Sebagai bagian dari Sumatera, Sriwijaya, Melayu, tentu saja Jambi dipengaruhi berbagai pengaruh dari luar Jambi. Baik dipengaruhi berkaitan dengan kepentingan dagang, pengaruh agama maupun pengaruh sistem pemerintahan dan sistem social dari berbagai penjuru dunia.
Dalam berbagai catatan, ornament, perjalanan, ungkapan masyarakat, Seloko, Tambo dan berbagai aspek kehidupan melengkapi cataan tentang pengaruh berbagai agam da kebudayaan dunia.
Sebagai bagian dari Sumatera, pengaruh Melayu tidak dapat dielakkan di Jambi. Secara geografis kawasan Malayu-Jambi mencakup daerah aliran sungai Batang Hari beserta dengan anak sungai seperti Merangin, Tabir, Tebo, dan Tembesi, dan daerah pegunungan seperti Kerinci dan Sumatra Barat.
Didalam kertagama dan prastasi, pada tahun 664-665 “Mo-lo-jeu” telah mengirim utusan ke negeri Cina. Tahun 853 dan 871 “Champi” (Jambi) mengirim armada dagang. Kota yang dianggap penting oleh pedagang Arab antara lain “Zabag” (Muara Sabak). Istilah “tauke” sebagai “pengumpul barang” masih dikenal di tengah masyarakat.
Dalam seloko di tengah masyarakat di daerah hulu Sungai Batanghari dikenal seloko “Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung.
Namun menurut Charles Campbell melaporkan bahwa di tahun 1800 penduduk Sungai Tenang jarang membayar upeti kepada sultan Jambi yang selayaknya terdiri dari seekor kerbau, setahil emas, dan seratus bambu beras dari setiap kampung. Surat-surat yang ditulis oleh temenggung sultan Jambi yang sampai sekarang masih disimpan sebagai pusaka di Kerinci juga menunjukkan bahwa penduduk di Kerinci tidak selalu patuh kepada perintah rajanya di Jambi
Menurut Ulu Kozok didalam bukunya “Kitab Undang-undang Tanjung Tanah” Muara Jambi tetap menjadi pelabuhan tempat armada perdagangan Malayu berpangkal, tetapi Malayu tidak lagi menguasai Selat Malaka dan hanya menjadi salah satu dari berbagai pemain dalam perdagangan antarpulau dan antarbangsa.
Di sisi yang lain De Casparis tentu benar bila ia menolak bahwa Malayu takluk pada Jawa. “Mungkin sekali Adityawarman mengakui kewibawaan negara Madjapahit, tetapi hal itu tidak ternyata dari prasastinya, yang tidak pernah menyebutkan ketergantungan Adityawarman dari Majapahit: nama pulau Jawa pun belum ditemukan dalam prasastiprasasti raja itu” .
Menurut McKinnon “Apa yang sesungguhnya terjadi tidak jelas, tetapi data arkeologi mengesankan bahwa sebagian besar situs di pantai timur Sumatra, termasuk Pulau Kompei dan Kota Cina di Sumatra Utara, serta Muara Jambi, Muara Kumpeh Hilir, dan Koto Kandis yang terletak di tepi Batang Hari, dimusnahkan atau ditinggalkan oleh penduduknya pada akhir abad ke- 14, merupakan akibat langsung dari politik imperialis Majapahit di perairan Selat Malaka.
Jambi juga dipengaruhi Palembang. Dalam karya “To Live as Brothers” ahli sejarah Barbara Andaya telah melukiskan dengan sangat teliti betapa rumitnya hubungan antara kedua wilayah yang paling berpengaruh di Sumatra bagian selatan, yaitu Jambi dan Palembang.
Di dalam studinya yang mencakup abad ke-17 dan ke-18 Andaya dapat mengandalkan sumber dari arsip VOC. Tampaknya cukup jelas bahwa kedua saudara tersebut sudah berabad-abad bersaing secara sangat gigih. Kedua saudara tersebut selalu bersaing untuk memanfaatkan posisi strategis kedua wilayah tersebut dalam menguasai Selat Malaka dan arus perdagangannya. Rupa-rupanya Palembang sering dapat mengungguli Jambi dalam persaingannya sehingga Sriwijaya selalu dikaitkan dengan Palembang sebagai pusat kerajaannya mulaidari abad ke-7 sampai dengan abad ke-11. Pada tahun 1025 Rajendra Chola yang memerintah kerajaan Koromandel di India menyerang pusat-pusat perdagangan di Selat Malaka. Ekspedisi militer ini merupakan pukulan dahsyat bagi Sriwijaya, dan memberi kesempatan kepada Malayu (Jambi) untuk bangkit kembali. Walaupun Malayu telah berhasil menyingkirkan Palembang, perubahan yang terjadi antara abad ke-11 dan abad ke-13 yang terutama menyangkut pola perdagangan di Asia Tenggara tidak terlalu menguntungkan bagi Malayu yang tidak pernah dapat meraih kembali status yang pernah dipegang oleh Palembang sebagai penguasa mutlak di kawasan Selat Malaka.
