Issu “reklamasi” di
Jakarta kemudian meninggalkan huru-hara politik. “Kukuhnya” Gubernur Jakarta,
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan penolakan semakin massif dari rakyat membuat
persoalan reklamasi kemudian menjadi diskusi nasional yang semakin hangat.
Bahkan magnitudonya kemudian melebar hingga ke Istana.
Entah “sengaja” ataupun
“pertimbangan politik”, Jokowi “menugaskan” Menko Maritim, Menteri KLHK dan
Menteri KKP untuk turun dan “menegur” Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok).
Turunnya Menko Maritim,
Menteri KLHK dan Menteri KKP kemudian “diakhiri” dengan penyegelan Pulau C,
Pulau D dan Pulau G pada tanggal 11 Mei 2016 membuat “persoalan” reklamasi
Jakarta menemui persoalan hukum. Terlepas dari pernyataan Ahok yang masih
bersikukuh “pengerjaan” reklamasi “sedikit” penyimpangan namun “penyegelan”
harus ditangkap public, pelaksanaan reklamasi “bermasalah” secara hukum.
Desakan public yang
menolak reklamasi kemudian berujung di gugatan PTUN Jakarta. Dan pada tanggal
31 Mei 2016 kemudian memutuskan dengan disaksikan oleh ratusan nelayan dan
pejuang lingkungan hidup yang “kukuh” menyatakan reklamasi bermasalah.
Namun menarik
pertimbangan hakim PTUN Jakarta didalam memutuskan permohonan dari masyarakat.
Sebelum menyatakan “membatalkan Surat keputusan Gubernur DKI Jakarta tentang
izin pelaksanaan Reklamasi Pulau G oleh PT. Muara Wisesa Samudra (baca SK
Gubernur DKI)” dan memerintahkan penangguhan pelaksanaan Surat Keputusan
Gubernur DKI Jakarta hingga mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van
gewijde), SK Gubernur DKI melanggar hukum disebabkan tidak menjadikan UU No. 27
Tahun 2007 dan UU No. 1 Tahun 2014 sebagai dasar mempertimbangkan didalam SK
Gubernur DKI (konsideran).
Selain itu juga, SK
Gubernur DKI tidak menetapkan areal reklamasi sesuai dengan rencana zonasi
sebagaimana diatur didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2007. Belum lagi
proses penyusunan AMDAL yang tidak melibatkan nelayan (UU No. 32 Tahun 2009
menyebut istilah “korban terdampak”) sebagaimana diatur didalam UU No. 32 Tahun
2009.
SK Gubernur DKI juga
tidak sesuai dan bertujuan dengan kepentingan umum sebagaimana diatur didalam
UU No. 2 Tahun 2012.
Didalam pertimbangan
lainnya, reklamasi mengabaikan kepentingan umum dan bertujuan “segelintir” dan
kepentingan bisnis semata.
Dalam kajian lingkungan
hidup, reklamasi mengganggu obyek vital, menimbulkan dampak fisik, biologi,
sosial ekonomi, dan infrastruktur. Dan tentu saja menimbulkan kerusakan
lingkungan hidup dan menimbulkan kerugian bagi nelayan.
Belum lagi didalam
kesimpulannya, SK Gubernur DKI ternyata “menimbulkan mudharat” dibandingkan
dengan manfaat yang diterima oleh nelayan. Sehingga SK Gubernur DKI
bertentangan dengan asas Pemerintahan yang baik didalam prinsip ketelitian,
kecermatan dan kepastian hukum.
Membaca putusan PTUN Jakarta memang memberikan
harapan kepada proses hukum yang fair kepada nelayan. Putusan PTUN Jakarta
haruslah ditangkap sebagai “penghormatan” terhadap lingkungan hidup yang
menjunjung proses yang harus dilalui dalam proses AMDAL dan “tidak merusak dan
merugikan” kepada nelayan.
SK Gubernur DKI haruslah ditangkap public
sebagai “kekeliruan” baik dilihat dari asas Pemerintahan yang baik, sebuah asas
yang menghormati ‘hak warga Negara” sebagai cerminan sebagai Negara hukum (rule
of law). Putusan PTUN merupakan pengejawantahan dari “perlindungan hukum” dari
kesewenang-wenangan” Negara didalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN).
Terlepas dari upaya perlawanan terhadap
putusan PTUN Jakarta melalui banding dan putusan PTUN Jakarta belum menjadi kekuatan
hukum yang tetap (inkracht van gewijde), Putusan
PTUN Jakarta “memberikan” jeweran kepada Ahok untuk menghentikan reklamasi di
Jakarta.