31 Oktober 2016

opini musri nauli : Wali Humba – Tradisi Panjang Tentang Alam





Dalam Festival Wai Humba V di Sumba Timur, ditemukan berbagai rangkaian kegiatan. Salah satunya menyusuri tempat sumber air dan tempat yang dikeramatkan berhubungan dengan leluhur orang Humba.

Memaknai kata “Wai” tidak sekedar cuma tentang air. Makna yang tersirat adalah penghormatan terhadap leluhur yang menempuh perjalanan panjang mengitari Pulau Humba[1]. Tradisi ritual “wai” merupakan perayaan dan penghormatan kepada Yang Maha Kuasa yang telah memberikan bumi dan kehidupan kepada manusia.

Dalam ritual napak tilas menyusuri kedatangan Leluhur orang Humba, Wai humba terdapat di Wai Ngupa (Kabupaten Sumba Timur), Wai Bakul (Kabupaten Sumba Tengah), Wai Kabulaka (Kabupaten Sumba Barat) dan Wai Tabulaka (Kabupaten Sumba Barat Daya). Keempat pusat “wai” merupakan muara air sungai yang mengairi keseluruhan pulau Sumba.

Keempatnya berasal dari Empat Gunung yang dihormati. Seperti Gunung Wangga Meti (Kabupaten Sumba Timur), Tanah Daru (Kabupaten Sumba Tengah), Yawila (Kabupaten Sumba Barat Daya) dan Puru Humbu (Kabupaten Sumba Barat). Keempat pusat air diyakini harus dijaga sebagai sumber kehidupan.

Keempat wai ini bermula dari turunnya “leluhur” Himba di Tanjung Haharu”. Leluhurnya diyakini bernama Umbu Walumaduko. Berbagai napak tilas selain menyusuri perjalanan leluhur juga menghormati tanah-tanah keramat, benda-benda magis, tanah kapur dan tempat-tempat yang diyakini sebagai tempat yang dihormati.

Kekuatan kolektif masyarakat Humba tidak sekedar semata-mata berkaitan dengan tradisi adat. Dalam pandangan cosmopolitan, orang Humba menganut keyakinan “Marapu”. Marapu berarti “Yang dihormati”[2].  Leluhur orang Humba yang kemudian dihormati merupakan “jalan” untuk menemukan Keilahian”. Menemukan Tuhan yang menciptakan bumi dan pohon sebagai kehidupan.

Sebagai ajaran leluhur Marapu[3], maka setiap keturunan dari orang Humba tidak boleh merusak alam, menghormati binatang[4], mengambil barang orang lain, tidak boleh berbohong. Ajaran ini kemudian menempatkan “anatala” yang mengawasi segala tindak tanduk manusia di muka bumi. Penyebutan “anatala” hanya disebutkan didalam doa-doa yang diucapkan oleh ratu didalam doanya didalam “Pamangu Ndewa”. Dalam pengucapatan terhadap Tuhan juga dikenal “Mawulu Tau” (yang menciptakan manusia), Ina Mbulu – Ama Ndaba (Ibu dan bapak dari segala sesuatu), Ina Nuku – Ama Hara (Ibu dan Bapak segala urusan).  

Sebagai masyarakat yang mengagungkan dan menghormati tentang alam[5], masyarakat Humba mengenal struktur social yang biasa dikenal Maramba. Maramba terdapat didalam Kabihu[6]. Sehingga Kabihu memiliki struktur seperti Maramba dan Ratu[7]. Istilah Raja tidak dikenal didalam struktur adat. Pengikraran Raja dikalangan tertentu tidak menjadi bagian dari masyarakat di Sumba.

Dalam struktur social, pemangku pemerintahan mengenal Praingu. Praingu dapat dikategorikan sebagai struktur setingkat pemerintahan Desa.

Dalam struktur ini kemudian didalam Praingu mengenal sistem kekerabatan yang terletak di Praingu. Setiap kabihu diusulkan oleh kekerabatan masyarakat. Sehingga didalam Praingu terdapat beberapa Kabihu.

Ketika pemilihan Praingu, maka masing-masing Kabihu mengirimkan orang yang terbaik dan cukup terpercaya didalam menguasai sistem adat dan yang cukup adil dan bijaksana. Setelah masing-masing Kabihu mengirimkan orangnya, maka ditentukan pemilihan Praingu ditandai dengan melihat “hati binantang”. Cara ini dilakukan dengan melihat hati binatang yang telah disembelih. Setelah terpilih Praingu, maka jabatannya melekat hingga yang bersangkutan kemudian meninggal dunia. Jabatan Praingu tidak dapat diwariskan sehingga harus dilakukan pemilihan Praingu yang baru.

Humba tidak terpisahkan dari rumah adat khas dengan atap menyertai dan berbentuk limas besar diyakini sebagai tempat pemujaan kepada leluhur. Selain itu juga berfungsi sebagai “Uma Dana” yang juga berguna sebagai tempat menyimpan keramat, Bei Uma, rumah utama sebagai kegiatan sehari-hari dan Kali Kambunga, yaitu kolong rumah yang digunakan sebagai kandang hewan peliharaan.

