Dalam
rentang menggali sejarah dan model pengelolaan di daerah Hilir (Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur
dan Muara Jambi), istilah-istilah “parit’
menjadi menarik perhatian penulis.
Misalnya
Sungai Tungkal terbagi beberapa parit. Sebelah Timur terdiri
parit Ban 5, parit ban 4, parit ban 3, Kuala 2, parit pinang, ban talang,
Sungai Rambai Besar, parit Banol, parit Brumbun, Sungai Rambai Kecil, Sungai
Langsat, parit Delima, Srikaton dan Sungai Meranti. Sedangkan Sebelah barat
terdiri dari Suak Batang, Sido Mulyo, Suak Patin, Beringin, Suak Pare, Bansari,
Serbaguna, Marga Rukun, Parit Sepakat, Suak Rowo, Parit Gempal, Parit Baru
Andin, Parit Baru Illahi.
Istilah
“parit” kemudian merujuk kepada
penamaan terhadap batas tanah yang ditandai dengan penggalian tanah sebagai
batas yang juga dapat berfungsi sebagai jalur mengangkut hasil pertanian.
Tidak
dapat dipungkiri, puzzle kemudian saya menyusuri dokumen-dokumen yang berada di
daerah Timur ataupun entitas Banjar (yang
kemudian merujuk kepada Banjarmasin).
Salah
satu dokumen adalah Skripsi “KESULTANAN BANJARMASIN DALAM LINTAS PERDAGANGAN
NUSANTARA ABAD KE XVIII” dengan baik menerangkan dan menceritakan kemajuan
Bandar Kerajaan Banjarmasin pada awal abad XVIII[1].
Begitu juga tesis Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan
Banjarmasin (1747-1787)[2]
Perdagangan
abad XV bergeser setelah ekspansi Mataram di pesisir pantai utara Jawa pada
pertengahan pertama abad XVII[3].
Kerajaan Banjarmasin yang melepaskan diri dari Kesultanan Demak pada akhir abad
XVII[4]. Kerajaan Banjarmasin semakin kuat sebagai
pusat perdagangan setelah Sultan Amangkurat I menghancurkan pusat-pusat
perdagangan di wilayah Jawa Timur yang bertujuan kepada Mataram dan kemudian
menyebabkan migrasi besar ke wilayah Banjarmasin. Banjarmasin kemudian menjadi
penampung pedagang dari kota-kota pesisir Jawa[5].
Selain itu juga dipengaruhi sikap Kesultanan Banjarmasin yang mempertahankan
diri dari monopoli perdagangan asing.
Namun
kejayaan perdagangan Kerajaan Banjarmasin kemudian menukik mengalami
kehancuran. Kemunduran disebabkan perdagangan semula dipegang oleh Raja atau
Sultan di Kerajaan Banjarmasin kemudian beralih ke pedagang Eropa. Belum lagi
konflik keluarga kerajaan yang menyebabkan keguncangan di kalangan Kerajaan. Misalnya
konflik antara putra mahkota dengan Mangkubumi terhadap pergantian Sultan.
Antara Sultan Tamjidillah dengan Sultan Muhammad. Konflik kemudian semakin
meluas setelah setelah Pangeran Muhammad meminta bantuan Belanda (VOC) untuk
merebut kekuasaan. Pangeran Tamdijillah merupakan sahabat Inggeris kemudian
“memopoli” Lada dan menekan harga serendah-rendahnya sehingga tidak disenangi
rakyat[6].
Persoalan
Kerajaan Banjarmasin tidak dapat dipungkiri menjadi penyebab utama sehingga
mundurnya jalur perdagangan di Banjarmasin. Selain mundurnya pusat perdagangan
Banjarmasin, pertikaian di Kerajaan Banjarmasin juga menyebabkan rakyat
kemudian mencari tempat aman[7].
