Membaca
dialektika tentang berbagai isu Lingkungan Hidup, saya kemudian bertanya.
Siapakah “pemilik pengetahuan Lingkungan Hidup ?”. Kampus yang melahirkan
berbagai teoritis atau analisis yang rumit. Atau pemegang kekuasaan yang
menggunakan kampus sebagai pemilik pengetahuan. Atau rakyat yang merasakan
setiap denyut alam dan perubahan.
Pertanyaan
itu kemudian berkejaran disaat bersamaan Negara yang memulai berbagai proyek
industry untuk menjadi “penyuplai” kebutuhan bahan mentah dunia.
Entah
dimulai dari penamanan merica di pantai timur sumatera pada abad XVII-XVIII
atau “penanaman pala dan cengkeh” untuk Indonesia Timur. Atau Lada yang
ditanami di sepanjang pantai barat Sumatra.
Jalur
rempah-rempah yang menjadi “madu” untuk memanggil “semut” dunia untuk
mengelilinginya. Atau damar, rotan, gaharu, cendana, lilin untuk menjadi
“budak” menghidupi dunia.
Indonesia
tidak mau berkaca dan terus mengulangi kesalahan terus menerus.
Memasuki
paruh kedua abad XXI, karet, kopi, teh kemudian dijadikan “sasaran” Pemerintah
colonial Belanda untuk mengisi pundi-pundinya. Negara Belanda yang “luasnya
seupil Eropa ” menjadi kaya dan mulai mengendalikan Eropa. Berbanding terbalik
dengan derita yang hendak ditanggung Negara “inlander”.
Belum
usai cerita rakyat tentang derita yang mesti ditanggung untuk menjadi
“penyuplai” pasar dunia, memasuki rezim Soeharto, kayu gelondongan dan sawit
kemudian “dipecut” berkejaran menjadi Negara “dermawan” mengisi pasar-pasar
dunia. Berambisi untuk mengalahkan Negara Asia sebagai “produsen” dunia.
Semua
derita itu diwariskan turun temurun. Dari generasi ke generasi. Derita rakyat
belum juga berkesudahan.
Derita
itu tidak saja meminggirkan rakyat dari tanahnya. Justru meminggirkan rakyat
dari peradabannya.
Rakyat
kemudian memasuki “lorong gelap” yang tidak tahu kapan lagi harus melihat
cahaya.
Di
Serampas, 200 tahun yang lalu masyarakat masih mengenal 240 model pengobatan.
Sekarang untuk menghitung 40 jenis pengobatanpun susah.
Di
Kumpeh sudah lama masyarakat tidak lagi mengenal padi benih local. Sedangkan
Sungai Kumpeh yang bertaburan nama-nama jenis ikan local tinggal sejarah.
Petani
kemudian membeli air gallon, membeli beras bahkan juga harus membeli ikan.
Sebuah kutukan yang tidak pernah dibayangkan generasi sebelumnya.
Sementara
ketika harga karet dan sawit jatuh terjerembab, “telinga” penguasa
“seakan-akan” tuli dan abai dengan kenyataan. Padahal karet dan sawit menjadi
“promosi” andalan setiap pemimpin yang berkuasa di Jambi.
Lalu
apakah kemudian kita menerima “takdir” dan menyerahkan kepada alam. Mengapa
kemudian kita tidak membuka kitab-kitab lama yang diberikan para leluhur yang
menjaga alam.
Bukankah
“ajaran” setiap leluhur menempatkan “alam” dengan cara menghormati.
Setiap
prosesi selalu dimulai dengna permohonan kepada Sang Pencipta agar alam selalu
menjaganya. Dimana setiap prosesi yang diajarkan leluhur dan kemudian “lebih
tertarik” untuk bercerita tentang “alam” yang cuma dihitung dari “hitung-hitungan”
ekonomi ?
Dimana
ajaran leluhur yang telah diwariskan.
Alam
selalu “memberikan” apa yang dibutuhkan manusia. Alam selalu ramah dan
menempatkan manusia untuk mengaturnya. Namun alam tidak akan pernah memberikan
tanda apabila murka. Alam selalu memberikan “bencana” disaat manusia tidak lagi
mau merawatnya.
Apakah
itu akan kita wariskan kepada generasi kita. Apakah kita mau meninggalkan
cerita tentang kerbau yang cuma bisa kita gambarkan kepada dinding di rumah
yang berposelen indah. Apakah kita bisa bercerita tentang bentuk durian sembari
meninabobokan menjelang tidur. Atau kita memutar VCD bajakan untuk mendengarkan
suara burung.
Banjir
yang melanda tiga bulan terakhir di Jambi baru “alarm” kepada kita.
Alam
baru memberikan isyarat. Alam belum memberikan murka.
Sudah
saatnya fungsi alam dikembalikan. Air yang mengalir jernih melewati kampong untuk
anak bermain di sore hari. Atau burung yang berkicau di pagi membangunkan tidur
dari lelap mimpi.
Mari
kita tinggalkan cerita indah kepada generasi. Agar mereka tidak menyesal karena
kita meninggalkan mimpi.
Mari
kita Tanya kepada alam tentang pengetahuan yang luput kita gali. Mari kita
susun rencana dan bekerja kepada alam. Marilah kita bertanya kepada alam. Agar
alam selalu memberikan pengetahuan. Dan kita kemudian “diwajikan” menjaga
pengetahuan.
Sembari
membangun mimpi, marilah kembali kepada alam. Marilah kita “bertaubat” kepada
alam. Marilah kita ajak alam untuk bernyanyi. Agar alam kembali menjalankan
fungsinya. Memberikan apapun yang kita butuhkan.
Refleksi
Rapat Kerja Daerah Walhi Jambi 2016 – 2021.
Baca : 4 Tahun Belajar Lingkungan