04 Juni 2016

opini musri nauli : KONFIGURASI HUKUM PROYEK REKLAMASI DI INDONESIA (Dari Cerita Sangkuriang hingga Jurus “Dewa Mabuk” Wiro Sableng)


Negara kepulauan kok bikin reklamasi
(Iwan Fals)


Pernyataan sederhana namun “nyelekit” dari sang “legenda” music Indonesia kemudian menyentak dan menggali memori panjang tentang “kemaritiman” Indonesia. Sebagai Negara maritime, Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang keempat di dunia (setelah Amerika Serikat, Kanada, dan Rusia) dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km. Wilayah Laut dan pesisir Indonesia mencapai ¾ wilayah Indonesia (5,8 juta km2 dari 7.827.087 km2). Hingga saat ini wilayah pesisir memiliki sumberdaya dan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia.
Kata-kata Iwan Fals kemudian kembali menyentak, ketika makna “reklamasi” kemudian mengalami “penyimpangan makna”. Padahal didalam Kamus Bahasa Indonesia, reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang rusak. Secara spesifik dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, disebutkan arti reclaim sebagai menjadikan tanah (from the sea). Arti kata reclamation diterjemahkan sebagai pekerjaan memperoleh tanah. Para ahli belum banyak yang mendefinisikan atau memberikan pengertian mengenai reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai merupakan upaya teknologi yang dilakukan manusia untuk merubah suatu  lingkungan alam menjadi lingkungan buatan, suatu tipologi ekosistem estuaria, mangrove dan terumbu karang menjadi suatu bentang alam daratan.

Sedangkan menurut makna “reklamasi” sebagaimana diatur didalam UU No. 27 Tahun 2007 disebutkan “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.

Tema reklamasi telah “menyita” public jagat politik kontemporer 2 tahun terakhir. Penolakan besar-besaran di Bali, Teluk Bangka, Palu dan putusan PTUN Jakarta membuat reklamasi menjadi persoalan yang cukup menyita perhatian public. Publik kemudian disuguhi berbagai “dagelan” pembahasan reklamasi yang kemudian yang menimbulkan persoalan secara hukum.

Mimpi Indonesia untuk melakukan proyek “ambisius” melihat “keberhasilan” reklamasi berbagai Negara. Menurut berbagai sumber, reklamasi di berbagai dunia ditandai dengan Bandara Kansai, Jepang, Sea Landfill Phoenix Centre, Osaka Jepang, Incheon – Korea Selatan, Semakau Landfill, Singapura, Tianjin – China, Linggang New City Project, Shanghai , China dan tentu saja “proyek monumental” reklamasi” di Dubai, yang menjadikan reklamasi sebagai megaproject dalam pengembangan kawasan hunian. Terdapat 4 proyek Reklamasi yaitu : The Palm Jeber Ali, Deira, Jumairah, dan The World.

Mimpi ini kemudian dilanjutkan di berbagai daerah seperti “Kawasan Teluk Jakarta”, Mamuju (Sulawesi Barat), gugusan Pulau Serangan (Denpasar, Bali, reklamasi pantai di Kota Manado (Sulut), Palu, Semarang, Tangerang,  Makasar di kawasan Center Point of Indonesia seluas 600 hektar dan Ternate untuk pengembangan Kota Ternate  penambahan luas lahan di wilayah pesisir Kota Ternate seluas 9.7 Ha. Dalam memenuhi “ambisi” Indonesia melakukan reklamasi menimbulkan persoalan lingkungan hidup. Hasil putusan PTUN Jakarta menyebutkan “Dalam kajian lingkungan hidup, reklamasi mengganggu obyek vital, menimbulkan dampak fisik, biologi, sosial ekonomi, dan infrastruktur. Dan tentu saja menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan menimbulkan kerugian bagi nelayan.

