Negara
kepulauan kok bikin reklamasi
(Iwan Fals)
Pernyataan
sederhana namun “nyelekit” dari sang “legenda” music Indonesia kemudian
menyentak dan menggali memori panjang tentang “kemaritiman” Indonesia. Sebagai
Negara maritime, Indonesia mempunyai garis
pantai terpanjang keempat di dunia (setelah
Amerika Serikat, Kanada, dan Rusia) dengan panjang garis pantai mencapai
95.181 km. Wilayah Laut dan pesisir Indonesia mencapai ¾ wilayah Indonesia (5,8
juta km2 dari 7.827.087 km2). Hingga saat ini wilayah
pesisir memiliki sumberdaya dan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan
manusia.
Kata-kata Iwan
Fals kemudian kembali menyentak, ketika makna “reklamasi” kemudian mengalami
“penyimpangan makna”. Padahal didalam Kamus Bahasa Indonesia, reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa
Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang rusak. Secara
spesifik dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, disebutkan arti reclaim sebagai
menjadikan tanah (from the sea). Arti kata reclamation diterjemahkan
sebagai pekerjaan memperoleh tanah. Para ahli belum banyak yang mendefinisikan
atau memberikan pengertian mengenai reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai
merupakan upaya teknologi yang dilakukan manusia untuk merubah suatu
lingkungan alam menjadi lingkungan buatan, suatu tipologi ekosistem estuaria,
mangrove dan terumbu karang menjadi suatu bentang alam daratan.
Sedangkan menurut makna “reklamasi”
sebagaimana diatur didalam UU No. 27 Tahun 2007 disebutkan “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan
oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari
sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan
atau drainase.
Tema reklamasi telah “menyita” public jagat
politik kontemporer 2 tahun terakhir. Penolakan besar-besaran di Bali, Teluk
Bangka, Palu dan putusan PTUN Jakarta membuat reklamasi menjadi persoalan yang
cukup menyita perhatian public. Publik kemudian disuguhi berbagai “dagelan”
pembahasan reklamasi yang kemudian yang menimbulkan persoalan secara hukum.
Mimpi Indonesia untuk melakukan proyek
“ambisius” melihat “keberhasilan” reklamasi berbagai Negara. Menurut berbagai
sumber, reklamasi di berbagai dunia ditandai dengan Bandara Kansai, Jepang, Sea Landfill Phoenix Centre, Osaka Jepang,
Incheon – Korea Selatan, Semakau Landfill, Singapura, Tianjin – China,
Linggang New City Project, Shanghai , China dan tentu saja “proyek
monumental” reklamasi” di Dubai,
yang menjadikan reklamasi sebagai megaproject dalam pengembangan kawasan
hunian. Terdapat 4 proyek Reklamasi yaitu : The Palm Jeber Ali, Deira,
Jumairah, dan The World.
Mimpi ini kemudian dilanjutkan di berbagai
daerah seperti “Kawasan Teluk Jakarta”,
Mamuju (Sulawesi Barat), gugusan
Pulau Serangan (Denpasar, Bali, reklamasi
pantai di Kota Manado (Sulut), Palu, Semarang, Tangerang, Makasar di kawasan Center Point of Indonesia
seluas 600 hektar dan Ternate untuk pengembangan
Kota Ternate penambahan luas lahan di wilayah pesisir Kota Ternate seluas
9.7 Ha. Dalam
memenuhi “ambisi” Indonesia melakukan reklamasi menimbulkan persoalan
lingkungan hidup. Hasil putusan PTUN Jakarta menyebutkan “Dalam kajian lingkungan hidup, reklamasi mengganggu obyek vital,
menimbulkan dampak fisik, biologi, sosial ekonomi, dan infrastruktur. Dan tentu
saja menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan menimbulkan kerugian bagi
nelayan.
Selain dari
putusan PTUN Jakarta, dampak reklamasi terhadap lingkungna hidup berupa
kehancuran ekosistem ditandai dengan hilangnya keanekaragaman hayati, punahnya
spesies biodiversity (baik mangrove,
punahnya spesies ikan, kerang, kepiting, burung dan berbagai keanekaragaman
hayati lainnya).
