I. Teori Kewenangan dalam pengelolaan Lingkungan
Hidup
Berdasarkan
teori kewenangan (Theorie van Bevoeghied/begoegd
theorie), secara umum, wewenang adalah “kekuasaan
yang diberikan oleh hukum”. Baik secara tegas dinyatakan didalam konstitusi
(baik penamaan maupun fungsi) maupun
turunannya. Kekuasaan ini sering disebut “atribusi”.
Berdasarkan
“kekuasaan dari hukum” yang tegas
dicantumkan oleh konstitusi, maka “atribusi”
kemudian mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada kekuasaan yang lain. Dalam
praktek administrasi Negara sering disebut “delegasi”.
Sedangkan
didalam operasional, maka “delegasi”
dapat meminta dukungan dan mempercayakan pekerjaannya. Inilah yang biasa
disebut dengan “mandate”
Jadi
teori kewenangan terdiri dari “atribusi”,
“delegasi”, “mandate”. Atribusi dan
delegasi bertindak sendiri dimuka
hukum sehingga segala sesuatu perbuatannya kemudian harus
dipertanggungjawabkan.
Mengikuti
alur teori kewenangan (Theorie van
Bevoeghied/begoegd theorie), maka didalam konstitusi, Presiden sebagai
kepala Negara maupun kepala Pemerintahan mempunyai berbagai kewenangan.
Sebagai
Kepala Negara maka fungsi Presiden adalah symbol ketatanegaraan yang menganut
sistem pemerintahan Presidentiil[1]
Dengan symbol inilah, maka fungsi sebagai Negara dapat dilihat seperti “mengangkat duta dan konsul”, “memberi grasi
rehabilitasi, amnesti dan abolisi”, “memberi gelar, tanda jasa dan kehormatan”.
Sedangkan
didalam fungsi sebagai Kepala Pemerintahan, maka Presiden membuat Peraturan
pengganti UU (Perpu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan
Presiden dan Instruksi Presiden.
Didalam
tugasnya, Presiden kemudian dibantu oleh Menteri negarai (Pasal 17 UUD 1945)
“Penyerahan” tugas pemerintahan baik
kepada Menteri maupun kepada Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota merupakan “delegasi” sehingga baik atribusi maupun delegasi kemudian dapat dipertanggungjawabkan dimuka hukum.
Dalam
praktek Pengadilan Tata Usaha Negara, terhadap pelanggaran kewenangan kemudian
diidentifikasikan sebagai (a) melampaui wewenang (Detournement de pouvoir), (b) mencampuradukkan wewenang (c)
bertindak sewenang-wenang (abuse de droit)[2]
II.
UU Lingkungan Hidup Sebagai UU Payung
Dalam
kajian teoritik, UU Payung (umbrella act,
umbrella provision, raamwet, modewet) biasa juga disebut sebagai UU Pokok.
UU ini diharapkan menjadi sandaran atau batu uji sehingga dapat memayungi UU
yang berkaitan teknis daripada UU tersebut. Sehingga kemudian dikenal sebagai
UU Payung.
Istilah
UU payung menimbulkan perdebatan. Sebagian ahli menolak penerapan UU Payung.
Argumentasinya adalah UU hanyalah mengikat peraturan yang berkaitan didalam UU
itu sendiri. Sehingga tidak relevan menjadikan UU yang lain sebagai sandaran
atau dasar hukum untuk UU berkaitan itu sendiri.
Selain
itu juga, UU Payung dikenal didalam sistem hukum Negara Anglo saxon yang
mendasarkan kepada Yurisprudensi. Asas ini kemudian tidak sesuai didalam sistem
Eropa Kontinental.
Namun
sebagian ahli menyetujui dengan argumentasi dengan adanya UU Payung maka dapat
dibangun keserasian atau keselarasan berbagai peraturan perundang-undangan
sehinggga peraturan tidak menjadi kacau, saling bertentangan antara satu UU
dengan UU lain, jalan sendiri dan mengabaikan kepastian hukum kepada
masyarakat.
Selain
itu juga adanya UU payung memberikan arahan dan pedoman dari setiap persoalan
satu issu hukum.
Dalam
praktek perundang-undangan ataupun mekanisme putusan MK, Indonesia sudah
menerapkan berbagai peraturan dengan menempatkan kata “Pokok” sebagai pedoman
UU payung ataupun penegasan didalam pasal-pasal tertentu.
UU
No. 5 Tahun 1960 dikenal sebagai UU Pokok yang berkaitan dengan agraria.
Definisi “agraria” sudah jelas. Yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa.
Makna
ini jelas sebagai terjemahan langsung dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sehingga
tidak salah kemudian Mahfud didalam disertasinya menyebutkan UU No. 5 Tahun
1960 sebagai karya terbaik Indonesia (master piece Indonesia). Selain UU No. 5
Tahun 1960, Mahfud juga menempatkan UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UU Hukum
Acara Pidana.