Masa periode selanjutnya, Majapahit yang berkuasa setelah runtuhnya Sriwijaya. Didalam Negara Kartagama, Pararaton, Kidung Hariwijaya, Kidung Ronggowale disebutkan Majapahit kemudian mempunyai kota-kota pelabuhan seperti Tuban, Gresik, Sedayu, Jaratan. Majapahit didukung dua sungai besar yaitu Kalibrantas dan Bengawan Solo. Menurut Tome Pires didalam karya monumentalnya Suma Oriental menerangkan Pedagang Muslim kemudian mengadakan hubungan dagang dengan Majapahit
Peristiwa “penundukan” yang disebut Pamalayu itu telah ditafsirkan oleh para ahli sejarah. Kebanyakan sejarahwan cenderung mengikuti teori yang dikemukakan oleh Krom dalam karya Hindoe-Javaansche Geschiedenis melihat patung Amoghapasa yang ditemukan di Pulau Punjung. Dalam sejarah dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu.
Berbeda dengan C.C. Berg yang menginterpretasi Pamalayu sebagai bagian untuk menyatukan Nusantara (pulau-pulau di luar Jawa) agar bersama-sama dapat menghadapi ancaman dari kaisar Mongol Kublai Khan. Dengan demikian Berg menginterpretasikan Pamalayu sebagai “perjanjian dengan Malayu untuk membentuk persekutuan melawan agresi dinasti Mongol. Teori Berg belakangan ini juga didukung oleh De Casparis.
Di sisi yang lain De Casparis tentu benar bila ia menolak bahwa Malayu takluk pada Jawa: “Mungkin sekali Adityawarman mengakui kewibawaan negara Madjapahit, tetapi hal itu tidak ternyata dari prasastinya, yang tidak pernah menyebutkan ketergantungan Adityawarman dari Majapahit: nama pulau Jawa pun belum ditemukan dalam prasastiprasasti raja itu”
Menurut cerita di berbagai tempat di daerah hulu Sungai Batanghari, di dahulu kala ada seorang Pangeran Temenggung Kebaruh, yang dikatakan masih keturunan Majapahit, mengunjungi Kerinci dari Muara Mesumai yang meyakinkan para raja untuk mengakui kedaulatan Jambi. Para raja diberi hadiah berbentuk kain dan dianugerahi dengan gelar dipati (juga disebut depati) yang berasal dari gelar Jawa adipati. Dipati berarti lebih daripada sekalian. Lembaga depati diperkenalkan oleh raja Jambi lebih dari enam ratus tahun yang lalu sebagai alat untuk memerintah.
Bahkan di Marga Serampas diketahui adanya gelar “Depati Pulang Jawo, salah satu gelar Depati di Serampas.
Istilah Depati masih ditemukan di berbagai tempat. Baik di Sarolangun, Kerinci, Bungo maupun di Tebo. Istilah Depati tidak ditemukan di daerah Jambi Hilir. Mereka biasa menyebut “penghulu.
Selain itu pengaruh Minangkabau Di Jambi sendiri begitu terasa. Hampir semuanya mengaku “berasal dari Pagaruyung”. Cerita “Datuk perpatih nan sebatang” hidup di sebagian kawasan Tebo, Bungo, Bangko hingga Sarolangun.
Bahkan di Perda No. 5 Tahun 2007 justru ditemukan kalimat “Adat bersendikan syara. Syara' bersendikan kitabulah. Sebuah kata yang menjadi pegangan di masyarakat di Minangkabau.
Muchtar Agus Cholif, meyakini bahwa Orang Serampas merupakan keturunan Orang Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dari adanya kemiripan nilai-nilai sosial budaya antara Serampas dengan Minangkabau.
