Jumat
lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Ignasisus Jonan (Jonan) dan
Achandra Tahar (Archandra) sebagai Menteri dan Wakil Menteri ESDM. Sebagai
pemegang hak preogratif, Jokowi
mempunyai hak untuk mengangkat dan memberhentikan Menteri. Hak ini melekat
kepada Jokowi sebagai Presiden berdasarkan konstitusi.
Dalam
praktek ketatanegaraan, hak preogratif diberikan kepada Presiden sebagai Kepala
Pemerintahan untuk melakukan sesuatu bertujuan agar Pemerintahan dapat membangun
kesejahteraan bagi rakyat. Mahfud menyebutkan “tanpa memerlukan persetujuan lembaga lain”.
Dalam
sistem Pemerintahan Republik, konstitusi kemudian menempatkan Presiden selain
sebagai Kepala Pemerintahan juga bertindak sebagai Kepala Negara. Hak preogratif
sebagai Kepala Negera melekat seperti “mengangkat
duta, Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi, memberi amnesti dan abolisi dan memberi
gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan”.
Hak ini kemudian tetap dipertahankan dengan menambahkan kontrol dari
berbagai lembaga lain. Seperti ” mengangkat duta dengan
memperhatikan pertimbangan DPR,
memberi grasi dan rehabilitasi, memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung dan memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.
Berbagai polemik terhadap ”hak preogratif” Presiden sering mewarnai wacana
diskusi publik. Penonaktifan Jenderal Bimantoro sebagai Kapolri di masa
Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) menimbulkan persoalan konstitusional.
Gusdur menganggap pemberhentian Jenderal Bimantoro merupakan hak preograrif
berdasarkan UU No. 28 tahun 1997. Sedangkan parlemen menganggap Gusdur harus
merujuk kepada TAP MPR No. VI/MPR/2000 yang mengatur tentang ”Pengangkatan dan pemberhentian Kapolri”
harus memerlukan persetujuan DPR.
Dunia politik dan hukum kemudian ”geger” ketika Yusril Ihza Mahendra
(Yusril) ditetapkan oleh Jaksa Agung Hendarman Soepandji. Yusril kemudian
”mempersoalkan” Jaksa Agung yang tidak dilantik kembali sebagai anggota Kabinet
SBY jidil II.
MK kemudian memberikan tafsiran terhadap Jaksa Agung yang menjadi bagian
dari anggota kabinet Menteri sehingga terhadap Hendarman Soepandji haruslah
diangkat lagi sebagai Jaksa Agung.
Secara terpisah hak preogratif Presiden Jokowi mengenai pengangkatan dan
pemberhentian selain sudah ditegaskan didalam konstitusi, Namun publik mempunyai
kontrol dan mengetahui ”rekam jejak” dari Menteri yang diangkat maupun
diberhentikan.
Dengan semangat ”aura” hasil pilpres 2014, Jokowi ”meyakinkan publik”
dengan pengangkatan nama-nama Menteri yang disodorkan. Pada komposisi anggota
kabinet periode pertama, masuknya nama Puan Maharani tidak terlepas dari kritik
yang mempertanyakan ”rekam jejak” dan kemampuan di Kementerian. Namun nyaris tidak
terdengar suara apapun dari Jokowi baik terhadap kinerja maupun kemampuan Puan
didalam struktur Kementerian yang dipimpinnya. Puan masih ”aman” dari
pergantian kabinet.
Memasuki periode kedua, terpentalnya ”Andi Widjajanto” teman Jokowi di tim pemenangan
Pilpres 2014. Tidak ada satupun penjelasan yang diterima publik selain
”bisik-bisik politik”, Andi Widjajanto ”dianggap”
menutup pintu terhadap jaringan politik. Yang namanya ”bisik-bisik politik”
tentu saja sulit dibuktikan kebenarannya.
Periode ini kemudian juga membuat ”Andrianof Chaniago” berkemas-kemas.
Salah satu teman Jokowi dari Walikota Solo. Sama seperti Andi Widjajanto,
Andrianof Chaniago juga tidak mendapatkan informasi yang cukup terhadap
”dipinggirkannya” Andrianof Chaniago.
Pada periode ini kemudian masuk ”Rizal Ramli” untuk mengimbangi kinerja
”Susi Pudjiastuti” yang ”moncer” dari awal pemerintahan Jokowi. Wiranto
kemudian juga diajak dalam struktur di kabinet Jokowi.
