12 April 2016

opini musri nauli : LOGIKA KORUPSI JAKARTA




Saya harus memutar otak untuk membantu akal sehat agar bertindak wajar. Penangkapan Sn (Partai Gerindra) dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang diduga menerima uang dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (Tbk) Ariesman Widjaja. Raperda yang tak kunjung disahkan DPRD DKI Jakarta itu diduga menjadi obyek suap. Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M Sanusi diduga menerima suap senilai Rp2 miliar dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja beserta karyawannya Trinanda.

Bukan “mempersoalkan” kasus korupsi, namun issu kemudian menjadi tidak focus. Publik kemudian “digiring” menjadi persoalan korupsi yang menyerempet kepada eksekutif dengan disebut-sebut nama Sunny Tanuwidjaja, Staf Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Untuk memahami logika yang tengah “dimainkan” kasus korupsi, issu korupsi mulai merembet ke persoalan reklamasi. Logika yang disusun mulai bertentangan bahkan bercampur aduk sehingga persoalan korupsi “mulai” hilang dan bergeser kepada persoalan reklamasi. Sebuah logika yang tidak tepat.

Pertama. Persoalan korupsi harus diberi ruang pembahasannya. Publik harus diberi informasi yang utuh terhadap kasus yang menimpa anggota DPRD Jakarta dalam OTT. Informasi yang dibutuhkan, dalam penerimaan suap apakah berkaitan dengan pembahasan raperda sehingga harus menerima uang ?

Kedua. Apakah terhadap penerimaan suap kemudian bisa ditentukan “peran” dari Sunny sehingga dapat “menyeret” Ahok ?

Ketiga. Apakah ada keterkaitan antara peran Sn, Sunny dan Ahok sehingga dapat ditentukan jaringan kejahatannya (modus operandi dan tindak pidana berbarengan/deelneming ).

Sekarang mari kita susun logika sebelum kita menentukan “akal sehat (legal reasoning) sehingga dapat memahami secara utuh.

Mempertemukan “Penerimaan suap” dengan pembahasan raperda adalah fakta yang mulai terkuak. Berbagai media kemudian menuliskan dengan gamblang, ketika pembahasan raperda, maka Sn dugaan menerima “suap”. Entah bagaimana scenario disusun, namun yang pasti, penerimaan ‘suap” merupakan bagian dari rangkaian (deelneming) pembahasan raperda. Kita menunggu apakah Sn merupakan bagian dari rangkaian “penerimaan suap” dari Anggota DPRD Jakarta ataukah cuma “sekedar” dari sekrup kecil yang harus dikorbankan dari rangkaian besar. Dari sudut ini, kita menunggu dan memberikan kesempatan kepada KPK untuk menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan. Dari sisi ini, kita menunggu terhadap kepiawaian dari KPK.

Logika kedua. Apakah ada keterkaitan antara peran Sn, Sunny dan Ahok sehingga dapat ditentukan jaringan kejahatannya (modus operandi dan tindak pidana berbarengan/deelneming ).

Kesempatan ini kita berikan kepada KPK untuk membuktikan asumsi yang tengah dibangun di kalangan public. Kita menunggu kabar dari Kuningan modus operansi dan “deelneming” sehingga memahami dan membaca secara utuh.

Bagaimana modus operandi dan “deelneming” selalu menarik perhatian public. Ditengah gencar-gencarnya perlawanan korupsi, korupsi yang terjadi di jantung Ibukota merupakan “peristiwa” yang berani. Tentu saja dibutuhkan keberanian “luarbiasa’ terhadap desain modus operandi dan “deelneming” di lingkaran Jakarta.

Logika Ketiga tentang “peran” sunny yang bisa menghubungkan peran Ahok. Sebelum kita memberikan kesempatan kepada KPK untuk membongkar terhadap bagian sirkuit korupsi, apakah keterangan Sn yang menyebutkan nama “Sunny” merupakan rangkaian yang didesain untuk “menerima suap” ? Atau penyebutan nama Sunny hanyalah “tempelan” kecil yang tidak mampu dibongkar.

Apakah begitu dominan peran “Sunny” didalam lingkaran inti Ahok sehingga penyebutan nama Ahok akan melibatkan Ahok dalam pusaran korupsi.

Adegan ini menarik untuk diikuti. Apabila fakta ini bisa dibongkar adanya hubungan antara “penerimaan uang”, peran Sunny dan keterlibatan Ahok, maka dunia akan mudah menandai Ahok. Ahok tidaklah digembor-gembor sebagai tokoh anti korupsi. Bahkan kita bisa mendesak kepada berbagai lembaga yang telah menganugerahkan tokoh anti korupsi agar bisa mencabutnya.

Namun apabila penyebutan nama Sunny “sekedar” gertakan” dan menutupi “Borok korupsi” itu sendiri, maka kita menyaksikan adegan “melodrama” yang cengeng. Sama seperti tokoh partai ternama yang berkoar-koar namun “keok” ketika diberhentikan dari partainya.

Dalam terminology logika, cara ini biasa disebut dengan Argumentum ad hominen. Argumentasi yang disusun ditangkis dengan menyodorkan logika yang bertentangan.

Strategi ini pernah dimainkan ketika korupsi pembelian bus transjakarta. Bukan memberikan porsi kasus korupsi pengadaan bus transjakarta pada 2012-2013 terhadap Kadis Perhubungan, namun logika dibangun, bahwa Jokowi dan Ahok diminta pertanggungjawaban. Desakan public kemudian dimainkan dengna “teori kewenangan”.

Padahal sebagai Kadis perhubungan, dia bertanggungjawab terhadap pekerjaan yang dilakukan. Dalam teori kewenangan biasa dikenal dengna istilah “delegasi”.  Saya ingat persis, tema ini menarik perhatian diskusi yang cukup intensif.

Namun kemudian putusan pengadilan yang kemudian diperkuat di tingkat kasasi, membuktikan, tanggungjawab kadis yang telah menerima “delegasi” kewenangan dari Gubernur Jakarta telah diputuskan Pengadilan. MA kemudian menjatuhkan putusan 13 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Selain itu juga menjatuhkan uang pengganti kerugian negara lebih kurang Rp 6,7 miliar. Bahkan rumah, apartemen, kondominium disita untuk negara.

Hingga putusan dijatuhkan, tidak perlu dilakukan pemeriksaan terhadap Jokowi (Gubernur Jakarta).

Membaca kasus korupsi di Jakarta seperti kasus korupsi pengadaan bus transjakarta pada 2012-2013 dan  kasus korupsi UPS merupakan desain menggunakan berbagai alasan untuk “mengacaukan” logika sehat yang sudah tersusun (mistake). Kasus korupsi yang tidak berhasil dipatahkan dalam proses hukum, maka kemudian disusun logika yang justru mengaburkan ataupun “menutupi kasus itu sendiri”. Kesesatan ini akan mudah ditandai dari kepentingan jangka pendek (vested interested).

Tinggal kita dengan jernih melihat bagaimana “logika” yang telah disusun kemudian ditangkis dengan “kesesatan”. Cara ini justru menjadi kita bisa tetap “Sehat” merawat kewajaran dan tidak mengikuti irama yang dimainkan dari sang pelaku korupsi.