29 Desember 2016

opini musri nauli : WEWENANG DAN HAK

Entah memang belum paham atau memang “pura-pura” tidak tahu, istilah wewenang dan hak sering bercampur istilah didalam mendudukkan persoalan.

Kalaupun di lapisan masyarakat umum, istilah ini sering bercampur-baur, saya berusaha mengerti ataupun mencoba memaklumi. Tapi kalaupun masih terjadi di lapisan penegak hukum, maka itu “kiamat kecil”. Keterlaluan.
Berdasarkan teori kewenangan (Theorie van Bevoeghied/begoegd theorie), secara umum, wewenang adalah “kekuasaan yang diberikan oleh hukum”. Baik secara tegas dinyatakan didalam konstitusi (baik penamaan maupun fungsi) maupun turunannya. Kekuasaan ini sering disebut “atribusi”.

Berdasarkan “kekuasaan dari hukum” yang tegas dicantumkan oleh konstitusi, maka “atribusi” kemudian mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada kekuasaan yang lain. Dalam praktek administrasi Negara sering disebut “delegasi”.

Sedangkan didalam operasional, maka “delegasi” dapat meminta dukungan dan mempercayakan pekerjaannya. Inilah yang biasa disebut dengan “mandate

Jadi teori kewenangan terdiri dari “atribusi”, “delegasi”, “mandate”. Atribusi dan delegasi bertindak sendiri dimuka hukum sehingga segala sesuatu perbuatannya kemudian harus dipertanggungjawabkan.

Mengikuti alur teori kewenangan (Theorie van Bevoeghied/begoegd theorie), maka didalam konstitusi, Presiden sebagai kepala Negara maupun kepala Pemerintahan mempunyai berbagai kewenangan.

Sebagai Kepala Negara maka fungsi Presiden adalah symbol ketatanegaraan yang menganut sistem pemerintahan Presidentiil (Pasal 1 ayat (1) UUD 1945). Dengan symbol inilah, maka fungsi sebagai Negara dapat dilihat seperti “mengangkat duta dan konsul”, “memberi grasi rehabilitasi, amnesti dan abolisi”, “memberi gelar, tanda jasa dan kehormatan”.

Sedangkan didalam fungsi sebagai Kepala Pemerintahan, maka Presiden membuat Peraturan pengganti UU (Perpu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden.

Didalam tugasnya, Presiden kemudian dibantu oleh Menteri negarai (Pasal 17 UUD 1945)

Untuk mengatur roda pemerintahan, maka Presiden kemudian “mendelegasikan” kekuasaannya kedalam Provinsi, Kabupaten/Kota (Pasal 18 UUD 1945).

Walaupun Provinsi dan daerah-daerah yang bersifat otonom (streek and local rechts gomenschappen) yang ditandai dengan (daerah otonom/administrative dan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) namun pembagian tugas pemerintahan dilakukan oleh Presiden.

Pendelegasian Presiden kepada Provinsi, Kabupaten/Kota karena Indonesia adalah Negara kesatuan (eenheidstaat) dan Provinsi, Kabupaten/Kota karena daerah bukanlah bersifat negara (staat) didalam Negara kesatuan. 

Dalam ranah politik sering disebut juga “desentralisasi” atau otonomi.

Penyerahan” tugas pemerintahan baik kepada Menteri maupun kepada Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota merupakan “delegasi” sehingga baik atribusi maupun delegasi kemudian dapat dipertanggungjawabkan dimuka hukum.

Masih ingat ketika Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang kemudian “tersangkut” kasus korupsi.

Entah memang “mengalihkan tanggungjawab” atau memang belum paham teori kewenangan (Theorie van Bevoeghied/begoegd theorie), ada upaya “tanggungjawab” kemudian hendak “dialihkan” kepada Gubernur Jakarta (Waktu itu Jokowi). Sehingga wacana itu sempat menguat dan “provokasi” meminta pertanggungjawaban dimuka hukum.

Tapi akhirnya hukum bicara. Sang Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta tetap harus mempertanggungjawabkan dimuka hukum.

Dalam praktek Pengadilan Tata Usaha Negara, terhadap pelanggaran kewenangan kemudian diidentifikasikan sebagai (a) melampaui wewenang (Detournement de pouvoir), (b) mencampuradukkan wewenang (c) bertindak sewenang-wenang (abuse de droit)

Sedangkan didalam ranah tindak korupsi ditandai dengan “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau saran yang melekat padanya … merugikan Negara atau perekonomian negara.

Sedangkan hak adalah segala sesuatu “secara kodrati” sebagai fitrah manusia memang harus mendapatkannya. Sebagian lagi menyebutkan “sesuatu yang kita terima setelah melaksanakan kewajiban”. Ada juga menyebutkan “fasilitas” yang dinikmati terhadap “prestasi” terhadap kewajiban. Kamus Bahasa Indonesia kemudian merumuskannya yaitu “sesuat hal yang benar, milik, kepunyaan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, kekuasaan yang benar atas sesuatu, menuntut sesuatu, derajat atau martabat.

Namun temanku iseng bertanya. Bagaimana terhadap pejabat yang tidak mempunyai wewenang namun mengeluarkan keputusan tertentu di lapangan administrasi Negara ?

Menjawab pertanyaannya. Aku sedikit geli. Mosok tidak mempunyai kewenangan tapi menggunakan putusan tertentu.

Kalau memang tidak mempunyai kewenangan tapi mengeluarkan putusan tertentu,  itu sih, bisa digugat tuh melalui mekanisme di PTUN atau Judicial review ke MA.

Namun sambil nyengir aku berkata “memang kurang kerjaan. Kata anak muda sekarang menyebutkannya “Norak”.