22 Juli 2017

opini musri nauli : PERAN NGO DALAM AGENDA POLITIK RAKYAT (CIVIL EDUCATION)




PERAN NGO DALAM AGENDA POLITIK RAKYAT (CIVIL EDUCATION)[1]
M. Musri Nauli[2]


Istilah NGO (non Government organization) dikenal sebagai padanan Non state didalam pergaulan internasional di PBB. Sebagaimana kita ketahui, didalam pergaulan internasional dikenal “state” dan “non state’. State merujuk “Negara” sebagai anggota PBB. Dan “non state” adalah padanan diluar “state” sebagai anggota PBB. Non state kemudian merujuk seperti Unicef, ILO, WWF, Unisco, UNHCR dan sebagainya.

Dalam praktek pergaulan internasional, NGO mendapatkan posisi yang sama didalam merumuskan Resolusi PBB terhadap tema-tema tertentu.

Di Indonesia, makna ini kemudian merujuk kepada lembaga-lembaga diluar Negara (state). Namun makna “non government organization” lebih terkesan sebagai “non Negara (non state)”, sehingga Pemerintahan Soeharto kemudian berkeberatan. Sehingga NGO kemudian diterjemahkan sebagai “Lembaga Swadaya Masyarakat’.

Istilah LSM kemudian tidak tepat dengan merujuk kepada NGO. Soeharto kemudian memasukkan lembaga-lembaga luar Negara sebagai padanan kata “lembaga bukan negara’. Sehingga dalam prakteknya kemudian merujuk kepada Kelompok-kelompok, organisasi masyarakat didalam kategori LSM.

Soeharto kemudian “memasukkan” LSM didalam kategori UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Keormasan.

Didalam perkembangan, pilihan mendirikan NGO dapat ditandai sebagai bentuk “proteksi” dari rezim otoriter Soeharto[3]. Menurut Arbi Sanit, pilihan mendirikan NGO selain “menghindarkan” dari tarik menarik politik yang menjemukan dan berpihak kepada kekuasaan, Gerakan perlawanan terhadap sistem politik yang tidak memihak merupakan kegiatan mengorganisir organisasi kemasyarakatan dengan ciri-ciri yaitu organiasi diluar organisasi pemerintahan, tidak bermotif keuntungan didalam kegiatannya, lebih melibatkan anggota didalam kegiatannya, keanggotaannya yang bersifat massal, melakukan kegiatan politis disamping perjuangan teknis keorganisasian, ideologi kerakyatan.

Pemerintah kemudian berdasarkan Instruksi Menteri Dalam negeri Nomor 8 Tahun 1990 Tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat memberikan defisini Lembaga Swadaya masyarakat adalah “Yang dimaksud dengan Lembaga Swadaya Masyarakat adalah organisasi/ lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta bergerak dibidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/ lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitik beratkan kepada pengabdian secara swadaya”[4].

UU No. 4 Tahun 1982 juga memperkuat sehingga LSM kemudian diakui sebagai badan hukum di Indonesia.

Sebagai badan hukum, maka LSM di Indonesia menggunakan berbagai format. Seperti Yayasan dan Perkumpulan. Badan Hukum berbentuk yayasan kemudian diatur didalam UU No. 28 Tahun 2004 junto UU No. 16 Tahun 2001.

Sejarah NGO di Indonesia mengalami berbagai tantangan. Pada masa awal Pemerintahan Soeharto, NGO lebih banyak menggunakan strategi untuk pemberdayaan masyarakat. Maka Lahir YLBHI, PKBI, Walhi, Bina Desa dan Skephi. Pada masa ini, perjuangan lebih dititikberatkan kepada membangun kesadaran masyarakat tentang akibat pembangunan yang berorientasi kepada pembangunan fisik.

Maka perlawanan seperti “Kedung Ombo”, salah satu bentuk membangunan masyarakat terhadap proyek “penengggalaman wilayah” untuk pembangunan Waduk Kedungombo”.

Memasuki paruh waktu menjelang kejatuhan Soeharto, berdiri organisasi yang bertugas untuk “memperkuat” hak-hak Sipol seperti ICW, Kontras. Fungsi organisasi ini selain memperkuat hak-hak Sipol juga membangun pendidikan politik (civil education).

Hingga kini menurut data dari Kementerian Hukum dan HAM, sudah berdiri 523.887 yang mendapatkan status badan hukum.

Peran NGO dalam Negara Demokratis

Fungsi NGO dalam kiprah Negara yang demokratis tidak dapat diabaikan. Pendidikan kewarganegaraan, hukum kritis, sebagai koreksi terhadap kebijakan, fungsi kesadaran, pemberdayaan masyarakat adalah sebagian kecil dari peran-peran yang telah dilakukan oleh NGO.

Dalam issu Lingkungan Hidup, fungsi ini kemudian diberikan kepada organisasi lingkungan hidup sebagai pihak dalam sengketa lingkungan. Legal standing telah diakui didalam praktek hukum dan telah dimuat didalam UU No. 4 Tahun 1982, UU No. 23 Tahun 1997 dan UU No. 32 Tahun 2009. Organisasi lingkungan hidup telah mempunyai posisi (legal standing) sebagai pihak untuk “mempersoalkan lingkungan hidup.

Begitu juga UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 tahun 2001 yang memberikan “legal standing” kepada organisasi anti korupsi sebagai pihak mengajukan keberatan dan dapat bertindak menjadi pihak didalam praperadilan.

Disisi lain, sudah jamak dalam praktek peradilan, YLBHI menjadi pihak mempersoalkan kebijakan Negara melalui mekanisme Citiven Laws Suite. Belum lagi didalam berbagai putusan MK yang memberikan ruang kepada organisasi masyarakat sipil menjadi pihak dalam mempersoalkan konstitusional dalam peraturan perundang-undangan.

Selain itu juga, NGO juga berperan membangun kesadaran kritis bernegara (civil education), menjadi “katup pengaman” dalam konflik-konflik social, menjadi mitra strategis didalam resolusi konflik, Belum lagi tugas-tugas pemberdayaan yang berserakan di lapangan yang tidak mungkin lagi dihitung didalam perannya.

Untuk memudahkan mengklasifikasikan NGO-NGO yang menjalankan fungsinya maka dapat dilihat ciri-ciri yang terdapat didalam NGO.
  1. NGO tidak menjadi bagian dari partai politik, Pemerintah, Perusahaan ataupun onderbouw dari ormas.
  2. Mengutamakan sikap kolektifitas didalam pengambilan keputusan.
  3. Membangun kesadaran keswadayaan dan kerelawanan didalam pekerjaan.
  4. Berbentuk Yayasan atau perkumpulan.
  5. Mendapatkan pendanaan yang dapat dipertanggungjawabkan
  6. Melaporkan kegiatan-kegiatan secara berkala kepada public.
  7. Menggunakan pendanaan yang dapat diakses public






[1] Disampaikan pada “Optimalisasi Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Dalam Memperkuat Pemberdayaan Masyarakat Sipil, Jambi, 22 Juli 2017
[2] Advokat, Tinggal di Jambi
[3] Arbi Sanit, Swadaya Politik Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985. Hal. 35.
[4] Instruksi Menteri Dalam negeri Nomor 8 Tahun 1990 Tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat