16 April 2016

opini musri nauli : Pancung alas


Di daerah hilir Jambi terutama di Kuala Tungkal (Tanjabbar), Muara Sabak (Tanjabtim) dan Muara Jambi hilir (Muara Jambi), istilah “pancung alas” biasa dikenal dalam model mengenai  tanah. Arti Pancung yaitu “ujung atau penjuru”. Namun pancung kemudian diartikan sebagai memancung/me-man-cung/ menetak (memenggal) puncak (kepala dan sebagainya). Namun dalam istilah pancung kemudian diartikan “memotong hingga putus”. Sedangkan alas diartikan sebagai “dasar, fondasi” dari posisi rumah.
Dengan demikian, maka pancung diartikan sebagai “menandai pohon diujung sebagai batas tanah yang diberikan kepada masyarakat.

Pancung alas merupakan “tanda” terhadap pembukaan hutan untuk dijadikan kebun. Tanda berupa pohon yang dipotong/ditakuk sebagai ditandai menggunakan “kapak” sehingga disebut sebagai pancung.

Di daerah hulu Sungai Batanghari, istilah pembukaan tanah yang ditandai pohon sebagai batas tanah disebut dengan “takuk, sak sangkut, atau “lambas”.
Di daerah  Muara Sabak, istilah Pancung alas merupakan “tanda” izin kepada penghulu (Pemangku adat setingkat Kepala Desa atau pemangku adat) untuk memohon izin membuka hutan untuk dijadikan kebun.

Istilah “memancung putus” disimbolkan sebagai sifat pemimpin yang ditunjuk oleh masyarakat. Dalam maknanya “memancung putus”, sifat seorang pemimpin ketika menemui sebuah persoalan, maka setiap perkataan, ujarannya dapat menyelesaikan persoalan.

Setelah masing-masing ditandai dengan batas, maka antara batas tanah satu dengan batas tanah lain diberi luasan sekitar  1 meter sebagai tempat yang tidak ditanami. Di daerah Kumpeh Ilir biasa disebut dengan Mentaro

Namun berbeda di daerah hilir Kumpeh Ilir. Di Tanjung, Pancung alas merupakan “cukai” dari hasil yang dikeluarkan dari hilir Sungai Kumpeh. Definisi ini sesuai dengna “makna” “pancung sebagaimana disebutkan didalam Kamus Bahasa Indonesia. Hasil yang dikeluarkan dari Tanjung seperti hasil sungai seperti ikan, pasir kemudian dilelang. Pemenang dilelang diberikan kepada penawaran tertinggi. Pesirah kemudian dapat mengambil “cukai” dari hasil yang dikeluarkan. Sistemnya dikenal dengan “sepuluh duo”. Artinya. Setiap penghasilan dari obyek “cukai”, maka pesirah berhak mendapatkan 20 persen.

Penarikan “cukai” inilah yang biasa disebutkan dengan “pancung alas. Selain itu Pesirah juga berhak menarik “cukai pasar. Sistemnya sama. “sepuluh duo”.

Dengan demikian, istilah “pancung alas” dapat diartikan sebagai “izin kepada penghulu” untuk mendapatkan tanah. Sedangkan “pancung alas” bisa juga diartikan sebagai “cukai” pesirah untuk mendapatkan obyek pajak hasil pemenang dari hilir Sungai Kumpeh.