Sedangkan dalam
kajian teknik lingkungan, dampak reklamasi akan meningkatkan potensi banjir.
Reklamasi telah mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi)
di kawasan reklamasi. Potensi banjir kemudian menyebabkan kenaikan muka air
laut yang disebabkan oleh pemanasan global.
Reklamasi telah
menyita energi perlawanan di Bali, Manado, Makassar, Palu dan Jakarta.
Sebelum kita
menelaah reklamasi dari sudut hukum, panduan didalam melihat persoalan
lingkungna hidup dilihat dari UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup), UU No. 26 Tahun 2007
tentang Tata Ruang. Makna harfiah UU Lingkungan Hidup didasarkan kepada “daya
dukung” dan daya tampung” lingkungan hidup merupakan
penilaian alam
terhadap lingkungan terhadap aktivitas manusia yang berdampak kepada lingkungan
hidup. Bahkan merubah bentangan alam, merusak struktur tanah juga merupakan
penilaian yang tidak terpisahkan dari proyek reklamasi.
Sedangkan UU
No. 26 Tahun 2007 dijadikan sandaran untuk melihat Perda yang mengatur tata
ruang di daerah masing-masing. Tata Ruang merupakan salah satu sandaran untuk
melihat “apakah reklamasi” sudah menjadi kebutuhan didalam pengembangan di
daerah.
Berangkat dari
analisis document terhadap issu reklamasi, maka kita dapat mengetahui
konfigurasi struktur hukum yang melingkupi tema reklamasi.
Proyek
Sangkuriang
Legenda
Gunung Tangkuban Perahu melekat di alam pikiran rakyat Padjajaran. Didalam
legenda disebutkan, Sangkuriang “hendak meminang” Dayang sumbing, salah satu
perempuan cantik yang terkenal seantero dunia. Namun Dayang Sumbing menyadari,
lelaki yang telah meminangnya adalah putra yang “hilang selama ini”. Namun
Dayang sumbing tidak kuasa menolak tawaran pinangan dari lelaki. Untuk
menolaknya, maka Dayang Sumbing memberikan persyaratan yang berat. Sangkuriang
harus membuat “perahu besar” dan harus diselesaikan satu malam.
Sangkuriang
kemudian mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ketika hampir selesai pekerjaan,
sementara hari menjelang pagi masih lama, Dayang Sumbing kemudian membunyikan
tabuh-tabuhan sehingga ayam berkokok. Sangkuriang mendengar ayam berkokok
kemudian menyadari pekerjaannya gagal. Maka dengan marah kemudian “menendang
perahu besar yang hampir selesai” dan terbang jauh dan terbalik. Bentuk perahu
terbalik diyakini sebagai “legenda rakyat” yang masih hinggap dalam alam
pikiran masyarakat Sunda.
Cerita
ini sangat mirip dengna reklamasi Teluk Bangka (Manado), dan reklamasi Palu
(Sulteng). “entah” mendapatkan inspirasi dari cerita “sangkuriang”, proyek
reklamasi kemudian “brojol” tanpa sesuai dengan Tata ruang.
Pemberian izin SK Walikota Palu dengan Nomor
650/2288/DPRP/2012 pada 10 Desember 2012 tentang penetapan lokasi pembangunan
sarana wisata di Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Palu kepada
pengembang dalam pembangunan reklamasi di Palu bertentangan dengan tata ruang
dan menyebabkan reklamasi “bertentangan” dengan tata ruang.
Begitu juga
reklamasi Teluk Bangka yang kemudian dibatalkan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.291 K/TUN/2013 yang
membatalkan SK
Bupati Minahasa Utara No.162 Tahun 2010 tentang Perpanjangan dan Perluasan
Kuasa Pertambangan Eksplorasi.