Menilik
kalimat “berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa” kemudian menegaskan maka UU No. 5 Tahun 1960 yang menentukan
status terhadap “agraria”. Dengan
demikian, maka UU sektoral lainnya kemudian hanya berwenang untuk membicarakan
tentang “komoditi” seperti sector
pertambangan, perkebunan, air, kehutanan dan lainnya. UU sektoral sama sekali
tidak dibenarkan membicarakan tentang tanah.
Lihatlah
didalam uraian pasal-pasal tentang UU sektoral. Khan yang diatur tentang kayu
(didalam UU Kehutanan) misalnya. Lihat didalam Pasal 50 ayat (3). Yang diatur
Tentang dilarang “membuka hutan”,
dilarang tentang “menebang kayu”,
dilarang “membawa kayu”. Dengan
demikian, maka UU Kehutanan tidak dibenarkan membicarakan tentang status tanah
terhadap kepemilikan atau menentukan pencabutan status tanah milik atau
kelompok masyarakat. Pasal 67 UU Kehutanan kemudian menetapkan prasyarat
masyarakat hukum adat. Bahkan didalam
putusan MK sendiri telah menegaskan baik didalam Putusan MK No. 35 tahun 2013
maupun didalam putusan MK No. 45 Tahun 2013.
Begitu
juga UU Minerba, UU Perkebunan, UU Sumber daya air, UU Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
UU
No. 5 Tahun 1960 juga kemudian melahirkan UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Bea
Perolehan Hak atas tanah dan bangunan.
Meninggalkan UU No. 5 Tahun 1960 “sering
digunakan secara sesat” didalam menafsirkan UU No. 5 Tahun 1967 Tentang
Pokok-pokok Kehutanan dan UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok
Pertambangan. Kedua UU ini merupakan paket Soeharto di awal rezim pemerintahan.
Selain itu juga UU No. 14 tahun 1969 adalah UU Pokok Tentang Tenaga Kerja
yang kemudian dicabut dengan UU No. 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan. UU
No. 25 Tahun 1997 kemudian melahirkan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.
UU Pokok Kekuasaan Kehakiman juga sebagai
UU Pokok berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman. UU No. 14 Tahun 1970 kemudian
melahirkan UU UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, UU No. 5 Tahun 1986
yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 51 tahun 2009 Tentang Pengadilan Tata
Usaha Negara, UU No. 8 Tahun 1989 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 50
Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama dan UU No. 31 Tahun 1997 Pengadilan
Militer.
UU Kepegawaian No. 8 tahun 1974 yang
kemudian diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 menempatkan sebagai UU Pokok. UU
ini kemudian diganti dengan UU No. 5 Tahun 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil
Negara.
Begitu juga UU No. 5 Tahun 1974 yang
kemudian dikenal sebagai UU Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini kemudian diubah
berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004. UU ini kemudian
melahirkan UU No. 6 Tahun 2014.
Selain didalam UU ditegaskan sebagai UU
Pokok, UU didalamnya juga bertindak sebagai UU Payung atau UU Pokok. UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional kemudian melahirkan UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum
Pendidikan. Didalam pasal 8 huruf 13 UU 20 Tahun 2003 kemudian memberikan
amanat bentuk Badan Hukum Pendidikan dan melahirkan UU No. 9 Tahun 2009 Tentang
Badan Hukum Pendidikan.
Disisi
lain, Mahkamah Konstitusi juga menjadikan berbagai UU Pokok didalam
mempertimbangkan permohonan terhadap UU. Didalam memeriksa perkara No. 11 Tahun
2008 berkaitan dengan UU No. 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, UU No. 32 Tahun 2004 menjadikan batu uji untuk
memutuskan perkaranya. Sehingga UU No. 29 Tahun 2009 tetap mendasarkan kepada
UU No. 32 Tahun 2004.
Dengan
melihat berbagai kenyataan baik didalam peraturan perundang-undangan maupun
didalam putusan MK, maka UU Payung atau UU Pokok telah mendapatkan tempat.
Sehingga menjadi tidak relevan lagi mempersoalkan UU Payung atau UU Payung
dalam sistem hukum perundang-undangan.
Menilik
UU No. 32 Tahun 2009, maka Makna pasal 44 dan penjelasan umum angka (5) UU No.
32 Tahun 2009. UU Lingkungan Hidup kemudian mengamanatkan sebagai UU Payung
didalam perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga seluruh UU yang
berkaitan dengan sumber daya alam kemudian harus memperhatikan ketentuan
didalam UU No. 32 Tahun 2009. Makna ini kemudian dipertegas dengan menggunakan
istilah “Ketentuan Lingkungan Hidup
strategis” didalam UU No. 32 Tahun 2009.
UU
Payung atau UU Pokok tidak tepat disandingkan dengan asas “lex specialis derogate lex generalis”. UU
Payung merupakan UU yang mengatur dengan issu hukum tertentu. Sehingga
penerapan asas ini menjadi tidak relevan.
