Pagi
hari, saya mendapatkan laporan dari putraku tentang “kegelisahannya”. Dia bertanya dengan lugu. Mengapa teman mengajinya
kemudian dilarang orang tua untuk mengaji”.
Sebelum menjawab pertanyaannya, “bak”
detective tangguh, saya melakukan investigasi dengan bertanya kepada istri
saya.
Dengan
panjang lebar, istri saya kemudian menceritakan tentang keadaan keluarga teman
putraku. “dia masuk pengajian”.
Waduh. Kok masuk pengajian tapi malah melarang anak-anaknya mengaji di surau
terdekat. Sayapun kemudian menyimak penjelasan lebih lanjut. “Iya. Dia melarang pengajian dekat surau”.
Sekarang dia masuk pengajian dan tidak lagi berjualan dekat rumah. Bahkan
sekarang entah kemana”. Pikiran saya kemudian menerawang entah kemana.
Teringat
beberapa tahun yang lalu, aku pernah memberhentikan guru ngaji. Saya
mendapatkan laporan dari putraku, dia dilarang bergaul dengan teman-teman yang
nasrani. Bahkan dilarang main kerumahnya (yang
kebetulan dekat dengan rumah).
Saya
tidak terima perlakuan. Bagiku, guru ngaji adalah mengajar mengaji. Sedangkan
budi pekerti (cara bergaul) merupakan tanggungjawabku sebagai orang tua.
Kami
sudah diajarkan bergaul toleransi dengan berbagai agama. Entah dari sekolah,
teman kerja bahkan berbagai teman organisasi tidak pernah mempersoalkan “urusan seperti ini”.
Saya
punya teman sekolah nasrani. Kami bergaul tanpa dibatasi sekat-sekat. Yang
kutahu ketika waktu sekolah, waktu Natalan, saya suka kerumahnya karena banyak
kue dan sering dikasih jajan orang tua temanku. Begitu juga pas waktu idul
fitri, dia juga rajin datang dan kami saling mengucapkan selamat tanpa harus
kikuk dengan urusan yang belum kami pahami.
Memasuki
bangku kuliah, justru natal dan tahun baru merupakan “kesempatan” kami bergembira datang beramai-ramai kerumah teman yang
nasrani. Kami bahkan harus mengatur jadwal sehingga tidak ada satupun yang
luput yang kami datangi.
Dalam
perjalanan entah ke kota mana, saya justru menemukan “keragaman” mendiskusikan kemanusiaan. Entah berapa pastor, pendeta
ataupun ustad muda yang berapi-api keras berbicara di rapat-rapat masyarakat
yang menolak penggusuran.
Di Medan bertemu dengan pastor yang suka naik
trail memobilisasi perlawanan Indo Rayon. Di Jambi, di Bandung, di Lampung
maupun di Palembang, “retret” sering
digunakan untuk mengadakan pendidikan buruh. Bahkan salah satu gereja di Jambi
pernah saya datangi “mengambil beras”
ketika aksi menduduki kantor Pemerintahan.
Di
Sumba kemarin, saya justru ketemu dengan pendeta yang fasih menerangkan tentang
Marapu dalam kebaktiannya. Teman-teman nasrani di Sumba, selalu menyiapkan ayam
dipotong, disiapkan ruang terpisah dan
memisahkan dengan makanan lain sebagai bentuk penghormatan tulus terhadap agama
saya.
Atau
ketika siang hari saya kerumah teman-teman China, tanpa dimintapun, mereka
segera membelikan saya nasi bungkus dan melarang saya keruang makannya.
Semua
tempat-tempat yang saya datangi, justru saya disiapkan sajadah untuk sholat.
Waktu yang diingatkan terus menerus oleh pastor dan pendeta untuk saya tertib
sholat.
Begitu
juga dengan ustad-ustad muda berpeci khas Nahdiyin yang menyiapkan dana
pesantren untuk memobilisasi aksi-aksi petani menolak perampasan tanah di Jawa
Barat. Ustad muda yang canggih menggunakan sosmed tapi fasih bicara Fiqh sambil
santai menghisap rokok.
