07 September 2017

opini musri nauli : PALESTINA DAN ROHINGYA




Issu politik kontemporer Rohingya menghiasi wacana politik Indonesia. Dengan serbuan tagline dan berita Rohingya kemudian memantik diskusi panjang didalam berbagai obrolan politik. Baik nasional, local hingga di warung-warung kopi.

Kita tidak perlu berdebat tentang kejadian di Rohingya. Sebagaimana pemberitaan resmi CNN, AP hingga pemberitaan resmi mengabarkan peristiwa di Rohingya. Namun menggerakkan dukungan kepada Rohingya kita harus banyak belajar dari kejadian di Palestina.

Sebagai tempat suci yang dianut oleh tiga agama besar dunia, Palestina merupakan tempat Tembok Ratapan (Wailing Wall), Gereja Kelahiran (Church of Nativity) dan Mesjid Aqsa. Gereja Kelahiran (Church of Nativity) terletak Tepat di jantung kota Betlehem, Palestina, berdiri gereja tempat kelahiran Yesus Kristus. Sedangkan Mesjid Aqsa adalah Tempat suci umat Islam, Belum lagi Kubah Shakhrah (Dome of RockTerletak di dalam tembok kompleks Al-Haram asy-Syarif yang berada di dalam tembok Kota Lama Yerusalem.

Begitu sucinya tempat di Palestina kemudian memantik perlawanan panjang menghadapi Israel. Selain ambisi Israel ingin mewujudkan “Israel Raya”, Palestina adalah tempat identitas tiga agama besar dunia.

Namun dukungan kepada Palestina bukan semata-mata persoalan agama. Dukungan penduduk Eropa kepada rakyat Palestina bukan berangkat dari kedekatan emosional agama.

Berbeda dengan penduduk Asia yang masih “ketat” menganut agama maupun kepercayaan dari leluhur, generasi Eropa sudah lama mulai meninggalkan agama maupun keyakinan terhadap agama.

Revolusi industry maupun perkembangan ilmu pengetahuan kemudian mengajarkan kepada penduduk Eropa tentang pemikiran logis, sistematis dan mempercayai rasionalitas dalam berfikir.

Teori sebab-akibat, perputaran bumi-matahari-Bulan adalah perputaran semesta yang berjalan menurut rotasinya. Baik dengan dengan waktu yang diketahui dan putaran orbit yang telah lama dikenal sebagai ilmu pengetahuan.

Perkembangan zaman kemudian membuat penduduk Eropa kemudian mempercayakan ilmu pengetahuan sebagai kerangka berfikir yang terus menerus berkembang.

Tentu saja kita tidak setuju dengan pemikiran yang dianut di kalangan penduduk Eropa. Namun fakta-faktanya, tempat-tempat peribadatan mulai ditinggalkan oleh penduduk Eropa. Gereja mulai sepi dan hanya didatangi sedikit penduduk yang masih taat. Kata temanku di Belanda, “Hanya orang tua saja yang mau ke gereja”.

Tentu saja saya tidak setuju dengan pemikiran yang berkembang di penduduk Eropa. Saya masih berkeyakinan, setiap benda yang berada dimuka bumi tentu saja ada Sang Pencipta. Dan itu tidak dijawab oleh ilmu pengetahuan yang terhenti dengan melihat hasil ciptaannya. Namun diskusi ini tidak perlu dilanjutkan karena “sebagai pendengar” saya ingin melihat bagaimana penduduk Eropa kemudian melihat peristiwa di Palestina.

Berbeda dengan di Indonesia, peristiwa Palestina adalah peristiwa kemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan. Sehingga sebagai kejahatan kemanusiaan tentu saja akan menelantarkan kepada penduduk di Palestina.


Makanya kemudian penduduk Eropa kemudian menyisihkan “sebagian kecil” dari pendapatannya setiap bulan. Dan itu sudah berlangsung puluhan tahun. Setiap bulan, organisasi kemanusiaan yang “mengorganisir” sumbangan dari penduduk Eropa kemudian mengadakan pertemuan-pertemuan dengan penduduk di apartemen untuk melaporkan penggunaan sumbangan dari penduduk.

