14 November 2016

opini musri nauli : Pengaruh Banjarmasin di Jambi




Dalam rentang menggali sejarah dan model pengelolaan di daerah Hilir (Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Muara Jambi), istilah-istilah “parit’ menjadi menarik perhatian penulis.

Misalnya Sungai Tungkal terbagi beberapa parit. Sebelah Timur terdiri parit Ban 5, parit ban 4, parit ban 3, Kuala 2, parit pinang, ban talang, Sungai Rambai Besar, parit Banol, parit Brumbun, Sungai Rambai Kecil, Sungai Langsat, parit Delima, Srikaton dan Sungai Meranti. Sedangkan Sebelah barat terdiri dari Suak Batang, Sido Mulyo, Suak Patin, Beringin, Suak Pare, Bansari, Serbaguna, Marga Rukun, Parit Sepakat, Suak Rowo, Parit Gempal, Parit Baru Andin, Parit Baru Illahi.

Istilah “parit” kemudian merujuk kepada penamaan terhadap batas tanah yang ditandai dengan penggalian tanah sebagai batas yang juga dapat berfungsi sebagai jalur mengangkut hasil pertanian.

Tidak dapat dipungkiri, puzzle kemudian saya menyusuri dokumen-dokumen yang berada di daerah Timur ataupun entitas Banjar (yang kemudian merujuk kepada Banjarmasin).

Salah satu dokumen adalah Skripsi “KESULTANAN BANJARMASIN DALAM LINTAS PERDAGANGAN NUSANTARA ABAD KE XVIII” dengan baik menerangkan dan menceritakan kemajuan Bandar Kerajaan Banjarmasin pada awal abad XVIII[1]. Begitu juga tesis Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin (1747-1787)[2]

Perdagangan abad XV bergeser setelah ekspansi Mataram di pesisir pantai utara Jawa pada pertengahan pertama abad XVII[3]. Kerajaan Banjarmasin yang melepaskan diri dari Kesultanan Demak pada akhir abad XVII[4].  Kerajaan Banjarmasin semakin kuat sebagai pusat perdagangan setelah Sultan Amangkurat I menghancurkan pusat-pusat perdagangan di wilayah Jawa Timur yang bertujuan kepada Mataram dan kemudian menyebabkan migrasi besar ke wilayah Banjarmasin. Banjarmasin kemudian menjadi penampung pedagang dari kota-kota pesisir Jawa[5]. Selain itu juga dipengaruhi sikap Kesultanan Banjarmasin yang mempertahankan diri dari monopoli perdagangan asing.  

Namun kejayaan perdagangan Kerajaan Banjarmasin kemudian menukik mengalami kehancuran. Kemunduran disebabkan perdagangan semula dipegang oleh Raja atau Sultan di Kerajaan Banjarmasin kemudian beralih ke pedagang Eropa. Belum lagi konflik keluarga kerajaan yang menyebabkan keguncangan di kalangan Kerajaan. Misalnya konflik antara putra mahkota dengan Mangkubumi terhadap pergantian Sultan. Antara Sultan Tamjidillah dengan Sultan Muhammad. Konflik kemudian semakin meluas setelah setelah Pangeran Muhammad meminta bantuan Belanda (VOC) untuk merebut kekuasaan. Pangeran Tamdijillah merupakan sahabat Inggeris kemudian “memopoli” Lada dan menekan harga serendah-rendahnya sehingga tidak disenangi rakyat[6].

Persoalan Kerajaan Banjarmasin tidak dapat dipungkiri menjadi penyebab utama sehingga mundurnya jalur perdagangan di Banjarmasin. Selain mundurnya pusat perdagangan Banjarmasin, pertikaian di Kerajaan Banjarmasin juga menyebabkan rakyat kemudian mencari tempat aman[7]. Kepergian penduduk dan tewasnya penduduk disebabkan perang di Kerajaan Banjarmasin kemudian menyebabkan mundurnya perdagangan di Kerajaan Banjarmasin. Selain itu juga penduduk mengalihkan dengan menanam lahan pertanian seperti karet, tembakau dan padi. Penduduk kemudian meninggalkan lada sebagai penyebab perang dan konflik di Kerajaan Banjarmasin.

Migrasi besar-besaran dari Banjarmasin kemudian bermukim di berbagai jalur perdagangan terutama di Pantai Timur Sumatera. Maka kedatangan suku bangsa seperti Banjar, Bugis, Minangkabau dan Jawa tidak dapat dihindarkan[8]. Bahkan Suku Bajo[9]. Bahkan Tideman menyebutkan “Pada masa Hindia Belanda etnis Bugis dan Banjar membuka kebun kelapa di pesisir Pantai Timur Sumatera[10].

Sedangkan etnis Minangkabau dan Kerinci datang ke daerah Jambi untuk menambang emas di sepanjang Limun dan Batang Asai di daerah hulu Jambi[11].

Kedatangan masyarakat di Pesisir Pantai Timur kemudian membawa teknologi cara membuka areal “rawa” atau “payau’. Mereka mengenal cara dengan sistem “parit”[12]. Sistem parit tidak dikenal di masyarakat hilir Jambi seperti di Muara Jambi yang cuma mengenal dengan cara “mentaaro”[13]

Dengan berkelompok maka kemudian dibuat parit sebagai “jalur” lintasan perahu untuk membawa hasil pertanian.

