02 Juni 2016

opini musri nauli : REKLAMASI DALAM PANDANGAN PTUN JAKARTA





Issu “reklamasi” di Jakarta kemudian meninggalkan huru-hara politik. “Kukuhnya” Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan penolakan semakin massif dari rakyat membuat persoalan reklamasi kemudian menjadi diskusi nasional yang semakin hangat. Bahkan magnitudonya kemudian melebar hingga ke Istana.

Entah “sengaja” ataupun “pertimbangan politik”, Jokowi “menugaskan” Menko Maritim, Menteri KLHK dan Menteri KKP untuk turun dan “menegur” Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Turunnya Menko Maritim, Menteri KLHK dan Menteri KKP kemudian “diakhiri” dengan penyegelan Pulau C, Pulau D dan Pulau G pada tanggal 11 Mei 2016 membuat “persoalan” reklamasi Jakarta menemui persoalan hukum. Terlepas dari pernyataan Ahok yang masih bersikukuh “pengerjaan” reklamasi “sedikit” penyimpangan namun “penyegelan” harus ditangkap public, pelaksanaan reklamasi “bermasalah” secara hukum.

Desakan public yang menolak reklamasi kemudian berujung di gugatan PTUN Jakarta. Dan pada tanggal 31 Mei 2016 kemudian memutuskan dengan disaksikan oleh ratusan nelayan dan pejuang lingkungan hidup yang “kukuh” menyatakan reklamasi bermasalah.

Namun menarik pertimbangan hakim PTUN Jakarta didalam memutuskan permohonan dari masyarakat. Sebelum menyatakan “membatalkan Surat keputusan Gubernur DKI Jakarta tentang izin pelaksanaan Reklamasi Pulau G oleh PT. Muara Wisesa Samudra (baca SK Gubernur DKI)” dan memerintahkan penangguhan pelaksanaan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta hingga mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijde), SK Gubernur DKI melanggar hukum disebabkan tidak menjadikan UU No. 27 Tahun 2007 dan UU No. 1 Tahun 2014 sebagai dasar mempertimbangkan didalam SK Gubernur DKI (konsideran). 

Selain itu juga, SK Gubernur DKI tidak menetapkan areal reklamasi sesuai dengan rencana zonasi sebagaimana diatur didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2007. Belum lagi proses penyusunan AMDAL yang tidak melibatkan nelayan (UU No. 32 Tahun 2009 menyebut istilah “korban terdampak”) sebagaimana diatur didalam UU No. 32 Tahun 2009.

SK Gubernur DKI juga tidak sesuai dan bertujuan dengan kepentingan umum sebagaimana diatur didalam UU No. 2 Tahun 2012. 

Didalam pertimbangan lainnya, reklamasi mengabaikan kepentingan umum dan bertujuan “segelintir” dan kepentingan bisnis semata.

Dalam kajian lingkungan hidup, reklamasi mengganggu obyek vital, menimbulkan dampak fisik, biologi, sosial ekonomi, dan infrastruktur. Dan tentu saja menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan menimbulkan kerugian bagi nelayan.

Belum lagi didalam kesimpulannya, SK Gubernur DKI ternyata “menimbulkan mudharat” dibandingkan dengan manfaat yang diterima oleh nelayan. Sehingga SK Gubernur DKI bertentangan dengan asas Pemerintahan yang baik didalam prinsip ketelitian, kecermatan dan kepastian hukum.

Membaca putusan PTUN Jakarta memang memberikan harapan kepada proses hukum yang fair kepada nelayan. Putusan PTUN Jakarta haruslah ditangkap sebagai “penghormatan” terhadap lingkungan hidup yang menjunjung proses yang harus dilalui dalam proses AMDAL dan “tidak merusak dan merugikan” kepada nelayan.

SK Gubernur DKI haruslah ditangkap public sebagai “kekeliruan” baik dilihat dari asas Pemerintahan yang baik, sebuah asas yang menghormati ‘hak warga Negara” sebagai cerminan sebagai Negara hukum (rule of law). Putusan PTUN merupakan pengejawantahan dari “perlindungan hukum” dari kesewenang-wenangan” Negara didalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).

Terlepas dari upaya perlawanan terhadap putusan PTUN Jakarta melalui banding dan putusan PTUN Jakarta belum menjadi kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijde), Putusan PTUN Jakarta “memberikan” jeweran kepada Ahok untuk menghentikan reklamasi di Jakarta.