Keduanya melakukan reklamasi
berdasarkan izin dari Walikota Palu dan Walikota Manado tanpa sesuai dengan
Tata ruang wilayah. Ajaib. Bim salabim. Memberikan izin dalam hitungan waktu.
Persis cerita “Sangkuriang’.
Di
Bali, Perpres No. 51 Tahun 2014 telah mengeluarkan kawasan konservasi menjadi
kawasan yang bisa dikonversi untuk bisnis. Perpres ini dikeluarkan “beberapa
saat” menjelang akhir pemerintahan SBY. Persis dengan cerita Sangkuriang.
Ketika mendengar ayam berkokok, Sangkuriang kemudian “sadar” atas
keterlambatannya menyelesaikan pekerjaan, sehingga Perpres ini dikeluarkan dan
“bola panas” menggelinding dan menjadi beban Jokowi.
Jurus Dewa Mabuk
Cerita jurus dewa mabuk dapat
kita temukan dalam novel “Pendekar Wiro sableng” sang pemilik Kampak nagageni
yang terkenal.
Dalam dunia persilatan, jurus
Dewa mabuk sering digunakan oleh Wiro sableng sebagai jurus pamungkas yang
paling ampuh setelah jurus “Sinar matahari”.
Posisi kaki serampangan –
Persis orang mabuk, sering membuat sang lawan sering salah membaca langkah
serangan dari Wiro Sableng.
Jurus Dewa mabuk dapat kita
lihat dalam kasus reklamasi Makassar dan reklamasi Jakarta.
Dengan jurus mabuk, Sang pengembang
“lebih rajin” melakukan pengurukan pantai tanpa izin dari Pemkot Makassar. Sang
pengembang “tidak takut” melakukan pengurukan pantai tanpa izin dari Pemkot
Makassar. Namun sang Pemkotpun “tidak berani” menegur sang pengembang yang
bekerja tanpa izin dari Pemkot. Lengkap sudah. Yang Pegang jurus mabuk hanya “menunggu”
serangan lawan, namun sang lawan tidak berani menyerang karena tidak paham
gerakan serangan dari Wiro sableng.
Dan lebih unik, Jakarta.
Reklamasi di Jakarta, pengembang melakukan pengurukan “tidak sesuai dengan
amdal”. Selain izin Pemprov Jakarta “ditegur” oleh KLHK dan pulau C, Pulau D
dan Pulau G “disegel”, PTUN Jakarta juga “memerintahkan penghentian pekerjaan
reklamasi”.
Membaca
aras issu reklamasi membawa penerawangan penulis untuk melihat konfigurasi.
Konfigurasi selain menggambarkan kerumitan persoalan hukum, juga dapat
menggambarkan perangkat hukum yang digunakan untuk “memuliskan” proyek
reklamasi.
Dalam
reklamasi Jakarta, Presiden “telah memberikan” kewenangan urusan “reklamasi”
kepada Pemerintah DKI Jakarta. Hal yang berbeda dengan reklamasi di Bali yang
masih menggunakan persoalan “Perpres No. 51 Tahun” sebagai bentuk
“pengambilalihan” kawasan konservasi didalam tata ruang kemudian dijadikan
“kawasan strategis pariwisata”.
Sedangkan
reklamasi di Palu dan Teluk Bangka menggambarkan potret “izin reklamasi”
bertentangan dengan perangkat peraturan yang ada. Reklamasi selain “tidak
termasuk tata ruang” juga “menabrak” peraturan yang ada. Reklamasi di Palu
ternyata ditengarai “melakukan reklamasi” tanpa izin yang mengabaikan “tata
ruang”.
Bahkan
yang paling teledor ketika izin reklamasi Jakarta sama sekali tidak menetapkan kawasan
zonasi sebagaimana diatur didalam UU Tata Ruang. “Keteledoran” inilah yang
kemudian menyebabkan PTUN Jakarta kemudian mengabulkan permohonan penggugat.
“Keteledoran”
ini kemudian diperparah dengan reklamasi di Makassar, yang memberikan “angin
segar” kepada pengembang yang melakukan pengurukan pantai tanpa memiliki amdal.