Setelah “berkelompok”, maka setiap orang didalam kelompok kebun dibuat “parit-parit” untuk menandai setiap pemilik tanah. Cara pembatasan ini hanya dikenal di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan tanjung Jabung Timur. Cerita ini hanya ditemukan di Marga Tungkal ilir, Marga Sabak/Dendang. Walaupun di daerah Kumpeh Ilir terdapat gambut, namun cara ini tidak dikenal oleh masyarakat Melayu Jambi. Dengan demikian, maka “sistem teknologi” dan sistem tanah dengan menggunakan parit dibawa dari suku Banjar terutama dari Kalimantan.

Membuka parit bertujuan untuk menjaga rawa tidak tergenang, namun tidak kering di musim kemarau. Di setiap parit kemudian dibuat pintu air untuk mengatur tingginya permukaan air. Cara ini efektif dan dapat dikelola kawasan rawa oleh masyarakat.  Pintu air kemudian dijadikan jalur-jalur membawa hasil pertanian.

Setiap jarak 200 – 300 meter dibangun semacam bendungan yang disebut “tabat. Tabat dbuat secara sederhana dengan mengambil sebagian tanah mineral dan papan kemudian dijadikan tanggul untuk menutup alur sehingga air dari hulu mengalir dapat ditahan untuk waktu tertentu.  Cara ini dikenal dalam masyarakat Banjar[14].

Petani di Kalampangan (Kalimantan Tengah) juga membuat parit dan pintu air untuk mempertahankan ketebalan lapisan lahan gambut di lahan usahataninya. Parit dibuat berupa saluran (dalam 50 cm dan lebar 40 cm) di sekeliling lahan dengan ukuran panjang 175 m dan lebar 100 m, yang mana dibagian tengah lahan dibuat saluran cacing (dalam 20 cm dan lebar 20 cm yang membelah lahan usahatani menjadi empat bagian. Salah satu parit dibuat memanjang yang bermuara pada parit besar di depan rumah. Parit keliling ini tidak pernah ditutup agar pada hujan lebat lahan tidak tergenang. Penutupan hanya dilakukan pada saluran cacing supaya lahan tetap lembab[15]

Sistem ini juga didasarkan kepada kebutuhan pangan dan komoditas untuk ekspor[16]. Cara ini juga dapat dilihat Desa Hulu Kalimantan Barat[17]

Perlakuan rawa gambut oleh masyarakat terbukti handal menghadapi kekeringan yang panjang dan musim hujan. Dengan pola pengaturan dari proses yang panjang, di Marga Berbak dan Marga Dendang/Sabak lahan rawa gambut mampu sebagai “lumbung” padi untuk Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

Sekali lagi tidak dapat dipungkiri. Sejarah panjang di Jambi tidak dapat terlepas dari berbagai pengaruh kerajaan Besar. Setelah sebelumnya dipengaruhi Kerajaan Pagaruyung (baik vassal Kerajaan Indrapura) di Kerinci, Merangin dan Sarolangun atau sepanjang jalur sungai Batanghari maupun kerajaan Indrapura (sebagai vassal Kerajaan Indragiri) di Merlung, Tungkal maupun Kumpeh, maka Kerajaan Banjarmasin juga meninggalkan peradaban di Pantai Timur Sumatera.

Selain Teknologi selain digunakan, keberadaan masyarakat di Tanjung Jabung Barat maupun Tanjung Jabung Timur tidak dapat dipungkiri sebagai bagian dari sejarah panjang hubungan antara masyarakat Jambi dengan keberadaan masyarakat Banjarmasin yang kemudian menetap dan bagian dari sejarah panjang di Jambi.


[1] Ibnu Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin dalam Lintas Perdagangan Nusantara abad XVIII, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010
[2] Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin (1747-1787), Tesis, Pascasarjana UI, Jakarta, 1991
[3] B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Vol. 1, The Hague van Hoove, Bandung, 1955, Hal. 29
[4] M. Idwar Saleh, Banjarmasih, Balai Pendidikan Guru, Banjarmasin, 1975, Hal 39
[5] A. A. Cence, De Kroniek van Banjarmasin, Santpoort, 1928, Hal 117.
[6] Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia baru : 1500 – 1900, Dari Imperium Sampai Imperium, hal 257
[7] Knapen, “Forest of Fortune, The Enviromental History of Southeast Borneo, hal. 261.
[8] Persatuan Penulis Johor, Tradisi Johor-Riau, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1987, Hal. 220.
[9] M. J. Melalatoa, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Hal. 85
[10] Tideman, Djambi, Kolonial Instituut Amsterdam, 1938
[11] Barbara W Andaya, Cash Cropping and Upstream-Downstream Tension : The Case of Jambi in the 17th and 18 th Century, University of Hawaii Press, Honolulu, 1993
[12] Walaupun di daerah Gambut, Marga Kumpeh Ilir tidak mengenal sistem parit. Mereka hanya menyebut Mentaro sebagai batas tanah.
[13] Riset Gambut, Walhi Jambi, 2016
[14] Yanti Rina dkk, Persepsi Petani Tentang Lahan Gambut dan Pengelolaannya, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
[15] Noorginayuwati, A.Rafiq, Yanti R., M. Alwi, A.Jumberi, 2006. Penggalian Kearifan Lokal Petani untuk Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan. Laporan Hasil Penelitian Balittra 2006.
[16] Alihamsyah,T. dan E.Ekon Ananto. 1998. Sintesis Hasil Penelitian Budidaya Tanaman dan Alsintan pada Lahan Pasang Surut. Dalam M. Sabran dkk. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra. Banjarbaru.
[17] Notohadiprawiro, T. 1994. Pengembangan Lahan Pasang Surut Untuk Tujuan Pertanian. Pertemuan Teknis Kegiatan Pengajian Tahapan Pengembangan Lahan Rawa Pasang Surut, Badan Litbang PU, Bandung, 20 Oktober 1994.