Selain dari putusan PTUN Jakarta, dampak reklamasi terhadap lingkungna hidup berupa kehancuran ekosistem ditandai dengan hilangnya keanekaragaman hayati, punahnya spesies biodiversity (baik mangrove, punahnya spesies ikan, kerang, kepiting, burung dan berbagai keanekaragaman hayati lainnya).

Sedangkan dalam kajian teknik lingkungan, dampak reklamasi akan meningkatkan potensi banjir. Reklamasi telah mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan reklamasi. Potensi banjir kemudian menyebabkan kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh pemanasan global.

Reklamasi telah menyita energi perlawanan di Bali, Manado, Makassar, Palu dan Jakarta.

Sebelum kita menelaah reklamasi dari sudut hukum, panduan didalam melihat persoalan lingkungna hidup dilihat dari UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup), UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Makna harfiah UU Lingkungan Hidup didasarkan kepada “daya dukung” dan daya tampung” lingkungan hidup merupakan
penilaian alam terhadap lingkungan terhadap aktivitas manusia yang berdampak kepada lingkungan hidup. Bahkan merubah bentangan alam, merusak struktur tanah juga merupakan penilaian yang tidak terpisahkan dari proyek reklamasi.

Sedangkan UU No. 26 Tahun 2007 dijadikan sandaran untuk melihat Perda yang mengatur tata ruang di daerah masing-masing. Tata Ruang merupakan salah satu sandaran untuk melihat “apakah reklamasi” sudah menjadi kebutuhan didalam pengembangan di daerah.

Berangkat dari analisis document terhadap issu reklamasi, maka kita dapat mengetahui konfigurasi struktur hukum yang melingkupi tema reklamasi.

Proyek Sangkuriang

Legenda Gunung Tangkuban Perahu melekat di alam pikiran rakyat Padjajaran. Didalam legenda disebutkan, Sangkuriang “hendak meminang” Dayang sumbing, salah satu perempuan cantik yang terkenal seantero dunia. Namun Dayang Sumbing menyadari, lelaki yang telah meminangnya adalah putra yang “hilang selama ini”. Namun Dayang sumbing tidak kuasa menolak tawaran pinangan dari lelaki. Untuk menolaknya, maka Dayang Sumbing memberikan persyaratan yang berat. Sangkuriang harus membuat “perahu besar” dan harus diselesaikan satu malam.

Sangkuriang kemudian mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ketika hampir selesai pekerjaan, sementara hari menjelang pagi masih lama, Dayang Sumbing kemudian membunyikan tabuh-tabuhan sehingga ayam berkokok. Sangkuriang mendengar ayam berkokok kemudian menyadari pekerjaannya gagal. Maka dengan marah kemudian “menendang perahu besar yang hampir selesai” dan terbang jauh dan terbalik. Bentuk perahu terbalik diyakini sebagai “legenda rakyat” yang masih hinggap dalam alam pikiran masyarakat Sunda.

Cerita ini sangat mirip dengna reklamasi Teluk Bangka (Manado), dan reklamasi Palu (Sulteng). “entah” mendapatkan inspirasi dari cerita “sangkuriang”, proyek reklamasi kemudian “brojol” tanpa sesuai dengan Tata ruang.

Pemberian izin SK Walikota Palu dengan Nomor 650/2288/DPRP/2012 pada 10 Desember 2012 tentang penetapan lokasi pembangunan sarana wisata di Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Palu kepada pengembang dalam pembangunan reklamasi di Palu bertentangan dengan tata ruang dan menyebabkan reklamasi “bertentangan” dengan tata ruang.

Begitu juga reklamasi Teluk Bangka yang kemudian dibatalkan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.291 K/TUN/2013 yang membatalkan SK Bupati Minahasa Utara No.162 Tahun 2010 tentang Perpanjangan dan Perluasan Kuasa Pertambangan Eksplorasi.