Pendapat ini didukung oleh Ulu Rozak yang mengatakan “Selama masa pemerintahan Adityawarman (1347-1377) kerajaan Malayu mengalami puncak kejayaan. Pada saat itu kerajaan tersebut berpusat di daerah Minangkabau, dan diduga sudah dipindahkan ke pedalaman Sumatra pada awal abad ke-14 selama masa pemerintahan Akarendrawarman atau malahan sebelumnya. Pemindahan ibu kota kerajaan Malayu yang sebelumnya selalu berada di pesisir, dan timbulnya sebuah kerajaan besar di lembah-lembah pegunungan Bukit Barisan merupakan fenomena yang perlu dikaji lebih dalam
Pengaruh Minangkabau merupakan Sebuah upaya penundukkan diri dari berbagai komunitas masyarakat terhadap kebesaran Kerajaan Pagarruyung. “Penundukan diri” bukanlah dalam artian penjajahan fisik seperti yang dianut oleh kaum kolonial. Tapi penyerahan diri bagian dari administasi pemerintahan dengan tetap “menghargai pelaksanaan hukum lokal dan keunikan” masing-masing tiap daerah. Sehingga walaupun bagian dari Kerajaan pagarruyung, namum terhadap pelaksanaan hukum mengenal denda yang berbeda setiap daerah. Di sebagian daerah Tebo dikenal “serah jajah”. Tanda bakti penyerahan hasil panen kepada pembesar.
Saya belum bisa memprediksi apakah “pengaruh Minangkabau” juga hidup di pesisir Pantai Timur di Jambi. Cerita tentang Datuk Paduka Berhala maupun Rangkayo Hitam hanyalah cerita tentang perkawinan antara Datuk Paduka Berhala dengan Putri Selaras Pinang Masak dari Pagaruyung. Namun tidak tegas menyebutkan kerajaan Jambi merupakan wilayah kekuasaan Pagaruyung.
Namun menurut Watson Andaya, berbagai dokumen hanya menunjukkan wilayah Pagaruyung hanya bisa mendukung Margo Koto VII dan Margo Kota IX (Tebo) yang berlatar belakang Minangkabau. Orang Minangkabau berpindah ke selatan pada abad Ke 17 atau sesudahnya dan kemudian menyatakan diri tunduk kepada bathin dengan menyatakan diri sebagai penghulu. Kelompok bathin migran menetap di Rawas di perbatasan Jambi dan Palembang.
Dokumen ini juga bisa dilihat dalam geografi dimana wilayah Minangkabau dibagi menjadi tiga. Darek (darat), Rantau dan Pesisia (Pesisir). Darek adalah daerah tinggi diantara pegunungan diantaranya Gunung Singgalang dan Gunung Merapi. Darek dibagi 3 (luhak nan tigo). Luhak tanah datar, luhak Agam dan Luhak 50 Koto yang terdiri luhak, ranah dan Lareh. Maninjau termasuk kedalam Luhak Agam. Rantau adalah daerah diluar Luhak nan tigo. Menyusuri Sungai seperti Rokan, Siak, Kampar, Kuantan/Indragiri dan Batanghari. Biasa disebut juga Minangkabau Timur atau “ikua rantau (Ekor rantau). Sehingga “ikua rantau” dilihat dari menyusuri Sungai Batanghari.
Ketika runtuh Sriwijaya dan Majapahit, Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan internasional menarik perhatian kerajaan kecil di sepanjang pesisir Timur Sumatera. Dalam berbagai literature disebutkan, Jambi kemudian ditempatkan dan menjadi bahan kajian sejarah. Penamaan Kata-kata seperti Midden Sumatera (Sumatera Tengah) sering diulas oleh P.J. Veth dalam karya berserinya seperti Aardrijksundige Beschrijving, Reisverhaal, Naturlijke historie, Volkbeschrijving, atau von Alfred Maab menuliskan istilah “Durch Zentral-Sumatra” dalam catatan koleksi Etnografi ataupun “oostkust van Sumatera” sebagaimana sering dituliskan berbagai sarjana Belanda seperti A. F. Van Blommestein, dan“East Coast of Sumatera” dapat kita temukan dalam karya A. V. ROS membuat posisi strategis Selat Malaka dan menempatkan Jambi.
Sementara kerajaan Malaka menjadi kerajaan besar dengan didukung hubungan baik dengan Kerajaan Samudra pasai pada abad XV. Menurut Barbara Watson Andaya, kebesaran Malaka, yaitu adanya undang-undang yang cukup rapi dan administrasi sebagai rencana lama pelayaran, keadilan Raja Malaka yang lebih suka di Malaka daripada berburu sehingga dapat menyelesaikan persoalan pelayaran,
Bahkan didalam Buku Meilink-Roelofsz “Asian Trade and Europan Influence – 1500 – 1630 “ disebutkan “Kerajaan kecil di pedalaman seperti di Tungkal juga mengadakan hubungan dagang dengan membawa hasil pertanian dan membeli barang bernilai tinggi. Malaka kemudian ditaklukan Portugis tahun 1511 M.
