20 Juli 2017

opini musri nauli : ORGANISASI DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA

Akhirnya Pemerintah menggunakan Peraturan Pengganti UU No 2 Tahun 2017 (Perpu) untuk mencabut status Hukum Hizbur Tahrir Indonesia (HTI). Melalui Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM mengumumkannya.

Perpu kemudian “menganulir” proses hukum terhadap ormas sebagaimana diatur didalam UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (( UU Ormas).  UU Ormas mendesak untuk segera dilakukan perubahan karena belum mengatur komprehensif sehingga terjadi kekosongan hukum didalam hal penerapan sanksi yang efektif.

Disaat Konferensi Pers Live yang ditayangkan televisi beberapa waktu yang lalu, Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham menyebutkan “status hukum” HTI yang dicabut. Proses ini merupakan proses administrasi setelah tahun 2014, HTI mendapatkan pengesahan ke Kementerian Hukum dan HAM. Dengan demikian maka “status Hukum” yang terdaftar di Kemenkumham yang dinyatakan “dicabut’.

Polemik sudah pasti muncul. Sebagian kalangan “mempersoalkan” hak kebebasan berserikat, berorganisasi yang kemudian diberangus. Sebagian menyetujui dengna melihat ideology, kegiatan yang dilakukan HTI yang bertentangan dengan ideology Negara, kegiatan dapat menghancurkan tatanan social dan tidka mendukung kegiatan kenegaraan di Indonesia. Mengenai polemic ini saya tidak akan mendiskusiannya. Tentu saja ada forum terbatas dapat menjawab polemic ini.

Namun tema kali ini adalah pandangan Negara didalam melihat organisasi yang dianggap bertentangan dengan Negara.

Masih ingat Di masa Soekarno, ketika Partai Masyumi dibubarkan dengan Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960 dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan dengan Keputusan Presiden No. 201 tahun 1960. Soekarno mendasarkan kepada Peraturan Presiden No. 7 Tahun 1959

Terlepas dari perdebatan sejarah, Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia “dianggap Soekarno” merongrong kewibawaan Pemerintahan Soekarno. Belum lagi tuduhan tokoh-tokoh Masyumi yang dianggap terlibat berbagai pemberontakan PRRI-Permesta.

Soekarno juga menolak pengakuan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Rakyat Nasional (PRN), Rakyat Indonesia (PRI), dan Partai Rakyat Nasional (PRN) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 129 tahun 1961.

Setelah pemberontakan G-30 S/PKI, Soeharto kemudian membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966. Keppres ini mendasarkan kepada Surat Perintah 11 Maret 1966.

Pembubaran PKI kemudian dikukuhkan berdasarkan TAP MPRS/XXV/MPRS/1966.

Apabila Mekanisme pembubaran partai politik tidak disediakan “ruang keberatan(perlawanan)”, maka didalam masa reformasi, Mahkamah Konstitusi adalah ruang yang disiapkan.

Pembubaran Partai Politik berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi telah mendapatkan tempat sebagaimana diatur didalam Pasal 24 C UUD 1945. Dan berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003, maka MK kemudian mempunyai kewenangan untuk menentukan pembubaran partai politik. Mekanisme yang tidak dikenal baik didalam masa Soekarno maupun Pemerintahan Soeharto.

Menyimak pandangan Negara didalam melihat organisasi, maka terhadap keberatan status hukum HTI dapat menempuh mekanisme hukum. Baik “mempersoalkan” Perpu No. 2 Tahun 2017 di Mahkamah Konstitusi maupun pencabutan status hukum oleh Kemenhumkam di PTUN Jakarta.  

Sehingga terhadap Partai Masyumi, PSI, PKI tidak ada ruang untuk melakukan perlawanan. Dengan demikian maka secara hukum, Partai Masyumi, PSI dan PKI tetap dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Partai Masyumi, PSI dan PKI tidak dapat lagi menjalankan kegiatan keorganisasian apapun hingga sekarang.

Sedangkan mekanisme didalam Perpu membuka ruang untuk “mempersoalkannya” secara hukum. Baik di MK maupun PTUN. Sehingga status hukum HTI masih menunggu proses hukum yang bergulir.