Dalam
Festival Wai Humba V di Sumba Timur, ditemukan berbagai rangkaian kegiatan.
Salah satunya menyusuri tempat sumber air dan tempat yang dikeramatkan
berhubungan dengan leluhur orang Humba.
Memaknai
kata “Wai” tidak sekedar cuma tentang
air. Makna yang tersirat adalah penghormatan terhadap leluhur yang menempuh
perjalanan panjang mengitari Pulau Humba[1].
Tradisi ritual “wai” merupakan
perayaan dan penghormatan kepada Yang Maha Kuasa yang telah memberikan bumi dan
kehidupan kepada manusia.
Dalam
ritual napak tilas menyusuri kedatangan Leluhur orang Humba, Wai humba terdapat
di Wai Ngupa (Kabupaten Sumba Timur), Wai Bakul (Kabupaten Sumba Tengah), Wai
Kabulaka (Kabupaten Sumba Barat) dan Wai Tabulaka (Kabupaten Sumba Barat Daya).
Keempat pusat “wai” merupakan muara air sungai yang mengairi keseluruhan pulau
Sumba.
Keempatnya
berasal dari Empat Gunung yang dihormati. Seperti Gunung Wangga Meti (Kabupaten
Sumba Timur), Tanah Daru (Kabupaten Sumba Tengah), Yawila (Kabupaten Sumba
Barat Daya) dan Puru Humbu (Kabupaten Sumba Barat). Keempat pusat air diyakini
harus dijaga sebagai sumber kehidupan.
Keempat
wai ini bermula dari turunnya “leluhur” Himba di Tanjung Haharu”. Leluhurnya
diyakini bernama Umbu Walumaduko. Berbagai napak tilas selain menyusuri
perjalanan leluhur juga menghormati tanah-tanah keramat, benda-benda magis,
tanah kapur dan tempat-tempat yang diyakini sebagai tempat yang dihormati.
Kekuatan
kolektif masyarakat Humba tidak sekedar semata-mata berkaitan dengan tradisi
adat. Dalam pandangan cosmopolitan, orang Humba menganut keyakinan “Marapu”.
Marapu berarti “Yang dihormati”[2].
Leluhur orang Humba yang kemudian
dihormati merupakan “jalan” untuk menemukan Keilahian”. Menemukan Tuhan yang
menciptakan bumi dan pohon sebagai kehidupan.
Sebagai
ajaran leluhur Marapu[3],
maka setiap keturunan dari orang Humba tidak boleh merusak alam, menghormati
binatang[4],
mengambil barang orang lain, tidak boleh berbohong. Ajaran ini kemudian
menempatkan “anatala” yang mengawasi segala tindak tanduk manusia di muka bumi.
Penyebutan “anatala” hanya disebutkan didalam doa-doa yang diucapkan oleh ratu
didalam doanya didalam “Pamangu Ndewa”. Dalam pengucapatan terhadap Tuhan juga
dikenal “Mawulu Tau” (yang menciptakan manusia), Ina Mbulu – Ama Ndaba (Ibu dan
bapak dari segala sesuatu), Ina Nuku – Ama Hara (Ibu dan Bapak segala urusan).
Sebagai
masyarakat yang mengagungkan dan menghormati tentang alam[5],
masyarakat Humba mengenal struktur social yang biasa dikenal Maramba. Maramba
terdapat didalam Kabihu[6].
Sehingga Kabihu memiliki struktur seperti Maramba dan Ratu[7].
Istilah Raja tidak dikenal didalam struktur adat. Pengikraran Raja dikalangan
tertentu tidak menjadi bagian dari masyarakat di Sumba.
Dalam
struktur social, pemangku pemerintahan mengenal Praingu. Praingu dapat
dikategorikan sebagai struktur setingkat pemerintahan Desa.
Dalam
struktur ini kemudian didalam Praingu mengenal sistem kekerabatan yang terletak
di Praingu. Setiap kabihu diusulkan oleh kekerabatan masyarakat. Sehingga
didalam Praingu terdapat beberapa Kabihu.
Ketika
pemilihan Praingu, maka masing-masing Kabihu mengirimkan orang yang terbaik dan
cukup terpercaya didalam menguasai sistem adat dan yang cukup adil dan
bijaksana. Setelah masing-masing Kabihu mengirimkan orangnya, maka ditentukan
pemilihan Praingu ditandai dengan melihat “hati binantang”. Cara ini dilakukan
dengan melihat hati binatang yang telah disembelih. Setelah terpilih Praingu,
maka jabatannya melekat hingga yang bersangkutan kemudian meninggal dunia.
Jabatan Praingu tidak dapat diwariskan sehingga harus dilakukan pemilihan Praingu
yang baru.
Humba
tidak terpisahkan dari rumah adat khas dengan atap menyertai dan berbentuk
limas besar diyakini sebagai tempat pemujaan kepada leluhur. Selain itu juga
berfungsi sebagai “Uma Dana” yang juga berguna sebagai tempat menyimpan keramat,
Bei Uma, rumah utama sebagai kegiatan sehari-hari dan Kali Kambunga, yaitu
kolong rumah yang digunakan sebagai kandang hewan peliharaan.
