Tengah adalah sebuah provinsi yang pernah tercatat sebagai salah satu provinsi di Indonesia. Namun sejak tahun 1957 kemudian dimekarkan menjadi provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi

Berbeda dengan penempatan Jambi dalam “oostkust van Sumatera” atau “East Coast of Sumatera” dalam karya A. V. ROS, istilah Negara Sumatera Timur pernah menjadi bagian dari sejarah bentukan boneka Pemerintah Belanda (1945 – 1950).

Dari buku-buku, laporan ataupun peraturan yang dikeluarkan pemerintah Belanda, nama “oostkust van Sumatra' cukup sering disebutkan. Jambi yang kemudian ditempatkan dalam “Oostkust van Sumatra” disebutkan sering menghasilkan karet.

Begitu juga A.H.P. Clemens dalam skripsinya 'De Bevolkingsrubbercultuur in Djambi en Palembang Tijdens het Interbellum' (Perkebunan Karet Rakyat.di. Jambi dan Palembang Di Antara Dua Perang Dunia)

Penempatan Jambi sebagai bagian dari “oostkust van Sumatera” atau “East Coast of Sumatera” dan midle Sumatra atau Midden Sumatra sebagaimana didalam catatan panjang P.J. Veth memang menarik untuk digali lebih lanjut.

Keresiden Jambi terdiri dari Kabupaten Merangin, Kabupaten Batanghari dengan Kotapraja Jambi. Kabupaten Merangin terdiri dari kewedanan Muara Tebo, Kewedanaan Bangko dan kewedanaan Muara Bungo. Sedangkan Kabupaten Batanghari terdiri dari kewedanaan Muara Tembesi, kewedanaan Jambi Luar Kota dan kewedanaan Kuala Tungkal. Sedangkan Kerinci masih termasuk kedalam Residen Sumatera Barat.

Berdasarkan UU Darurat No. 19 tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Dengan UU No. 61 tahun 1958 tanggal 25 Juli 1958 UU Darurat No. 19 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Daerah Sumatera Tingkat I Sumatera Barat, Djambi dan Riau sebagai Undang-undang, maka Jambi kemudian menjadi Propinsi. Kerinci kemudian menjadi bagian dari Pemerintahan Propinsi Jambi

Namun seluruh proses pergantian pemerintahan Residen Jambi tidak dialami di Pemerintahan di bawahnya.  Wilayah dibawah residen biasa dikenal Marga.

Sejarah Margo ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Dari berbagai sumber disebutkan, marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Menurut Regeering Reglement (RR) 1854, Nederlandse Indie diperintah oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Nederland secara sentralistis. Daerah Nederlandse Indie dibagi dalam dua kategori besar yaitu daerah Indirect Gebied dan Direct Gebied. Daerah Indirect Gebied adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh penguasa Batavia.  Istilah Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang pegawai Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam disertasinya (1927).

