Dalam
suatu kesempatan, aku membawa putra keduaku keluar kota menemani pemeriksaan di
kantor Kepolisian. Dengan gesit dan semangat, dia mengiyakan sembari bertanya
“apa saja tugasnya, yah ?. Ya. “Kamu cukup bawa map ayah”. Kataku sembari
memberikan map dan berkas yang cukup ringan.
Sembari
menunggu penyidik yang sedang rapat, kami menunggu di warung didepan Polres.
Kamipun berdiskusi berbagai tema dan termasuk keadaan lapangan terkini (up to
date). Aku perhatikan, putraku cukup tekun mendengarkan pembicaraan sembari
bertanya untuk menggali pertanyaan.
Setelah
selesai pemeriksaan, kamipun pulang ke Jambi. Sepanjang perjalanan akupun
berkesempatan untuk mendengarkan pandangan dia tentang kasusnya dan pandangan
terhadap pembicaraan. Diskusipun mengalir sembari mengisi sela-sela perjalanan.
Musikpun tidak kuhidupkan.
Setelah
satu jam perjalanan, aku berkeinginan untuk istirahat sebentar di SPBU di Desa
Rengas.
Tidak
sengaja kemudian saya bertemu Tokoh Partai yang kukenal sejak zaman Reformasi.
Rencana istirahat sebentar kemudian tidak sadar memakan waktu 3 jam lebih. Kami
berdiskusi dari suasana Pemilihan Legislatif, Pilpres, Pilkada Gubernur dan
Pilkada Kabupaten. Aku perhatikan putraku cukup tekun mendengarkan kami
berdiskusi.
Secara
sekilas, aku mengamati sepak terjangnya di ranah politik praktis. Dengan
ketekunan hingga belasan tahun membuat aku memahami makna dunia politik.
Ketekunan
berpolitik adalah kata kunci memasuki gelanggang politik. Bahkan dengan
angka-angka yang hapal diluar kepala, sang tokoh mampu menguraikan dinamika
politik local hingga menghubungkan dinamika politik di Desa dengan runut. Saya
kemudian kagum terhadap penguasaan detail wilayah yang menjadi
tanggungjawabnya.
Tidak
sadar kemudian kami berdiskusi cukup lama. Akhirnya kami menyepakati mengakhiri
diskusi dan melanjutkan perjalanan konvoi pulang ke Jambi.
Lagi-lagi
aku meminta pandangan putraku tentang diskusi terakhir dengan tokoh partai.
Akupun
kaget pernyataan pertamanya. “Kok lain
yang disampaikan waktu di kuliah, ya. Katanya politik itu kejam. Tapi kalo
melihat diskusi tadi, ternyata politik itu enak juga. Jadi ketahuan yang
disampaikan kawan ayah itu ada banyak teori yang sudah abang pelajari di kampus”.
Sembari
mengenyutkan dahi aku bertanya. “Apa yang
lain. Khan yang dipelajari di kampuas juga banyak bisa dilihat didalam praktek
politik” ? kataku heran sembari kurang mengerti.
“Gini, yah. Dosen di kampus abang sering
mengatakan politik itu kejam. Tapi kalo dilihat dari penjelasan kawan ayah tuh,
Politik itu bertujuan membantu rakyat. Lha apa hubungan dengan kejam. Berarti
dosen abang di kampus tidak melihat kenyataanya, yah. Pokoknya lain yang
dipelajari dari kampus”, Ujar putraku sembari kesal dengan pertanyaan
mendesakku.
Akupun
diam sembari berfikir. Mungkin putraku mulai menemukan kenyataan penjelasan
dosen di kampusnya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Ada perbedaan
antara das sein dengan “das sollen”. Kekagetan dengan kenyataan adalah proses
“culture shock” dari kampus melihat interaksi di lapangan.
Namun
yang membuat aku sulit menerima penjelasannya. Apakah Dosen yang mengajarkan
mata kuliah politik tidak menggambarkan analisis social, struktur social hingga
relasi social sehingga mempengaruhi dinamika politik. Penjelasan dari sang
tokoh partai menggambarkan bagaimana interaksi politik tidak dapat dilepaskan
dari dinamika politik.
Sebagai
contoh. Partai A bisa saja memenangi Pemilihan Legislatif. Namun suara yang
diraih tidak dapat menggambarkan untuk urusan pilkada. Hubungan emosional
antara pemilih dengan candidate caleg tidak dapat menggambarkan suara partai
untuk Pilkada. Sehingga walaupun partai A menjadi pemenang di basis X namun
untuk Pilkada, suara yang berhasil diraih tidak dapat akan diraih kembali untuk
pilkada.
Angka-angka
yang disodorkan oleh Tokoh Partai adalah angka yang relative stabil setiap
Pileg dan pilkada. Sehingga dasar itu kemudian tidak dapat dipisahkan dari
dinamika politik yang menjadi pegangan setiap Pilkada.
Sayapun
kemudian memahami mengapa sang Putraku kemudian kecewa dengan materi kuliah
yang didapatkan dari kampusnya. Sayapun bangga. Daya kritisnya mulai muncul.
Perlawanan pemikiran yang didapatkan dari kampus adalah “kegelisahan
intelektual” sebagai bahan untuk selalu berfikir kritis. Dan itu adalah energy yang
diperlukan agar nurani tetap terasah.
Namun
saya kemudian memberikan pemahaman. Kampus adalah “gerbang pintu” untuk melihat
dasar-dasar ilmu diterapkan dalam praktek di masyarakat. Namun masyarakat
mempunyai pengetahuan yang amat kaya tentang ilmu apapun. Dan tugas kita kemudian
menjadikan sebagai ilmu pengetahuan yang dapat dibaca semua orang.
Sembari
menepuk bahunya, aku berkata “Perbanyak
menggali ilmu dari masyarakat. Kelak engkau menjadi paham. Dari siapa saja ilmu
didapatkan. Baik dari Guru kampus maupun dari Guru Kampung” ?.
Aku
tidak berkeinginan ataupun melarang apa yang menjadi cita-citanya. Namun aku
hanya berharap. Agar ilmu yang didapatkannya dapat bermanfaat bagi orang
banyak.