Saya
harus memutar otak untuk membantu akal sehat agar bertindak wajar. Penangkapan
Sn (Partai Gerindra) dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang diduga menerima uang dari Presiden Direktur PT Agung
Podomoro Land (Tbk) Ariesman Widjaja. Raperda yang tak kunjung disahkan DPRD
DKI Jakarta itu diduga menjadi obyek suap. Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M
Sanusi diduga menerima suap senilai Rp2 miliar dari Presiden Direktur PT Agung
Podomoro Land Ariesman Widjaja beserta karyawannya Trinanda.
Bukan “mempersoalkan” kasus
korupsi, namun issu kemudian menjadi tidak focus. Publik kemudian “digiring”
menjadi persoalan korupsi yang menyerempet kepada eksekutif dengan
disebut-sebut nama Sunny Tanuwidjaja, Staf Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok).
Untuk memahami logika yang
tengah “dimainkan” kasus korupsi, issu korupsi mulai merembet ke persoalan
reklamasi. Logika yang disusun mulai bertentangan bahkan bercampur aduk
sehingga persoalan korupsi “mulai” hilang dan bergeser kepada persoalan
reklamasi. Sebuah logika yang tidak tepat.
Pertama. Persoalan korupsi
harus diberi ruang pembahasannya. Publik harus diberi informasi yang utuh
terhadap kasus yang menimpa anggota DPRD Jakarta dalam OTT. Informasi yang
dibutuhkan, dalam penerimaan suap apakah berkaitan dengan pembahasan raperda
sehingga harus menerima uang ?
Kedua. Apakah terhadap
penerimaan suap kemudian bisa ditentukan “peran” dari Sunny sehingga dapat
“menyeret” Ahok ?
Ketiga. Apakah ada
keterkaitan antara peran Sn, Sunny dan Ahok sehingga dapat ditentukan jaringan
kejahatannya (modus operandi dan tindak pidana berbarengan/deelneming ).
Sekarang mari kita susun
logika sebelum kita menentukan “akal sehat (legal reasoning) sehingga dapat
memahami secara utuh.
Mempertemukan “Penerimaan
suap” dengan pembahasan raperda adalah fakta yang mulai terkuak. Berbagai media
kemudian menuliskan dengan gamblang, ketika pembahasan raperda, maka Sn dugaan
menerima “suap”. Entah bagaimana scenario disusun, namun yang pasti, penerimaan
‘suap” merupakan bagian dari rangkaian (deelneming) pembahasan raperda. Kita
menunggu apakah Sn merupakan bagian dari rangkaian “penerimaan suap” dari
Anggota DPRD Jakarta ataukah cuma “sekedar” dari sekrup kecil yang harus
dikorbankan dari rangkaian besar. Dari sudut ini, kita menunggu dan memberikan
kesempatan kepada KPK untuk menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan. Dari
sisi ini, kita menunggu terhadap kepiawaian dari KPK.
Logika kedua. Apakah ada
keterkaitan antara peran Sn, Sunny dan Ahok sehingga dapat ditentukan jaringan
kejahatannya (modus operandi dan tindak pidana berbarengan/deelneming ).
Kesempatan ini kita berikan
kepada KPK untuk membuktikan asumsi yang tengah dibangun di kalangan public.
Kita menunggu kabar dari Kuningan modus operansi dan “deelneming” sehingga
memahami dan membaca secara utuh.
Bagaimana modus operandi dan
“deelneming” selalu menarik perhatian public. Ditengah gencar-gencarnya
perlawanan korupsi, korupsi yang terjadi di jantung Ibukota merupakan
“peristiwa” yang berani. Tentu saja dibutuhkan keberanian “luarbiasa’ terhadap
desain modus operandi dan “deelneming” di lingkaran Jakarta.
Logika Ketiga tentang “peran”
sunny yang bisa menghubungkan peran Ahok. Sebelum kita memberikan kesempatan
kepada KPK untuk membongkar terhadap bagian sirkuit korupsi, apakah keterangan
Sn yang menyebutkan nama “Sunny” merupakan rangkaian yang didesain untuk
“menerima suap” ? Atau penyebutan nama Sunny hanyalah “tempelan” kecil yang
tidak mampu dibongkar.
Apakah begitu dominan peran
“Sunny” didalam lingkaran inti Ahok sehingga penyebutan nama Ahok akan
melibatkan Ahok dalam pusaran korupsi.
Adegan ini menarik untuk
diikuti. Apabila fakta ini bisa dibongkar adanya hubungan antara “penerimaan
uang”, peran Sunny dan keterlibatan Ahok, maka dunia akan mudah menandai Ahok.
Ahok tidaklah digembor-gembor sebagai tokoh anti korupsi. Bahkan kita bisa
mendesak kepada berbagai lembaga yang telah menganugerahkan tokoh anti korupsi
agar bisa mencabutnya.
Namun apabila penyebutan nama
Sunny “sekedar” gertakan” dan menutupi “Borok korupsi” itu sendiri, maka kita
menyaksikan adegan “melodrama” yang cengeng. Sama seperti tokoh partai ternama
yang berkoar-koar namun “keok” ketika diberhentikan dari partainya.
Dalam terminology logika,
cara ini biasa disebut dengan Argumentum
ad hominen. Argumentasi yang disusun ditangkis dengan menyodorkan logika
yang bertentangan.
Strategi ini pernah dimainkan
ketika korupsi pembelian bus transjakarta. Bukan memberikan porsi kasus korupsi
pengadaan bus transjakarta pada 2012-2013 terhadap Kadis Perhubungan, namun logika dibangun, bahwa
Jokowi dan Ahok diminta pertanggungjawaban. Desakan public kemudian dimainkan
dengna “teori kewenangan”.
Padahal sebagai Kadis
perhubungan, dia bertanggungjawab terhadap pekerjaan yang dilakukan. Dalam
teori kewenangan biasa dikenal dengna istilah “delegasi”. Saya ingat persis, tema ini menarik perhatian
diskusi yang cukup intensif.
Namun kemudian putusan
pengadilan yang kemudian diperkuat di tingkat kasasi, membuktikan,
tanggungjawab kadis yang telah menerima “delegasi” kewenangan dari Gubernur
Jakarta telah diputuskan Pengadilan. MA kemudian menjatuhkan putusan 13 tahun
penjara dan denda Rp 1 miliar. Selain itu juga menjatuhkan uang pengganti
kerugian negara lebih kurang Rp 6,7 miliar. Bahkan rumah, apartemen,
kondominium disita untuk negara.
Hingga putusan
dijatuhkan, tidak perlu dilakukan pemeriksaan terhadap Jokowi (Gubernur
Jakarta).
Membaca kasus korupsi di
Jakarta seperti kasus korupsi pengadaan bus transjakarta pada 2012-2013
dan kasus korupsi UPS merupakan desain menggunakan berbagai alasan
untuk “mengacaukan” logika sehat yang sudah tersusun (mistake). Kasus korupsi
yang tidak berhasil dipatahkan dalam proses hukum, maka kemudian disusun logika
yang justru mengaburkan ataupun “menutupi kasus itu sendiri”. Kesesatan ini akan mudah ditandai dari
kepentingan jangka pendek (vested interested).
Tinggal kita dengan jernih melihat bagaimana
“logika” yang telah disusun kemudian ditangkis dengan “kesesatan”. Cara ini
justru menjadi kita bisa tetap “Sehat” merawat kewajaran dan tidak mengikuti
irama yang dimainkan dari sang pelaku korupsi.