Kepergian penduduk dan tewasnya penduduk disebabkan perang di Kerajaan
Banjarmasin kemudian menyebabkan mundurnya perdagangan di Kerajaan Banjarmasin.
Selain itu juga penduduk mengalihkan dengan menanam lahan pertanian seperti
karet, tembakau dan padi. Penduduk kemudian meninggalkan lada sebagai penyebab
perang dan konflik di Kerajaan Banjarmasin.
Migrasi
besar-besaran dari Banjarmasin kemudian bermukim di berbagai jalur perdagangan
terutama di Pantai Timur Sumatera. Maka
kedatangan suku bangsa seperti Banjar, Bugis, Minangkabau dan Jawa tidak dapat
dihindarkan[8]. Bahkan Suku Bajo[9].
Bahkan Tideman menyebutkan “Pada masa
Hindia Belanda etnis Bugis dan Banjar membuka kebun kelapa di pesisir Pantai
Timur Sumatera[10].
Sedangkan etnis Minangkabau dan Kerinci
datang ke daerah Jambi untuk menambang emas di sepanjang Limun dan Batang Asai
di daerah hulu Jambi[11].
Kedatangan masyarakat di Pesisir Pantai Timur
kemudian membawa teknologi cara membuka areal “rawa” atau “payau’. Mereka
mengenal cara dengan sistem “parit”[12].
Sistem parit tidak dikenal di masyarakat hilir Jambi seperti di Muara Jambi
yang cuma mengenal dengan cara “mentaaro”[13]
Dengan berkelompok maka kemudian dibuat parit
sebagai “jalur” lintasan perahu untuk membawa hasil pertanian.
Setelah “berkelompok”, maka setiap orang
didalam kelompok kebun dibuat “parit-parit” untuk menandai setiap pemilik
tanah. Cara pembatasan ini hanya dikenal di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan
tanjung Jabung Timur. Cerita ini hanya ditemukan di Marga Tungkal ilir, Marga
Sabak/Dendang. Walaupun di daerah Kumpeh Ilir terdapat gambut, namun cara ini
tidak dikenal oleh masyarakat Melayu Jambi. Dengan demikian, maka “sistem
teknologi” dan sistem tanah dengan menggunakan parit dibawa dari suku Banjar
terutama dari Kalimantan.
Membuka parit bertujuan untuk menjaga rawa
tidak tergenang, namun tidak kering di musim kemarau. Di setiap parit kemudian
dibuat pintu air untuk mengatur tingginya permukaan air. Cara ini efektif dan
dapat dikelola kawasan rawa oleh masyarakat.
Pintu air kemudian dijadikan jalur-jalur membawa hasil pertanian.
Setiap jarak 200 – 300 meter dibangun semacam
bendungan yang disebut “tabat. Tabat dbuat secara sederhana dengan mengambil
sebagian tanah mineral dan papan kemudian dijadikan tanggul untuk menutup alur
sehingga air dari hulu mengalir dapat ditahan untuk waktu tertentu. Cara ini dikenal dalam masyarakat Banjar[14].
Petani di
Kalampangan (Kalimantan Tengah) juga membuat parit dan pintu air untuk
mempertahankan ketebalan lapisan lahan gambut di lahan usahataninya. Parit dibuat
berupa saluran (dalam 50 cm dan lebar 40 cm) di sekeliling lahan dengan ukuran
panjang 175 m dan lebar 100 m, yang mana dibagian tengah lahan dibuat saluran
cacing (dalam 20 cm dan lebar 20 cm yang membelah lahan usahatani menjadi empat
bagian. Salah satu parit dibuat memanjang yang bermuara pada parit besar di
depan rumah. Parit keliling ini tidak pernah ditutup agar pada hujan lebat
lahan tidak tergenang. Penutupan hanya dilakukan pada saluran cacing supaya
lahan tetap lembab[15]
Sistem ini juga didasarkan kepada kebutuhan
pangan dan komoditas untuk ekspor[16].