Menurut Fachruddin Saudagar “Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, telah membawah dampak kemerosotan dan merubah pelabuhan Malaka menjadi bandar yang ditinggalkan pedagangnya. Jatuhnya Malaka telah membawa perubahan mendasar terhadap konstelasi politik dan perdagangan di kawasan perairan selat Malaka.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, maka Johor muncul sebagai bandar penting di selat Malaka. Pada awal abad 17 antara Jambi dan Johor terjadi persaingan hegemoni menguasai jalan perdagangan di laut. Dalam kondisi persaingan ini maka pihak Inggris, Belanda, dan Portugis mulai ingin ikut campur tangan dalam urusan politik.
Perang tidak dapat dihindarkan yaitu perang terbuka antara Jambi dengan Johor berlangsung lebih kurang 14 tahun lamanya sejak tahun 1667 – 1681 M (4 kali perang). Perang Jambi-Johor ke IV tahun 1680 – 1681 M.
Dalam perang terakhir, Jambi yang dibantu Belanda dengan berbagai macam perlengkapan militer dan dana kemudian menghadapi perlawanan Johor dibantu Palembang dan Daeng Mangika menyerang Jambi. Johor berhasil dikalahkan. Belanda kemudian semakin menanjabkan kukunya di Jambi.
Jambi selain dipengaruhi perdagangan dalam alur Selat Malaka, bergantiannya sistem pemerintahan juga dipengaruhi agama. Sebelum kedatangan Islam (banyak versi. Ada menyebut kedatangan Islam abad XII. Namun ada yang menyebutkan abad XVII), pengaruh Budha dan Hindu mendominasi kehidupan masyarakat.
Selama berabad-abad ibukota Malayu terletak di Muara Jambi, sebuah kompleks ritual-politik dengan jumlah penduduk yang lumayan besar. Schnittger “menyebutkan “sebuah kota yang besar, barangkali lebih besar dari Palembang”
Bahkan McKinnon menambahkan bahwa “situs Muara Jambi barangkali merupakan situs yang terbesar dan paling penting di Sumatra”. Selain itu juga terdapat Pelabuhan di Muara Sabak/koto Kandis yang ramai dari abad XII – XIV.
Dalam F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, menyebutkan “Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan
sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. mengenal Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih, Tempat ungko berebut tangis, rimba keramat, rimbo puyang, rimbo ganuh.
Kata-kata seperti Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih, Tempat ungko berebut tangis, rimba keramat, rimbo puyang, rimbo ganuh mempunyai pengaruh yang kuat dari ajaran Hindu Spritualitas Upanishad.
Dalam tradisi intelektual India, Upanishad dihubungkan dengna gerakan yang ingin melakukan reinterpretasi atau reformasi kehidupan religius. Paham ini kemudian menempatkan dalam monistik. Termasuk dalam perkembangan kehidupan sosial keagamaan yang menempatkan tidak semata-mata milik kelompok elite tertentu. Tujuan utama Upanishad bukanlah mengajarkan kebenaran filsafat melainkan kedamaian dan kebebasan.
Dengan demikian maka Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih, Tempat ungko berebut tangis, rimba keramat, rimbo puyang, rimbo ganuh hanyalah tempat dan bentuk penghormatan manusia kepada Tuhan dalam tradisi Hindu.
Pengaruh periode terakhir datangnya agama Islam. Tidak ada kesepakatan di antara para sejarawan tentang kapan sebenarnya Islam mulai masuk dan menyebar di dunia Melayu. Teori yang ada bisa dibagi ke dalam dua kategori. Ada yang mengatakan kedatangan Islam adalah awal abad Pertama Hijriah (abad 7). Teori kedua mengatakan kedatangan Islam dimulai di abad 13.
Sejak itu proses islamisasi terjadi. Hingga berdiri Kerajaan Muslim pada abad 13, Samudra Pasai. Pertumbuhan kerajaan Muslim dimulai di Malaka pada awal abad 15. Perkembangan ini kemudian hingga ke Jawa, Maluku hingga ke Patani (bagian utara Malaysia) dan bagian Selatan Thailand.
Proses Islamisasi terjadi lewat jaringan yang beragam yang menguntungkan masing-masing pihak. Baik bagi orang Muslim yang datang menyebarkan Islam ke berbagai tempat di dunia Melayu dan bagi orang yang menerima atau beralih ke Islam di daerahnya. Proses ini dilakukan melalui jalur yang beragam. Seperti perdagangan, birokrasi, pendidikan, sufisme, seni, perkawinan.