Keduanya melakukan reklamasi berdasarkan izin dari Walikota Palu dan Walikota Manado tanpa sesuai dengan Tata ruang wilayah. Ajaib. Bim salabim. Memberikan izin dalam hitungan waktu. Persis cerita “Sangkuriang’.

Di Bali, Perpres No. 51 Tahun 2014 telah mengeluarkan kawasan konservasi menjadi kawasan yang bisa dikonversi untuk bisnis. Perpres ini dikeluarkan “beberapa saat” menjelang akhir pemerintahan SBY. Persis dengan cerita Sangkuriang. Ketika mendengar ayam berkokok, Sangkuriang kemudian “sadar” atas keterlambatannya menyelesaikan pekerjaan, sehingga Perpres ini dikeluarkan dan “bola panas” menggelinding dan menjadi beban Jokowi.

Jurus Dewa Mabuk

Cerita jurus dewa mabuk dapat kita temukan dalam novel “Pendekar Wiro sableng” sang pemilik Kampak nagageni yang terkenal.

Dalam dunia persilatan, jurus Dewa mabuk sering digunakan oleh Wiro sableng sebagai jurus pamungkas yang paling ampuh setelah jurus “Sinar matahari”.

Posisi kaki serampangan – Persis orang mabuk, sering membuat sang lawan sering salah membaca langkah serangan dari Wiro Sableng.

Jurus Dewa mabuk dapat kita lihat dalam kasus reklamasi Makassar dan reklamasi Jakarta.  

Dengan jurus mabuk, Sang pengembang “lebih rajin” melakukan pengurukan pantai tanpa izin dari Pemkot Makassar. Sang pengembang “tidak takut” melakukan pengurukan pantai tanpa izin dari Pemkot Makassar. Namun sang Pemkotpun “tidak berani” menegur sang pengembang yang bekerja tanpa izin dari Pemkot. Lengkap sudah. Yang Pegang jurus mabuk hanya “menunggu” serangan lawan, namun sang lawan tidak berani menyerang karena tidak paham gerakan serangan dari Wiro sableng.

Dan lebih unik, Jakarta. Reklamasi di Jakarta, pengembang melakukan pengurukan “tidak sesuai dengan amdal”. Selain izin Pemprov Jakarta “ditegur” oleh KLHK dan pulau C, Pulau D dan Pulau G “disegel”, PTUN Jakarta juga “memerintahkan penghentian pekerjaan reklamasi”.

Membaca aras issu reklamasi membawa penerawangan penulis untuk melihat konfigurasi. Konfigurasi selain menggambarkan kerumitan persoalan hukum, juga dapat menggambarkan perangkat hukum yang digunakan untuk “memuliskan” proyek reklamasi.

Dalam reklamasi Jakarta, Presiden “telah memberikan” kewenangan urusan “reklamasi” kepada Pemerintah DKI Jakarta. Hal yang berbeda dengan reklamasi di Bali yang masih menggunakan persoalan “Perpres No. 51 Tahun” sebagai bentuk “pengambilalihan” kawasan konservasi didalam tata ruang kemudian dijadikan “kawasan strategis pariwisata”.

Sedangkan reklamasi di Palu dan Teluk Bangka menggambarkan potret “izin reklamasi” bertentangan dengan perangkat peraturan yang ada. Reklamasi selain “tidak termasuk tata ruang” juga “menabrak” peraturan yang ada. Reklamasi di Palu ternyata ditengarai “melakukan reklamasi” tanpa izin yang mengabaikan “tata ruang”.

Bahkan yang paling teledor ketika izin reklamasi  Jakarta sama sekali tidak menetapkan kawasan zonasi sebagaimana diatur didalam UU Tata Ruang. “Keteledoran” inilah yang kemudian menyebabkan PTUN Jakarta kemudian mengabulkan permohonan penggugat.

“Keteledoran” ini kemudian diperparah dengan reklamasi di Makassar, yang memberikan “angin segar” kepada pengembang yang melakukan pengurukan pantai tanpa memiliki amdal.