Saya
kemudian menemukan keragaman. Agama justru membebaskan manusia. Agama
diperlukan untuk menyelesaikan persoalan manusia. Sebuah titik yang kemudian
membuat saya kagum dengan “kebesaran”
jiwa pastor, pendeta ataupun ustad muda yang tidak bicara lagi tentang “hubungan
manusia dengan Tuhan” tapi sudah menyentuh akar persoalan. Hubungan
manusia dengan manusia. Tanpa menggali dasar berfikir, saya kemudian menemukan
keteduhan.
Suasana
itu masih terasa apabila kita sejenak mau turun ke berbagai pusat-pusat
perlawanan. Masih banyak tokoh-tokoh agama yang mempunyai umat namun tetap
menggunakan energinya untuk membantu masyarakat yang tertindas.
Kasus
Indorayon, Kasus Rembang, kasus Sumba - dan
tentu saja masih banyak kaus-kasus lain yang tidak mungkin saya sebutkan satu
persatu - tidak terlepas dari kemenangan rakyat yang didukung tokoh-tokoh
agama. Entah dengan seruan didalam pengajian, didalam kebaktian ataupun ketika
aksi berdiri gagah didepan masyarakat menghadang bulldozer yang merobohkan
rumah masyarakat. Mereka begitu meyakini iman sehingga mengambil peran untuk
berdiri berada di barisan umat yang terzolimi.
Dalam
setiap organisasi, hampir dipastikan saya bertemu dengan teman-teman yang
berlatar belakang agama yang berbeda-beda. Entah Nasrani, Budha, Hindu. Dari
teman-teman saya, saya kemudian belajar tentang “Hari Paskah”, Hari Raya Nyepi,
tentang penghormatan terhadap manusia. Bahkan kami saling berkirim kabar
mengucapkan Selamat merayakan Hari Raya. Semuanya berjalan dengan baik.
Dalam
interaksi terus menerus, tidak ada satupun upaya mempengaruhi agama siapapun.
Interaksi hanya mendiskusikan gagasan tanpa reserve keyakinan masing-masing.
Dengan
beragam perjalanan dan menempuh berbagai tempat kemudian saya akan kehilangan
identitas sebagai orang Islam ?
Ha..
Ha.. Justru dari seluruh pengetahuan yang saya dapatkan dari berbagai tempat
perjalanan, semakin sering kemudian belajar agama. Saya semakin yakin dengan
pilihan agama. Keyakinan saya semakin tebal dan menumbuhkan toleransi. Saya
kemudian menyadari. Islam dilahirkan untuk umat manusia. Bukan hanya untuk umat
Islam saja. Keyakinan itulah yang kemudian menempatkan. Agama adalah untuk
kemanusiaan. Bukan sekedar ritual tanpa makna.
Lalu
apakah agama yang saya anut tidak memberikan pemahaman tentang budi pekerti.
Ah. Terlalu sederhana untuk menjawabnya. Semua putra-putri saya, setiap
Ramadhan saya kirimkan ke kampong kakeknya di Padang. Disana suasana ramadhan
begitu terasa. Mulai dari Kultum, pesantren kilat, pengajian, berebut mukul
bedug masih terasa.
Selain
dekat dengan kakeknya, suasana ramadhan di Padang membuat dia memahami arti
keberagaman tentang agama. Disana dengan kentalnya Muhamadiyah bisa bertemu
dengan mengakarnya Nahdiyin di Jambi. Sampai sekarang yang bisa saya pastikan,
seluruh putra-putri saya sudah Khatam Al
Qur’an sebelum menginjak kelas 5 SD.
Dengan
pengetahuan itulah, maka saya bisa menangkap kegundahan putra saya. Saya
merasakan bagaimana teman mengajinya, tanpa dosa harus kehilangan dan tidak
menemukan jawaban. Sambil mengusap rambutnya, saya cuma berkata. “Nak. Mengajilah seperti biasa. Ayah akan
selalu disampingmu untuk bercerita tentang Agama kita. Agama Islam yang tetap
teduh untuk manusia.
Diapun
mengangguk walaupun belum sepenuhnya mengerti. Namun yang kutangkap.
Kegundahannya akan ditemukan jawabannya setelah dia dewasa kelak.
Baca : Tradisi Ramadhan