Cara ini juga dapat dilihat Desa Hulu Kalimantan Barat[17]
Perlakuan rawa gambut oleh masyarakat
terbukti handal menghadapi kekeringan yang panjang dan musim hujan. Dengan pola
pengaturan dari proses yang panjang, di Marga Berbak dan Marga Dendang/Sabak
lahan rawa gambut mampu sebagai “lumbung” padi untuk Kabupaten Tanjung Jabung
Timur.
Sekali lagi
tidak dapat dipungkiri. Sejarah panjang di Jambi tidak dapat terlepas dari
berbagai pengaruh kerajaan Besar. Setelah sebelumnya dipengaruhi Kerajaan
Pagaruyung (baik vassal Kerajaan Indrapura) di Kerinci, Merangin dan Sarolangun
atau sepanjang jalur sungai Batanghari maupun kerajaan Indrapura (sebagai
vassal Kerajaan Indragiri) di Merlung, Tungkal maupun Kumpeh, maka Kerajaan
Banjarmasin juga meninggalkan peradaban di Pantai Timur Sumatera.
Selain Teknologi
selain digunakan, keberadaan masyarakat di Tanjung Jabung Barat maupun Tanjung
Jabung Timur tidak dapat dipungkiri sebagai bagian dari sejarah panjang
hubungan antara masyarakat Jambi dengan keberadaan masyarakat Banjarmasin yang
kemudian menetap dan bagian dari sejarah panjang di Jambi.
[1] Ibnu Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin dalam Lintas
Perdagangan Nusantara abad XVIII, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010
[2] Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di
Kesultanan Banjarmasin (1747-1787), Tesis, Pascasarjana UI, Jakarta, 1991
[3] B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies,
Vol. 1, The Hague van Hoove, Bandung, 1955, Hal. 29
[4] M. Idwar Saleh, Banjarmasih, Balai Pendidikan Guru,
Banjarmasin, 1975, Hal 39
[5] A. A. Cence, De Kroniek van Banjarmasin, Santpoort,
1928, Hal 117.
[6] Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia baru : 1500 –
1900, Dari Imperium Sampai Imperium, hal 257
[7] Knapen, “Forest of Fortune, The Enviromental History
of Southeast Borneo, hal. 261.
[8] Persatuan Penulis Johor, Tradisi Johor-Riau, Dewan Bahasa
dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1987, Hal. 220.
[9] M. J. Melalatoa, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Hal. 85
[10] Tideman, Djambi, Kolonial Instituut Amsterdam, 1938
[11] Barbara W Andaya, Cash Cropping and Upstream-Downstream
Tension : The Case of Jambi in the 17th and 18 th Century,
University of Hawaii Press, Honolulu, 1993
[12] Walaupun di daerah Gambut, Marga Kumpeh Ilir tidak mengenal
sistem parit. Mereka hanya menyebut Mentaro sebagai batas tanah.
[13] Riset Gambut, Walhi Jambi, 2016
[14] Yanti Rina dkk, Persepsi Petani Tentang Lahan Gambut dan
Pengelolaannya, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
[15] Noorginayuwati, A.Rafiq, Yanti
R., M. Alwi, A.Jumberi, 2006. Penggalian Kearifan Lokal Petani untuk
Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan. Laporan Hasil Penelitian Balittra
2006.
[16] Alihamsyah,T. dan E.Ekon Ananto.
1998. Sintesis Hasil Penelitian Budidaya Tanaman dan Alsintan pada Lahan Pasang
Surut. Dalam M. Sabran dkk. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian
Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra. Banjarbaru.
[17] Notohadiprawiro, T. 1994.
Pengembangan Lahan Pasang Surut Untuk Tujuan Pertanian. Pertemuan Teknis
Kegiatan Pengajian Tahapan Pengembangan Lahan Rawa Pasang Surut, Badan Litbang
PU, Bandung, 20 Oktober 1994.