Untuk memahami sistem kekerabatan orang Humba, maka sistem kekerabatan geneologis merupakan pembentuk kekerabatan masyarakat. Pendekatan kekerabatan geneologis merupakan perpaduan antara sistem kekerabatan di Batak[8] dan sistem kekerabatan di Minangkabau[9].

Untuk menentukan kekerabatan yang berdasarkan kekerabatan garis Ibu, penghormatan kepada garis ibu mengingatkan kepada struktur masyarakat di sistem matrilinieal. Sistem ini kemudian dikenal sebagai “mamak” sebagai perwakilan saudara laki-laki dari pihak ibu yang mewakili “kaum” didalam urusan adat dan persoalan lainnya.

Namun yang unik didalam didalam perkawinan, maka perempuan yang mengikuti laki-laki. Didalam perselisihan kekeluargaan, perempuan hendaklah harus mengadu kepada keluarga laki-laki. Setiap tahap ini disampaikan melalui prosesi yang dikenal “Panaungu” atau nasehat adat.

Masyarakat juga mengenal sistem pengobatan yang berasal dari alam. Pohon Damar Merah diyakini sebagai obat malaria dan obat demam untuk anak-anak. Dengan cara direbus, pohon damar mengeluarkan zat yang diperlukan sebagai imunity untuk tubuh bertahan dari serangan malaria.

Sedangkan untuk anak-anak demam, maka pohon damar merah bisa direbus dengan bawang putih dan diusapkan di seluruh tubuh anak. Atau anak bisa dimandikan dengan air rebusan damar merah dan bawang putih.

Festival Wai Humba tidak semata-mata sekedar ritual adat dikalangna orang Humba. Festival ini juga merupakan doa kepada leluhur yang telah menjaga bumi humba dari bencana. Menjaga kehidupan orang Humba dari penyakit. Menjaga orang humba dari berbagai serangan dunia gaib yang akan memunahkan orang Humba. Festival Wai Humba juga budaya dan jati diri orang Humba tetap bertahan di tengah kemodernan[10].

Dalam rentang yang panjang, Marapu, Orang Humba, tradisi rumah adat, berbagai ritual kemudian membuat Orang Humba menjadi salah satu garis perjalanan bangsa Indonesia. Di tanah Humba inilah, segala peradaban masa lampau masih terawat dengan baik sehingga menjadi bagian dari proses peradaban bangsa. Sehingga tidak salah kemudian, cara masyarakat merawat, jejak peradaban merupakan potret dari perjalanan berbagai masyarakat sebelum masuknya berbagai budaya dunia seperti India, Tiongkok, Arab, Islam, Kristen, Budha dan Hindu. Dalam berbagai tempat, berbagai peradaban dunia mampu memperkuat menyatu berbagai budaya local. Namun di berbagai tempat, berbagai budaya justru memutuskan jalur sejarah perkembangan budaya.





[1] Literatur cuma menuliskan Pulau Sumba. Sebuah pulau besar terletak didalam Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Sumba terdiri dari Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur. Namun masyarakat di Sumba tidak mengenal dialek huruf  “S” sehingga sering menyebutkan Humba. Dalam tulisan ini, saya lebih senang menyebutkan “Humba”. Humba tidak sekedar tentang wilayah Pulau Humba. Tapi ada makna filosofi mendalam sehingga kata “Humba” lebih tepat disebutkan sebagai Pulau Humba.
[2] Pertemuan di Laiwotang, 29 Oktober 2016
[3] Teologi meyakini sebagai agama bumi. Konsep pemujan kepada nenek moyang dan Penghormatan kepada leluhur
[4] Menempatkan binatang dalam berbagai tempat ditandai dengan Kuda, anjing, kerbau, babi, sapi, kambing, ayam jantan. Sepanjang perjalanan dari Kabupaten Sumba Barat Daya menyusuri Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Sumba Timur, berbagai ornament dengan menempatkan berbagai binatang mewakili strata dan kepentingan kuburan dari empu rumah.
[5] ditandai dengan melindungi pusat air, tempat padang makanan ternak hewan, tempat pemujaan dan sebagainya.
[6] Kabihu adalah kelompok kekerabatan yang berasal dari sistem kekerabatan berdasarkan keturunan garis ibu. Sistem kekerabatan ini mirip dengna “kaum“ dari masyarakat Minangkabau. Atau “guguk” atau Kalbu di Jambi.
[7] Belanda kemudian menghancurkan pranata dan kemudian membuat struktur seperti Maramba, Ratu, Kabiku, Ata. Struktur ini kemudian dikendalikan Belanda sehingga urutan struktur kemudian membuat lapisan social menjadi berbeda.
[8] Sistem kekerabatan Batak mengenal sistem patrilial. Sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan Ayah (Laki-laki)
[9] Sistem kekerabatan Minangkabau mengenal sistem matrilineal. Sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan Ibu (Perempuan)
[10] Pertemuan di Laiwotang, 29 Oktober 2016