PERAN NGO DALAM AGENDA POLITIK RAKYAT (CIVIL EDUCATION)[1]
M. Musri Nauli[2]
Istilah
NGO (non Government organization) dikenal sebagai padanan Non state didalam
pergaulan internasional di PBB. Sebagaimana kita ketahui, didalam pergaulan
internasional dikenal “state” dan “non state’. State merujuk “Negara” sebagai
anggota PBB. Dan “non state” adalah padanan diluar “state” sebagai anggota PBB.
Non state kemudian merujuk seperti Unicef, ILO, WWF, Unisco, UNHCR dan
sebagainya.
Dalam
praktek pergaulan internasional, NGO mendapatkan posisi yang sama didalam
merumuskan Resolusi PBB terhadap tema-tema tertentu.
Di
Indonesia, makna ini kemudian merujuk kepada lembaga-lembaga diluar Negara
(state). Namun makna “non government organization” lebih terkesan sebagai “non
Negara (non state)”, sehingga Pemerintahan Soeharto kemudian berkeberatan. Sehingga
NGO kemudian diterjemahkan sebagai “Lembaga Swadaya Masyarakat’.
Istilah
LSM kemudian tidak tepat dengan merujuk kepada NGO. Soeharto kemudian
memasukkan lembaga-lembaga luar Negara sebagai padanan kata “lembaga bukan
negara’. Sehingga dalam prakteknya kemudian merujuk kepada Kelompok-kelompok,
organisasi masyarakat didalam kategori LSM.
Soeharto
kemudian “memasukkan” LSM didalam kategori UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Keormasan.
Didalam
perkembangan, pilihan mendirikan NGO dapat ditandai sebagai bentuk “proteksi”
dari rezim otoriter Soeharto[3].
Menurut Arbi Sanit, pilihan mendirikan NGO selain “menghindarkan” dari tarik
menarik politik yang menjemukan dan berpihak kepada kekuasaan, Gerakan
perlawanan terhadap sistem politik yang tidak memihak merupakan kegiatan
mengorganisir organisasi kemasyarakatan dengan ciri-ciri yaitu organiasi diluar
organisasi pemerintahan, tidak bermotif keuntungan didalam kegiatannya, lebih
melibatkan anggota didalam kegiatannya, keanggotaannya yang bersifat massal,
melakukan kegiatan politis disamping perjuangan teknis keorganisasian, ideologi
kerakyatan.
Pemerintah
kemudian berdasarkan Instruksi Menteri Dalam negeri Nomor 8 Tahun 1990 Tentang Pembinaan
Lembaga Swadaya Masyarakat memberikan defisini Lembaga Swadaya masyarakat
adalah “Yang dimaksud
dengan Lembaga Swadaya Masyarakat adalah organisasi/ lembaga yang dibentuk oleh
anggota masyarakat Warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas
kehendak sendiri dan berminat serta bergerak dibidang kegiatan tertentu yang
ditetapkan oleh organisasi/ lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam
upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitik
beratkan kepada pengabdian secara swadaya”[4].
UU
No. 4 Tahun 1982 juga memperkuat sehingga LSM kemudian diakui sebagai badan
hukum di Indonesia.
Sebagai
badan hukum, maka LSM di Indonesia menggunakan berbagai format. Seperti Yayasan
dan Perkumpulan. Badan Hukum berbentuk yayasan kemudian diatur didalam UU No.
28 Tahun 2004 junto UU No. 16 Tahun 2001.
Sejarah
NGO di Indonesia mengalami berbagai tantangan. Pada masa awal Pemerintahan
Soeharto, NGO lebih banyak menggunakan strategi untuk pemberdayaan masyarakat.
Maka Lahir YLBHI, PKBI, Walhi, Bina Desa dan Skephi. Pada masa ini, perjuangan
lebih dititikberatkan kepada membangun kesadaran masyarakat tentang akibat
pembangunan yang berorientasi kepada pembangunan fisik.
Maka
perlawanan seperti “Kedung Ombo”, salah satu bentuk membangunan masyarakat
terhadap proyek “penengggalaman wilayah” untuk pembangunan Waduk Kedungombo”.
Memasuki
paruh waktu menjelang kejatuhan Soeharto, berdiri organisasi yang bertugas
untuk “memperkuat” hak-hak Sipol seperti ICW, Kontras. Fungsi organisasi ini
selain memperkuat hak-hak Sipol juga membangun pendidikan politik (civil
education).
Hingga
kini menurut data dari Kementerian Hukum dan HAM, sudah berdiri 523.887 yang
mendapatkan status badan hukum.
Peran NGO dalam Negara Demokratis
Fungsi
NGO dalam kiprah Negara yang demokratis tidak dapat diabaikan. Pendidikan
kewarganegaraan, hukum kritis, sebagai koreksi terhadap kebijakan, fungsi
kesadaran, pemberdayaan masyarakat adalah sebagian kecil dari peran-peran yang
telah dilakukan oleh NGO.
Dalam
issu Lingkungan Hidup, fungsi ini kemudian diberikan kepada organisasi
lingkungan hidup sebagai pihak dalam sengketa lingkungan. Legal standing telah
diakui didalam praktek hukum dan telah dimuat didalam UU No. 4 Tahun 1982, UU
No. 23 Tahun 1997 dan UU No. 32 Tahun 2009. Organisasi lingkungan hidup telah
mempunyai posisi (legal standing) sebagai pihak untuk “mempersoalkan lingkungan
hidup.
Begitu
juga UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 tahun 2001 yang memberikan “legal
standing” kepada organisasi anti korupsi sebagai pihak mengajukan keberatan dan
dapat bertindak menjadi pihak didalam praperadilan.
Disisi
lain, sudah jamak dalam praktek peradilan, YLBHI menjadi pihak mempersoalkan
kebijakan Negara melalui mekanisme Citiven Laws Suite. Belum lagi didalam
berbagai putusan MK yang memberikan ruang kepada organisasi masyarakat sipil
menjadi pihak dalam mempersoalkan konstitusional dalam peraturan
perundang-undangan.
Selain
itu juga, NGO juga berperan membangun kesadaran kritis bernegara (civil
education), menjadi “katup pengaman” dalam konflik-konflik social, menjadi
mitra strategis didalam resolusi konflik, Belum lagi tugas-tugas pemberdayaan
yang berserakan di lapangan yang tidak mungkin lagi dihitung didalam perannya.
Untuk
memudahkan mengklasifikasikan NGO-NGO yang menjalankan fungsinya maka dapat
dilihat ciri-ciri yang terdapat didalam NGO.
- NGO tidak menjadi bagian dari partai politik, Pemerintah, Perusahaan ataupun onderbouw dari ormas.
- Mengutamakan sikap kolektifitas didalam pengambilan keputusan.
- Membangun kesadaran keswadayaan dan kerelawanan didalam pekerjaan.
- Berbentuk Yayasan atau perkumpulan.
- Mendapatkan pendanaan yang dapat dipertanggungjawabkan
- Melaporkan kegiatan-kegiatan secara berkala kepada public.
- Menggunakan pendanaan yang dapat diakses public
[1]
Disampaikan pada “Optimalisasi
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Dalam Memperkuat Pemberdayaan Masyarakat
Sipil, Jambi, 22 Juli 2017
[2]
Advokat, Tinggal di Jambi
[3] Arbi Sanit, Swadaya Politik
Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985. Hal. 35.
[4] Instruksi Menteri Dalam negeri Nomor 8 Tahun 1990
Tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat