06 September 2017

opini musri nauli : PUTRAKU



Dalam suatu kesempatan, aku membawa putra keduaku keluar kota menemani pemeriksaan di kantor Kepolisian. Dengan gesit dan semangat, dia mengiyakan sembari bertanya “apa saja tugasnya, yah ?. Ya. “Kamu cukup bawa map ayah”. Kataku sembari memberikan map dan berkas yang cukup ringan.

Sembari menunggu penyidik yang sedang rapat, kami menunggu di warung didepan Polres. Kamipun berdiskusi berbagai tema dan termasuk keadaan lapangan terkini (up to date). Aku perhatikan, putraku cukup tekun mendengarkan pembicaraan sembari bertanya untuk menggali pertanyaan.

Setelah selesai pemeriksaan, kamipun pulang ke Jambi. Sepanjang perjalanan akupun berkesempatan untuk mendengarkan pandangan dia tentang kasusnya dan pandangan terhadap pembicaraan. Diskusipun mengalir sembari mengisi sela-sela perjalanan. Musikpun tidak kuhidupkan.

Setelah satu jam perjalanan, aku berkeinginan untuk istirahat sebentar di SPBU di Desa Rengas.

Tidak sengaja kemudian saya bertemu Tokoh Partai yang kukenal sejak zaman Reformasi. Rencana istirahat sebentar kemudian tidak sadar memakan waktu 3 jam lebih. Kami berdiskusi dari suasana Pemilihan Legislatif, Pilpres, Pilkada Gubernur dan Pilkada Kabupaten. Aku perhatikan putraku cukup tekun mendengarkan kami berdiskusi.

Secara sekilas, aku mengamati sepak terjangnya di ranah politik praktis. Dengan ketekunan hingga belasan tahun membuat aku memahami makna dunia politik.

Ketekunan berpolitik adalah kata kunci memasuki gelanggang politik. Bahkan dengan angka-angka yang hapal diluar kepala, sang tokoh mampu menguraikan dinamika politik local hingga menghubungkan dinamika politik di Desa dengan runut. Saya kemudian kagum terhadap penguasaan detail wilayah yang menjadi tanggungjawabnya.

Tidak sadar kemudian kami berdiskusi cukup lama. Akhirnya kami menyepakati mengakhiri diskusi dan melanjutkan perjalanan konvoi pulang ke Jambi.

Lagi-lagi aku meminta pandangan putraku tentang diskusi terakhir dengan tokoh partai.

Akupun kaget pernyataan pertamanya. “Kok lain yang disampaikan waktu di kuliah, ya. Katanya politik itu kejam. Tapi kalo melihat diskusi tadi, ternyata politik itu enak juga. Jadi ketahuan yang disampaikan kawan ayah itu ada banyak teori yang sudah abang pelajari di kampus”.

Sembari mengenyutkan dahi aku bertanya. “Apa yang lain. Khan yang dipelajari di kampuas juga banyak bisa dilihat didalam praktek politik” ? kataku heran sembari kurang mengerti.

“Gini, yah. Dosen di kampus abang sering mengatakan politik itu kejam. Tapi kalo dilihat dari penjelasan kawan ayah tuh, Politik itu bertujuan membantu rakyat. Lha apa hubungan dengan kejam. Berarti dosen abang di kampus tidak melihat kenyataanya, yah. Pokoknya lain yang dipelajari dari kampus”, Ujar putraku sembari kesal dengan pertanyaan mendesakku.

Akupun diam sembari berfikir. Mungkin putraku mulai menemukan kenyataan penjelasan dosen di kampusnya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Ada perbedaan antara das sein dengan “das sollen”. Kekagetan dengan kenyataan adalah proses “culture shock” dari kampus melihat interaksi di lapangan.

Namun yang membuat aku sulit menerima penjelasannya. Apakah Dosen yang mengajarkan mata kuliah politik tidak menggambarkan analisis social, struktur social hingga relasi social sehingga mempengaruhi dinamika politik. Penjelasan dari sang tokoh partai menggambarkan bagaimana interaksi politik tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik.

Sebagai contoh. Partai A bisa saja memenangi Pemilihan Legislatif. Namun suara yang diraih tidak dapat menggambarkan untuk urusan pilkada. Hubungan emosional antara pemilih dengan candidate caleg tidak dapat menggambarkan suara partai untuk Pilkada. Sehingga walaupun partai A menjadi pemenang di basis X namun untuk Pilkada, suara yang berhasil diraih tidak dapat akan diraih kembali untuk pilkada.

Angka-angka yang disodorkan oleh Tokoh Partai adalah angka yang relative stabil setiap Pileg dan pilkada. Sehingga dasar itu kemudian tidak dapat dipisahkan dari dinamika politik yang menjadi pegangan setiap Pilkada.

Sayapun kemudian memahami mengapa sang Putraku kemudian kecewa dengan materi kuliah yang didapatkan dari kampusnya. Sayapun bangga. Daya kritisnya mulai muncul. Perlawanan pemikiran yang didapatkan dari kampus adalah “kegelisahan intelektual” sebagai bahan untuk selalu berfikir kritis. Dan itu adalah energy yang diperlukan agar nurani tetap terasah.

Namun saya kemudian memberikan pemahaman. Kampus adalah “gerbang pintu” untuk melihat dasar-dasar ilmu diterapkan dalam praktek di masyarakat. Namun masyarakat mempunyai pengetahuan yang amat kaya tentang ilmu apapun. Dan tugas kita kemudian menjadikan sebagai ilmu pengetahuan yang dapat dibaca semua orang.

Sembari menepuk bahunya, aku berkata “Perbanyak menggali ilmu dari masyarakat. Kelak engkau menjadi paham. Dari siapa saja ilmu didapatkan. Baik dari Guru kampus maupun dari Guru Kampung” ?.

Aku tidak berkeinginan ataupun melarang apa yang menjadi cita-citanya. Namun aku hanya berharap. Agar ilmu yang didapatkannya dapat bermanfaat bagi orang banyak.