Untuk
memahami sistem kekerabatan orang Humba, maka sistem kekerabatan geneologis
merupakan pembentuk kekerabatan masyarakat. Pendekatan kekerabatan geneologis
merupakan perpaduan antara sistem kekerabatan di Batak[8]
dan sistem kekerabatan di Minangkabau[9].
Untuk
menentukan kekerabatan yang berdasarkan kekerabatan garis Ibu, penghormatan
kepada garis ibu mengingatkan kepada struktur masyarakat di sistem
matrilinieal. Sistem ini kemudian dikenal sebagai “mamak” sebagai perwakilan
saudara laki-laki dari pihak ibu yang mewakili “kaum” didalam urusan adat dan
persoalan lainnya.
Namun
yang unik didalam didalam perkawinan, maka perempuan yang mengikuti laki-laki. Didalam
perselisihan kekeluargaan, perempuan hendaklah harus mengadu kepada keluarga
laki-laki. Setiap tahap ini disampaikan melalui prosesi yang dikenal “Panaungu”
atau nasehat adat.
Masyarakat
juga mengenal sistem pengobatan yang berasal dari alam. Pohon Damar Merah diyakini
sebagai obat malaria dan obat demam untuk anak-anak. Dengan cara direbus, pohon
damar mengeluarkan zat yang diperlukan sebagai imunity untuk tubuh bertahan
dari serangan malaria.
Sedangkan
untuk anak-anak demam, maka pohon damar merah bisa direbus dengan bawang putih
dan diusapkan di seluruh tubuh anak. Atau anak bisa dimandikan dengan air
rebusan damar merah dan bawang putih.
Festival
Wai Humba tidak semata-mata sekedar ritual adat dikalangna orang Humba.
Festival ini juga merupakan doa kepada leluhur yang telah menjaga bumi humba
dari bencana. Menjaga kehidupan orang Humba dari penyakit. Menjaga orang humba
dari berbagai serangan dunia gaib yang akan memunahkan orang Humba. Festival
Wai Humba juga budaya dan jati diri orang Humba tetap bertahan di tengah
kemodernan[10].
Dalam
rentang yang panjang, Marapu, Orang Humba, tradisi rumah adat, berbagai ritual
kemudian membuat Orang Humba menjadi salah satu garis perjalanan bangsa
Indonesia. Di tanah Humba inilah, segala peradaban masa lampau masih terawat
dengan baik sehingga menjadi bagian dari proses peradaban bangsa. Sehingga
tidak salah kemudian, cara masyarakat merawat, jejak peradaban merupakan potret
dari perjalanan berbagai masyarakat sebelum masuknya berbagai budaya dunia
seperti India, Tiongkok, Arab, Islam, Kristen, Budha dan Hindu. Dalam berbagai
tempat, berbagai peradaban dunia mampu memperkuat menyatu berbagai budaya local.
Namun di berbagai tempat, berbagai budaya justru memutuskan jalur sejarah
perkembangan budaya.
[1] Literatur cuma menuliskan Pulau Sumba. Sebuah pulau
besar terletak didalam Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Sumba terdiri dari
Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur. Namun masyarakat
di Sumba tidak mengenal dialek huruf “S”
sehingga sering menyebutkan Humba. Dalam tulisan ini, saya lebih senang menyebutkan
“Humba”. Humba tidak sekedar tentang wilayah Pulau Humba. Tapi ada makna
filosofi mendalam sehingga kata “Humba” lebih tepat disebutkan sebagai Pulau
Humba.
[2] Pertemuan di Laiwotang, 29 Oktober 2016
[3] Teologi meyakini sebagai agama bumi. Konsep pemujan
kepada nenek moyang dan Penghormatan kepada leluhur
[4] Menempatkan binatang dalam berbagai tempat ditandai
dengan Kuda, anjing, kerbau, babi, sapi, kambing, ayam jantan. Sepanjang
perjalanan dari Kabupaten Sumba Barat Daya menyusuri Kabupaten Sumba Tengah,
Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Sumba Timur, berbagai ornament dengan
menempatkan berbagai binatang mewakili strata dan kepentingan kuburan dari empu
rumah.
[5] ditandai dengan melindungi pusat air, tempat padang
makanan ternak hewan, tempat pemujaan dan sebagainya.
[6] Kabihu adalah kelompok kekerabatan yang berasal dari
sistem kekerabatan berdasarkan keturunan garis ibu. Sistem kekerabatan ini
mirip dengna “kaum“ dari masyarakat
Minangkabau. Atau “guguk” atau Kalbu di Jambi.
[7] Belanda kemudian menghancurkan pranata dan kemudian
membuat struktur seperti Maramba, Ratu, Kabiku, Ata. Struktur ini kemudian
dikendalikan Belanda sehingga urutan struktur kemudian membuat lapisan social
menjadi berbeda.
[8] Sistem kekerabatan Batak mengenal sistem patrilial.
Sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan Ayah (Laki-laki)
[9] Sistem kekerabatan Minangkabau mengenal sistem
matrilineal. Sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan Ibu (Perempuan)
[10] Pertemuan di Laiwotang, 29 Oktober 2016