Dengan demikian, maka kedatangan islam ke beberapa pantai di dunia Melayu mengikuti rute pelayaran dan perdagangan dari Arab-Persia-India-dunia Melayu-Tiongkok.
Ornamen masuknya Islam di Jambi dimulai dari pesisir Timur. Cerita Datuk Paduka Berhalo dan Rangkayo Hitam masih hidup dan dianggap sebagai Raja yang menganut agama Islam. Datuk Paduka Berhala dan Rangkayo Hitam merupakan Raja yang berkuasa di jalur perdagangan Selat Malaka. Posisi Jambi, Muara Zabag dan Pulau Berhala dalam lintasan selat Malaka membuat posisi keduanya begitu penting (abad 12-18 M).
Posisi pelabuhan di selat Malaka menyebabkan adanya pembagian kekuasaan. Pemerintahan di kota Bandar diserahkan kepada putra-putra Sultan yang berkedudukan sebagai Tumenggung atau Adipati. Kota ini menghasilkan seperti lada, kapur barus, gaharu, madu, lilin, pinang, emas dan kemudian diekspor. Sedangkan komoditas impor seperti, kain berwarna putih seperti belacu, drill, dan keramik dari Tiongkok.
Kesultanan di Selat Malaka mempunyai posisi penting dalam jalur perdagangan internasional dari berbagai bangsa lain seperti Tiongkok, India, Jepang dan Eropa.
Islam kemudian berkembang dan menyumbang berbagai perkembangan sastra dan tulis menulis yang ditandai dengan arab Melayu.
Dengan demikian, tidak dapat ditentukan dengan pasti, dari Negara mana muslim datang dan bersentuhan dengan wilayah di Melayu. Yang pasti, kedatangan Mulsim yang datang dan menyebarkan islam kepada masyarakat berasal dari Arab, Persia, India atau bisa saja Tiongkok. Mereka bermula sebagai pedagang, mubaligh atau pengajar agama dan kaum sufi. Dan kemudian ditambah dengan pelopor dari masyarakat yang kemudian menyebarkan islam setelah mendapatkan pendidikan di berbagai tempat seperti pesantren di jawa dan sekolah agama di Mekkah.
Namun menurut catatan Tiongkok, Pie Hu Lu tahun 875 M, adanya kedatangan Ta-sih dan Po-Sse ke Chan Pei untuk membeli pinang pada awal abad IX M.
Posisi tokoh agama kemudian diwujudkan dalam prinsip “adat bersendikan syara’. Syara’ bersendikan kitabbulah. Tokoh agamapun kemudian memasuki struktur social yang ditandai dengan tiga tali sepilin yaitu Pemimpin, tokoh adat dan tokoh agama (alim ulama).
Masuknya agama Islam tidak seragam. Menurut Ulu Kozok “Struktur masyarakat ilir cenderung lebih berlapis dengan seorang raja atau sultan sebagai kepala kerajaan, dan golongan elit yang dekat dengan pusat kekuasaan. Masyarakat ilir sangat berfokus pada dunia luar dan dengan mudah menyerap unsur kebudayaan asing seperti dari Eropa, India, Jawa, Timur Tengah, dan Tiongkok. Karena perdaganganinternasional baik di negara-negara Arab, maupun di India dan di Tiongkok didominasi oleh saudagar yang beragama Islam maka masyarakat ilir pun lebih dulu memeluk agama Islam, suatu proses yang sudah mulai sejak abad kedua belas dan mencapai puncak pada abad kelima belas.
Hipotesis ini mudah ditemukan di lapangan. Masyarakat di Hulu Batanghari seperti Bangko, Sarolangun maupun Marga Sumay walaupun sudah beragama Islam, maka masih menganut penghormatan kepada nenek moyang. Seloko seperti “rimbo ganuh, rimbo sunyi, Teluk sakti rantau betuah gunung bedewo”meruapakan konfirmasi terhadap hipotesis yang disamapaikan oleh Ulu Kozok. Sedangkan di daerah hilir, walaupun mereka berikrar sebagai Tumenggung Bujang Pejantan namun hampir praktis setiap kehidupan sudah terpengaruh Islam.
Islam kemudian Memperkaya dan mempertegas identitas bahkan merawat kekerabatan yang ditandai masuk kedalam struktur social dengan prinsip Tali tiga sepilin. Depati, Alim Ulama dan cerdik pandai sebagai pemangku adat.