Selain
itu juga dengan mendasarkan kepada UU Payung atau UU Pokok, maka sinkronisasi
maupun keselarasan antara satu UU dengan UU lain menjadi baik. Sehingga dapat
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat di Indonesia.
III.
Rezim Izin Lingkungan
Di
lapangan hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, makna ini dapat dilihat sebagai
turunan pasal 28 H Konstitusi yang kemudian diturunkan didalam makna filosofi
yang ditandai dengan kalimat seperti “Bahwa
lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara
Indonesia”.
Secara harfiah, izin didalam
kamus Bahasa Indonesia adalah “pernyataan
mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya), persetujuan membolehkan.
Dalam rezim “izin”, makna izin haruslah diletakkan
pada konteks simantik. Izin (vergunningen)
dimaknai sebagai “dispensasi”, “lisensi”,
“konsesi”. Menggunakan kata “vergunningen”
adalah “dispensasi dari suatu larangan”.
Dalam literature disebutkan
sebagai “perbuatan hukum administrasi
Negara bersegi satu”. Bahkan Bagir Manan menyebutkan “suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan
perundang-undangan untuk membolehkan melakukan suatu tindakan atau perbuatan
tertentu yang selama ini dilarang.
Sehingga simantik “vergunningen” dari pendekatan Bagir
Manan maka perbuatan “sebelumnya”
tidak boleh (dilarang) menjadi “pembolehan”.
Dalam konteks UU No. 32 Tahun
2009 sebagai UU Payung (umbrella
act/umbrella provision/raamwet/modewet), Izin lingkungan kemudian diberikan
makna untuk “mencegah bahaya bagi
lingkungan”. Dalam pasal 1 angka
(35) UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UU Lingkungan Hidup) kemudian dipertegas didalam pasal 1 angka (1) PP No. 27
Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan disebutkan “izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada
setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau
UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai
prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Sehingga setiap usaha/kegiatan yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal (Pasal 22, Pasal 36 ayat (1) UU
Lingkungan Hidup dan pasal 2 ayat (1), pasal 3 ayat (1) PP No. 27 Tahun 2012).
Dengan dokumen amdal maka
kemudian ditetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup (Pasal 24 UU Lingkungan Hidup). Izin lingkungan merupakan
persyaratan untuk memperoleh izin usaha/kegiatan (pasal 40 UU Lingkungan
Hidup).
Izin lingkungan dapat
dibatalkan oleh Menteri/Gubenur/Bupati/Walikota (pasal 37 ayat 2 UU Lingkungan Hidup). Bahkan PTUN dapat membatalkan
izin lingkungan hidup (Pasal 38 UU
Lingkungan Hidup). Sehingga dengan dibatalkan izin lingkungan, maka izin
usaha/kegiatan dibatalkan (Pasal 40 ayat
(2) UU Lingkungan Hidup).
Izin lingkungan juga digunakan
selain “mencegah bahaya bagi lingkungan”
maka harus sesuai dengan Ketentuan Lingkungan Hidup Strategis (KLHS sebagaimana diatur didalam pasal 15 UU
LIngkungan Hidup) selain juga memperhatikan “daya dukung dan daya tampung (Pasal 8 UU Lingkungan Hidup).
Dengan kata lain, maka UU
Lingkungan Hidup telah memberikan garis tegas (guideline) terhadap “setiap orang yang melakukan usaha/kegiatan
(Pasal 1 angka 35 UU Lingkungan dan Pasal 1 angka (1) PP No. 27 Tahun 2012)
dengan “memperhatikan daya dukung dan daya tampung (Pasal 8 UU Lingkungan Hidup) dan KLHS (Pasal 15 UU Lingkungan Hidu).
Dengan demikian pemberian izin
lingkungan tanpa prosedur yang sah seperti tanpa amdal (pasal 22, Pasal 36 ayat (1) UU Lingkungan Hidup dan pasal 2 ayat (1),
pasal 3 ayat (1) PP No. 27 Tahun 2012) maka
dapat dikategorikan melakukan kejahatan (Pasal
111 UU Lingkungan Hidup).
Dalam rezim “izin”, makna izin haruslah diletakkan
pada konteks simantik. Izin (vergunningen)
dimaknai sebagai “dispensasi”, “lisensi”,
“konsesi”. Menggunakan kata “vergunningen”
adalah “dispensasi dari suatu larangan”.
Menggunakan simantik (vergunningen),
maka izin lingkungan adalah satu kesatuan utuh (mutatis Mutandis)
Dalam berbagai fakta-fakta
yang akan terangkan berdasarkan berbagai kasus di daerah maka dapat merupakan
upaya “penyeludupan hukum (Wetsontduiking)”
Sebuah upaya “Penyeludupan hukum” (Wetsontduiking) yang justru menghindarkan
hukum nasional diterapkan dalam persoalan Rembang.
Atau dengan kata lain “penyeludupan hukum (Wetsontduiking)” bertentangan
dengan izin lingkungan sebagaimana diatur didalam “rambu-rambu” UU Lingkungan
Hidup dan PP No. 27 Tahun 2012.