Akhirnya
Pemerintah menggunakan Peraturan Pengganti UU No 2 Tahun 2017 (Perpu) untuk
mencabut status Hukum Hizbur Tahrir Indonesia (HTI). Melalui Dirjen
Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM mengumumkannya.
Perpu
kemudian “menganulir” proses hukum terhadap ormas sebagaimana diatur didalam UU
No. 17 Tahun 2003 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (( UU Ormas). UU Ormas mendesak untuk segera dilakukan
perubahan karena belum mengatur komprehensif sehingga terjadi kekosongan hukum
didalam hal penerapan sanksi yang efektif.
Disaat
Konferensi Pers Live yang ditayangkan televisi beberapa waktu yang lalu, Dirjen
Administrasi Hukum Umum Kemenkumham menyebutkan “status hukum” HTI yang dicabut. Proses ini merupakan proses
administrasi setelah tahun 2014, HTI mendapatkan pengesahan ke Kementerian
Hukum dan HAM. Dengan demikian maka “status Hukum” yang terdaftar di
Kemenkumham yang dinyatakan “dicabut’.
Polemik
sudah pasti muncul. Sebagian kalangan “mempersoalkan” hak kebebasan berserikat,
berorganisasi yang kemudian diberangus. Sebagian menyetujui dengna melihat
ideology, kegiatan yang dilakukan HTI yang bertentangan dengan ideology Negara,
kegiatan dapat menghancurkan tatanan social dan tidka mendukung kegiatan
kenegaraan di Indonesia. Mengenai polemic ini saya tidak akan mendiskusiannya.
Tentu saja ada forum terbatas dapat menjawab polemic ini.
Namun
tema kali ini adalah pandangan Negara didalam melihat organisasi yang dianggap
bertentangan dengan Negara.
Masih
ingat Di masa Soekarno, ketika Partai
Masyumi dibubarkan dengan Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960 dan Partai
Sosialis Indonesia dibubarkan dengan Keputusan Presiden No. 201 tahun 1960. Soekarno
mendasarkan kepada Peraturan Presiden No. 7 Tahun 1959
Terlepas dari perdebatan
sejarah, Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia “dianggap Soekarno”
merongrong kewibawaan Pemerintahan Soekarno. Belum lagi tuduhan tokoh-tokoh
Masyumi yang dianggap terlibat berbagai pemberontakan PRRI-Permesta.
Soekarno juga menolak
pengakuan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Rakyat Nasional (PRN),
Rakyat Indonesia (PRI), dan Partai Rakyat Nasional (PRN) berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 129 tahun 1961.
Setelah pemberontakan G-30
S/PKI, Soeharto kemudian membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966. Keppres ini mendasarkan kepada Surat
Perintah 11 Maret 1966.
Pembubaran PKI kemudian
dikukuhkan berdasarkan TAP MPRS/XXV/MPRS/1966.
Apabila Mekanisme pembubaran
partai politik tidak disediakan “ruang keberatan(perlawanan)”, maka didalam
masa reformasi, Mahkamah Konstitusi adalah ruang yang disiapkan.
Pembubaran Partai Politik
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi telah mendapatkan tempat sebagaimana
diatur didalam Pasal 24 C UUD 1945. Dan berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003, maka
MK kemudian mempunyai kewenangan untuk menentukan pembubaran partai politik.
Mekanisme yang tidak dikenal baik didalam masa Soekarno maupun Pemerintahan
Soeharto.
Menyimak pandangan Negara
didalam melihat organisasi, maka terhadap keberatan status hukum HTI dapat
menempuh mekanisme hukum. Baik “mempersoalkan” Perpu No. 2 Tahun 2017 di
Mahkamah Konstitusi maupun pencabutan status hukum oleh Kemenhumkam di PTUN
Jakarta.
Sehingga terhadap Partai
Masyumi, PSI, PKI tidak ada ruang untuk melakukan perlawanan. Dengan demikian
maka secara hukum, Partai Masyumi, PSI dan PKI tetap dinyatakan sebagai
organisasi terlarang. Partai Masyumi, PSI dan PKI tidak dapat lagi menjalankan
kegiatan keorganisasian apapun hingga sekarang.
Sedangkan mekanisme didalam
Perpu membuka ruang untuk “mempersoalkannya” secara hukum. Baik di MK maupun
PTUN. Sehingga status hukum HTI masih menunggu proses hukum yang bergulir.