Didalam peta Belanda “Schetskaart Residentie Adatgemeenschappen (Marga’S) tahun 1910, ditemukan Margo Batin Pengambang, Margo Batang Asai, Cerminan Nan Gedang, Datoek Nan Tigo. Sedangkan di Merangin dikenal Luak XVI yang terdiri dari Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah Pembarap dan Margo Sanggrahan. Sedangkan Di Tebo dikenal dengan Margo Sumay. Batanghari Margo Petajin Ulu, Margo Petajin Ilir, Margo Marosebo, Kembang Paseban. Sedangkan di Muara Jambi dikenal Margo Koempeh Ilir dan Koempeh Ulu, Jambi Kecil. Di Tanjabbar dikenal dengan Margo Toengkal ilir, Toengkar Ulu. Dan di Tanjabtim dikenal Margo Berbak, Margo Dendang Sabak.
Selain Margo juga dikenal Batin. Seperti Batin Batin II, III Hoeloe (Hulu), Batin IV, Batin V, Batin VII, Batin IX Hilir, Batin VIII dan Batin XIV.
Didalam “Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap” disebutkan in het batin gebied staan de woningen in de doesoen. Dengan demikian, maka Batin terdiri dari beberapa Dusun.
Cerita di masyarakat, arti kata “batin” berasal dari kata “asal”. Makna ini kemudian menjadi dasar untuk pembagian Dusun. Misalnya Batin 12 Marga Sumay. Dengan menggunakan kata “Batin”, maka ada 12 dusun asal (dusun Tua) sebagai bagian dari Marga Sumay. Sehingga Dusun didalam Marga Sumay terdiri dari Pemayungan, Semambu, Muara Sekalo, Suo-suo, Semerantihan, Tua Sumay, Teluk Singkawang, Teliti, Punti Kalo, Teluk Langkap, Tambon Arang dan Bedaro Rampak.
Begitu juga Batin III Ulu yang terdiri dari Batang Buat, Muara Buat dan Batang Bungo.  Muara Buat terdiri dari kampung Dusun Senamat Ulu, Lubuk Beringin dan Aur Chino.
Dalam literatur  Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938, disebutkan “di daerah hulu Sungai Batanghari, masyarakat mengenal dusun sebagai pemerintahan terendah (village government). Dusun terdiri dari beberapa kampung, Mengepalai Kepala Dusun adalah Depati. Dibawah Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian menjadi Margo. Pembagian kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah bathin dengan gelar Rio, Rio Depati atau Depati, di daerah hilir penguasanya adalah Penghulu atau Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman)
Marga dan Batin dipimpin seorang Pesirah. Dibawah Marga dikenal dusun. Dusun merupakan sebagai pemerintahan terendah (village government). Dusun adalah kumpulan dari kampung atau kelebu. Dipimpin seorang Depati atau Rio atau Penghulu. Untuk daerah hulu biasa dikenal dengan Depati atau Rio. Sedangkan di daerah hilir seperti Marga Kumpeh, Marga Jebus, Marga Sabak-Dendang, Marga Berbak biasa mengenal “Penghulu”.
Di tingkat Dusun, orang semendo dikenal dengan istilah Depati. Sedangkan putra asli adalah Bathin. Keterangan ini kemudian didukung oleh Elsbeth Locher Sholten sebagaimana dikutip dari “memorie van Overgave, V.E. Korn, 1936.
Kepala Kampung hampir sama dengan tuo kampung atau kelebu. Ini ditandai dengan seloko “kampung betuo, negeri bebathin”. Namun Kepala kampung tidak bisa disebut dengan “tuo kampong.
Dibawah dusun dikenal dengan “Tengganai”. Tengganai yang tertua memiliki kekuasaan tertinggi. Dan karenanya dalam perkara penting biasanya tengganai yang tua ikut hadir. Seloko adat dapat dilihat “Rumah bertengganai. Kampung betuo”.
Pemimpin suku adalah ninik-mamak, yang dipilih melalui musyawarah anggota keluarga laki-laki. Mamak merupakan saudara pria tertua dari Ibu. Ninik-mamak ini berperan menyelesaikan sengketa dalam sebuah suku, dan karena itu diharapkan memiliki pengetahuan mendalam tentang adat- istiadat. Bila ada konflik antara orang-orang dari dua suku atau lebih ninik-mamak dari masing- masing klan akan bertemu dan berunding untuk memecahkan masalah
Selain Marga dan Batin, di Kerinci dikenal Mendapo. Dalam Laporannya “Bijdragen tot de Taal, Kerintji Documents”, disebutkan “Mendapo Limo Dusunm Mendapo Rawang, Mendapo Depati Tudjuh,  Mendapo Kemantan , Mendapo Semurup , Mendapo Hiang , Mendapo Seleman, Mendapo Keliling Danau. Mendapo Tanah Kampung

Kata “mendapo” juga didapatkan dari nama Desa Karang Mendapo Kecamatan Pauh, Sarolangun. Desa Karang Mendapo terdiri dari Dusun Karang Mendapo, Dusun Muara Danau dan Dusun Teluk Gedang.

Sistem pemerintahan dusun ini kemudian digantikan dengan sistem pemerintahan Desa berdasarkan UU No. 5 tahun 1979. Kampung kemudian menjadi dusun.

Di kabupaten Bungo kemudian dikembalikan dengan Sistem Pemerintahan Dusun dengan dikepalai “Rio”. Dusun terdiri dari beberapa kampung.

Namun dalam struktur social seperti Kepala Dusun, Menti, Tuo tengganai, Ninik Mamak, Kalbu masih hidup dan terbukti mampu merawat identitas dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk menyelesaikan persoalan sehari-hari.

Penghormatan terhadap struktur ini sering disebutkan didalam seloko “kampung betuo, alam berajo, negeri bebathin. Di Margo Sungai Tenang menyebutkan “Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai. Di Margo Sumay biasa dikenal dengan ujaran “Alam sekato rajo, negeri Sekato Batin.