Periode ketiga kemudian ”mengepret” Rizal Ramli dari kabinet, Anies
Baswedan dan Jonan. Ketiga orang ini dianggap berprestasi sehingga publik
kemudian tidak mendapatkan informasi yang cukup. Sudirman Said kemudian
mengikuti jejak ketiga rekan-rekannya. Jokowi ”menyimpan” nama-nama Menteri
yang diberhentikan sehingga kemudian menimbulkan ”spekulasi” yang berkembang di
tengah masyarakat.
Masuknya Achandra Tahar menggantikan “Sudirman Said” ternyata
menciptakan sejarah. Achandra Tahar merupakan Menteri yang paling singkat
memegang jabatan di Kementerian ESDM. Belum seumur jagung (20 hari).
Polemik
Achandra Tahar merupakan “skandal” paling memalukan. Achandra Tahar memiliki
paspor ganda (Amerika dan Indonesia) sehingga persyaratan sebagai Menteri gugur
secara konstitusional.
Setelah
“beres” urusan kewarganegaraan, Jokowi kemudian memanggil Achandra Tahar untuk
membantu Jonan yang sempat terpental di ESDM. Keduanya dianggap “mampu” membawa
nakhoda Indonesia sebagai “Negara sumber” sumber energy dan pertambangan dalam
memasuki kancah global.
Dari
berbagai peristiwa “hiruk pikuk” pengangkatan dan pemberhentian Menteri, Jokowi
memberikan “kredit point” terhadap Kementerian yang dipegang oleh Susi
Pudjiastuti di KKP, Siti Nurbaya di KLHK. Keduanya “dianggap” berhasil membawa
kementerian menjadi perhatian Jokowi. Susi begitu “moncer” didalam mengelola
kelautan sehingga Kementerian KKP begitu mendominasi pemberitaan nasional. Susi
membuktikan “kedigdayan” sebagai “penguasa maritime. Visi maritime yang menjadi
Jokowi diperhitungkan dalam kancah Asia-Pasifik.
Sedangkan
Siti Nurbaya yang bertugas “mendandani” Kementerian Kehutanan dan KLH (dua kementerian yang sebelumnya terpisah)
dianggap Jokowi cukup berhasil. Sehingga “background”
Siti sebagai “administrator dan perencanaan ulung” diperlukan untuk menata dan
pangkal “keruwetan” sector sumber daya alam.
Berbeda
dengan Andi Widjojanto dan Andrianof Chaniago yang tidak mendapatkan informasi
yang cukup dalam proses pemberhentiannya. Pemberhentian Anies Baswedan dan Rizal
Ramli sudah memberikan “atensi” Jokowi keduanya. Terlepas keduanya mau ikut
bertarung di Pilkada Jakarta, ambisi politik dari keduanya tentu saja akan
mengganggu irama cabinet. Menteri sebagai Pembantu Presiden harus “seirama”
dengan nafas dengan gerak Presiden. Jokowi tidak berharap adanya “agenda
tersembunyi” didalam menata pemerintahan. Sebuah upaya Jokowi membangun
pemerintahan yang bersih dan diterima public.
Namun
terhadap Puan Maharani yang tidak terdengar agenda dan program kerjanya, saya
masih berkeyakinan. Posisinya relative aman untuk menghindarkan hiruk pikuk
politik. Sebagai pemegang “trah” Soekarno, Jokowi paham tentang kepemimpinan
mitologi Jawa.
Jokowi “memerankan” sikap sopan
santun. Menjaga emosi partai pendukung yang telah mengusungnya baik dari
Walikota, Gubernur maupun Presiden.
Jokowi mengutamakan “rukun”. Ungkapan “rukun”
sering disampaikan dalam dunia pewayangan. “negara ingkang panjang punjung
pasir wukir gemah ripah loh jinawi tata tenteram tur rajaharja”. Negara yang
terkenal, banyak dibicarakan orang, tinggi marbabatnya, luhur budinya dan amat
berwibawa.
Gaya kepemimpinan Jokowi yang cerdik ”meminggirkan” ambisi politik” dari
anggota kabinetnya ”diramu” dengan gaya kepemimpinan Jawa didalam menyelesaikan
berbagai persoalan merupakan kesempatan kita untuk mengukur kinerja Menteri
yang profesional. Publik berkesempatan untuk menilai dan memberikan point baik
didalam pengangkatan maupun pemberhentian Menteri. Dari ranah ini, kita
kemudian belajar didalam melihat pola relasi politik dan hubungan emosional
ditambah ”cara pandang” Jokowi didalam menata negara.
Sebuah upaya pembelajaran dari Jokowi setelah sebelumnya publik hanya
melihat ranah Menteri sebagai ”kelompok
elite’, tersembunyi, dikuasai segelintir kekuasaan dan jauh dari akses
informasi publik untuk mengetahuinya.