Entah
memang belum paham atau memang “pura-pura”
tidak tahu, istilah wewenang dan hak sering bercampur istilah didalam
mendudukkan persoalan.
Kalaupun
di lapisan masyarakat umum, istilah ini sering bercampur-baur, saya berusaha
mengerti ataupun mencoba memaklumi. Tapi kalaupun masih terjadi di lapisan
penegak hukum, maka itu “kiamat kecil”.
Keterlaluan.
Berdasarkan
teori kewenangan (Theorie van Bevoeghied/begoegd
theorie), secara umum, wewenang adalah “kekuasaan
yang diberikan oleh hukum”. Baik secara tegas dinyatakan didalam konstitusi
(baik penamaan maupun fungsi) maupun
turunannya. Kekuasaan ini sering disebut “atribusi”.
Berdasarkan
“kekuasaan dari hukum” yang tegas
dicantumkan oleh konstitusi, maka “atribusi”
kemudian mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada kekuasaan yang lain. Dalam
praktek administrasi Negara sering disebut “delegasi”.
Sedangkan
didalam operasional, maka “delegasi”
dapat meminta dukungan dan mempercayakan pekerjaannya. Inilah yang biasa
disebut dengan “mandate”
Jadi
teori kewenangan terdiri dari “atribusi”,
“delegasi”, “mandate”. Atribusi dan
delegasi bertindak sendiri dimuka
hukum sehingga segala sesuatu perbuatannya kemudian harus
dipertanggungjawabkan.
Mengikuti
alur teori kewenangan (Theorie van Bevoeghied/begoegd
theorie), maka didalam konstitusi, Presiden sebagai kepala Negara maupun
kepala Pemerintahan mempunyai berbagai kewenangan.
Sebagai
Kepala Negara maka fungsi Presiden adalah symbol ketatanegaraan yang menganut
sistem pemerintahan Presidentiil (Pasal 1
ayat (1) UUD 1945). Dengan symbol inilah, maka fungsi sebagai Negara dapat
dilihat seperti “mengangkat duta dan
konsul”, “memberi grasi rehabilitasi, amnesti dan abolisi”, “memberi gelar,
tanda jasa dan kehormatan”.
Sedangkan
didalam fungsi sebagai Kepala Pemerintahan, maka Presiden membuat Peraturan
pengganti UU (Perpu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan
Presiden dan Instruksi Presiden.
Didalam
tugasnya, Presiden kemudian dibantu oleh Menteri negarai (Pasal 17 UUD 1945)
Untuk
mengatur roda pemerintahan, maka Presiden kemudian “mendelegasikan” kekuasaannya kedalam Provinsi, Kabupaten/Kota (Pasal 18 UUD 1945).
Walaupun Provinsi dan
daerah-daerah yang bersifat otonom (streek
and local rechts gomenschappen) yang ditandai dengan (daerah otonom/administrative dan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah) namun pembagian tugas pemerintahan dilakukan oleh Presiden.
Pendelegasian
Presiden kepada Provinsi, Kabupaten/Kota karena Indonesia adalah Negara
kesatuan (eenheidstaat) dan Provinsi,
Kabupaten/Kota karena daerah bukanlah bersifat negara (staat) didalam Negara kesatuan.
Dalam
ranah politik sering disebut juga “desentralisasi”
atau otonomi.
“Penyerahan” tugas pemerintahan baik
kepada Menteri maupun kepada Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota merupakan “delegasi” sehingga baik atribusi maupun delegasi kemudian dapat dipertanggungjawabkan dimuka hukum.
Masih
ingat ketika Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang kemudian “tersangkut” kasus korupsi.
Entah
memang “mengalihkan tanggungjawab”
atau memang belum paham teori kewenangan (Theorie van Bevoeghied/begoegd theorie),
ada upaya “tanggungjawab” kemudian
hendak “dialihkan” kepada Gubernur
Jakarta (Waktu itu Jokowi). Sehingga
wacana itu sempat menguat dan “provokasi”
meminta pertanggungjawaban dimuka hukum.
Tapi
akhirnya hukum bicara. Sang Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta tetap harus
mempertanggungjawabkan dimuka hukum.
Dalam
praktek Pengadilan Tata Usaha Negara, terhadap pelanggaran kewenangan kemudian
diidentifikasikan sebagai (a) melampaui wewenang (Detournement de pouvoir), (b) mencampuradukkan wewenang (c)
bertindak sewenang-wenang (abuse de droit)
Sedangkan
didalam ranah tindak korupsi ditandai dengan “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau saran yang melekat padanya …
merugikan Negara atau perekonomian negara.
Sedangkan
hak adalah segala sesuatu “secara kodrati”
sebagai fitrah manusia memang harus mendapatkannya. Sebagian lagi menyebutkan “sesuatu yang kita terima setelah
melaksanakan kewajiban”. Ada juga menyebutkan “fasilitas” yang dinikmati terhadap “prestasi” terhadap kewajiban. Kamus Bahasa Indonesia kemudian
merumuskannya yaitu “sesuat hal yang
benar, milik, kepunyaan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, kekuasaan yang benar
atas sesuatu, menuntut sesuatu, derajat atau martabat.
Namun
temanku iseng bertanya. Bagaimana terhadap pejabat yang tidak mempunyai
wewenang namun mengeluarkan keputusan tertentu di lapangan administrasi Negara
?
Menjawab
pertanyaannya. Aku sedikit geli. Mosok tidak mempunyai kewenangan tapi
menggunakan putusan tertentu.
Kalau
memang tidak mempunyai kewenangan tapi mengeluarkan putusan tertentu, itu sih, bisa digugat tuh melalui mekanisme di
PTUN atau Judicial review ke MA.
Namun
sambil nyengir aku berkata “memang kurang
kerjaan. Kata anak muda sekarang menyebutkannya “Norak”.