Sebagai contoh Negara Belanda. Negara yang “dianggap” Negara liberal yang sudah meresmikan “perkawinan sejenis” dan mengesahkan “euthanasia” (bunuh diri disebabkan penyakit yang tidak bisa disembuhkan) ternyata rutin menyumbangkan” 10 Euro/bulan. Apabila penduduk Belanda berjumlah 16,94 juta (sensus 2015) maka setiap bulan Belanda menyumbangkan 160,94 juta Euro setiap bulan. Dan itu sudah berlangsung puluhan tahun. 

Apabila jumlah penduduk Eropa yang berjumlah 743,1 juta (sensus 2015) kita anggap saja sebagian menyumbangkan. Anggap saja 300 juta dikalikan 10 euro maka Palestina mendapatkan 3 milyar euro/bulan.

Dalam laporan rutin kemudian diketahui kebutuhan utama yang disumbangkan adalah makanan dan susu kepada anak-anak. Penduduk Eropa menganggap, derita yang dirasakan oleh Palestina adalah makanan dan susu sulit dibeli oleh penduduk Palestina. Terutama untuk anak-anak.

Sumbangan itu terus dilakukan oleh penduduk Eropa tanpa banyak publikasi. Bahkan Pemerintah Eropa sendiri “kurang garang” terhadap Israel. Hanya beberapa Negara yang keras terhadap Israel seperti Rusia, Jerman dan Perancis.

Sehingga tidak salah kemudian dengan PDB per kapita sekitar US$ 2.800, Palestina tergolong negara berpendapatan menengah bawah. Hampir semua kebutuhan hidup dipenuhi oleh impor. Pada tahun 2015, impor Palestina mencapai US$ 5,6 miliar dan menderita defisit neraca perdagangan US$ 4,7 miliar (data dari berbagai sumber).

Simbol perlawanan Eropa juga ditunjukkan dengan peristiwa perlawanan blockade Israel. Kita masih ingat peristiwa kapal Mavi Marmara di awal 2010. Dan israle kemudian menurunkan pasukan komando Angkatan Laut Israel dan membantai para aktivis kemanusiaan yang sedang berada di dalam kapal Mavi Marmara. Mereka bermaksud untuk mendobrak Pelabuhan Gaza yang diblokade Israel. Insiden kemudian dikenal sebagai insiden internasional.

Saya kemudian terhenyak dan malu sendiri. Dukungan kepada rakyat Palestina adalah dukungan kepada kemanusiaan tanpa harus berkoar-koar ataupun “teriak-teriak” di jalan.

Mereka membantu penduduk Palestina berangkat dari sisi kemanusiaan. Bukan berangkat dari pendekatan agama ataupun pendekatan emosional semata.

Menempatkan manusia sebagai bentuk peradaban agung adalah keinginan dari agama manapun. Rasa menempatkan manusia adalah symbol tertinggi sebagai insan ciptaan Tuhan dimuka bumi.

Dari pelajaran sekilas, maka alangkah baiknya menggerakkan dukungan terhadap Rohingya berangkat dari pendekatan “kejahatan kemanusiaan’. Tidak dibenarkan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan alasan apapun.

Dengan demikian kita kemudian mengutuk keras terhadap pembantaian Bosnia, Palestina, Rohingya, pembantaian Hitler – Moussilini – Stalin. peristiwa Romusha, Jugun Ianfu (kekerasan seksual oleh Jepang pada perang dunia ke II).

Atau peristiwa Simpang V Aceh, kejadian Sampang, dan peristiwa lainnya di zaman orde baru rezim Soeharto. Dan peristiwa lainnya yang panjang daftarnya.

Kita mengutuk keras terhadap kejahatan kemanusiaan tanpa harus memilih siapa pelakunya. Kita harus mengutuk keras kejahatan kemanusiaan tanpa juga harus memperhatikan agama, kewarganegaraannya. Energi “kemarahan” kita juga diarahkan untuk menentang kejahatan kemanusiaan.

Belajar dari strategi dukungan Palestina, maka Rohingya akan mendapatkan dukungan yang lebih luas. Dan dukungan tidak hanya “demonstrasi” di jalanan, doa bersama. Tapi juga dukungan yang diperlukan oleh penduduk Rohingya adalah dukungan distribusi makanan, kesehatan maupun susu yang diperlukan anak-anak yang paling menderita dari pengungsian apapun.

Apakah bisa ?

Bisa. Karena kita sudah berpengalaman dan belajar dari Gempa Aceh yang mampu mendapatkan dukungan internasional. Atau gempa di Yogya yang mendapatkan dukungan luas dari rakyat Indonesia.