Issu
politik kontemporer Rohingya menghiasi wacana politik Indonesia. Dengan serbuan
tagline dan berita Rohingya kemudian memantik diskusi panjang didalam berbagai
obrolan politik. Baik nasional, local hingga di warung-warung kopi.
Kita
tidak perlu berdebat tentang kejadian di Rohingya. Sebagaimana pemberitaan
resmi CNN, AP hingga pemberitaan resmi mengabarkan peristiwa di Rohingya. Namun
menggerakkan dukungan kepada Rohingya kita harus banyak belajar dari kejadian
di Palestina.
Sebagai tempat suci yang dianut oleh tiga agama besar dunia, Palestina merupakan tempat Tembok Ratapan (Wailing Wall), Gereja Kelahiran (Church of Nativity) dan Mesjid Aqsa. Gereja Kelahiran (Church of Nativity) terletak Tepat di jantung kota Betlehem, Palestina, berdiri gereja tempat kelahiran Yesus Kristus. Sedangkan Mesjid Aqsa adalah Tempat suci umat Islam, Belum lagi Kubah Shakhrah (Dome of Rock) Terletak di dalam tembok kompleks Al-Haram asy-Syarif yang berada di dalam tembok Kota Lama Yerusalem.
Begitu sucinya tempat di Palestina kemudian memantik perlawanan panjang menghadapi Israel. Selain ambisi Israel ingin mewujudkan “Israel Raya”, Palestina adalah tempat identitas tiga agama besar dunia.
Namun dukungan kepada Palestina bukan semata-mata persoalan agama. Dukungan penduduk Eropa kepada rakyat Palestina bukan berangkat dari kedekatan emosional agama.
Berbeda dengan penduduk Asia yang masih “ketat” menganut agama maupun kepercayaan dari leluhur, generasi Eropa sudah lama mulai meninggalkan agama maupun keyakinan terhadap agama.
Revolusi industry maupun perkembangan ilmu pengetahuan kemudian mengajarkan kepada penduduk Eropa tentang pemikiran logis, sistematis dan mempercayai rasionalitas dalam berfikir.
Teori sebab-akibat, perputaran bumi-matahari-Bulan adalah perputaran semesta yang berjalan menurut rotasinya. Baik dengan dengan waktu yang diketahui dan putaran orbit yang telah lama dikenal sebagai ilmu pengetahuan.
Perkembangan zaman kemudian membuat penduduk Eropa kemudian mempercayakan ilmu pengetahuan sebagai kerangka berfikir yang terus menerus berkembang.
Tentu saja kita tidak setuju dengan pemikiran yang dianut di kalangan penduduk Eropa. Namun fakta-faktanya, tempat-tempat peribadatan mulai ditinggalkan oleh penduduk Eropa. Gereja mulai sepi dan hanya didatangi sedikit penduduk yang masih taat. Kata temanku di Belanda, “Hanya orang tua saja yang mau ke gereja”.
Tentu saja saya tidak setuju dengan pemikiran yang berkembang di penduduk Eropa. Saya masih berkeyakinan, setiap benda yang berada dimuka bumi tentu saja ada Sang Pencipta. Dan itu tidak dijawab oleh ilmu pengetahuan yang terhenti dengan melihat hasil ciptaannya. Namun diskusi ini tidak perlu dilanjutkan karena “sebagai pendengar” saya ingin melihat bagaimana penduduk Eropa kemudian melihat peristiwa di Palestina.
Berbeda dengan di Indonesia, peristiwa Palestina adalah peristiwa kemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan. Sehingga sebagai kejahatan kemanusiaan tentu saja akan menelantarkan kepada penduduk di Palestina.
Makanya
kemudian penduduk Eropa kemudian menyisihkan “sebagian kecil” dari
pendapatannya setiap bulan. Dan itu sudah berlangsung puluhan tahun. Setiap
bulan, organisasi kemanusiaan yang “mengorganisir” sumbangan dari penduduk
Eropa kemudian mengadakan pertemuan-pertemuan dengan penduduk di apartemen
untuk melaporkan penggunaan sumbangan dari penduduk.
Sebagai
contoh Negara Belanda. Negara yang “dianggap” Negara liberal yang sudah
meresmikan “perkawinan sejenis” dan mengesahkan “euthanasia” (bunuh diri disebabkan penyakit yang tidak
bisa disembuhkan) ternyata rutin menyumbangkan” 10 Euro/bulan. Apabila
penduduk Belanda berjumlah 16,94 juta (sensus
2015) maka setiap bulan Belanda menyumbangkan 160,94 juta Euro setiap
bulan. Dan itu sudah berlangsung puluhan tahun.
Apabila
jumlah penduduk Eropa yang berjumlah 743,1 juta (sensus 2015) kita anggap saja
sebagian menyumbangkan. Anggap saja 300 juta dikalikan 10 euro maka Palestina
mendapatkan 3 milyar euro/bulan.
Dalam
laporan rutin kemudian diketahui kebutuhan utama yang disumbangkan adalah
makanan dan susu kepada anak-anak. Penduduk Eropa menganggap, derita yang
dirasakan oleh Palestina adalah makanan dan susu sulit dibeli oleh penduduk
Palestina. Terutama untuk anak-anak.
Sumbangan
itu terus dilakukan oleh penduduk Eropa tanpa banyak publikasi. Bahkan
Pemerintah Eropa sendiri “kurang garang” terhadap Israel. Hanya beberapa Negara
yang keras terhadap Israel seperti Rusia, Jerman dan Perancis.
Sehingga tidak salah kemudian
dengan PDB per kapita sekitar US$ 2.800, Palestina tergolong negara
berpendapatan menengah bawah. Hampir semua kebutuhan hidup dipenuhi oleh impor.
Pada tahun 2015, impor Palestina mencapai US$ 5,6 miliar dan menderita defisit
neraca perdagangan US$ 4,7 miliar (data
dari berbagai sumber).
Simbol perlawanan Eropa juga
ditunjukkan dengan peristiwa perlawanan blockade Israel. Kita masih ingat
peristiwa kapal Mavi Marmara di awal 2010. Dan israle kemudian menurunkan pasukan
komando Angkatan Laut Israel dan membantai para aktivis kemanusiaan yang sedang
berada di dalam kapal Mavi Marmara. Mereka bermaksud untuk mendobrak Pelabuhan
Gaza yang diblokade Israel. Insiden kemudian dikenal sebagai insiden
internasional.
Saya
kemudian terhenyak dan malu sendiri. Dukungan kepada rakyat Palestina adalah
dukungan kepada kemanusiaan tanpa harus berkoar-koar ataupun “teriak-teriak” di
jalan.
Mereka
membantu penduduk Palestina berangkat dari sisi kemanusiaan. Bukan berangkat
dari pendekatan agama ataupun pendekatan emosional semata.
Menempatkan
manusia sebagai bentuk peradaban agung adalah keinginan dari agama manapun.
Rasa menempatkan manusia adalah symbol tertinggi sebagai insan ciptaan Tuhan
dimuka bumi.
Dari
pelajaran sekilas, maka alangkah baiknya menggerakkan dukungan terhadap
Rohingya berangkat dari pendekatan “kejahatan kemanusiaan’. Tidak dibenarkan
kejahatan terhadap kemanusiaan dengan alasan apapun.
Dengan
demikian kita kemudian mengutuk keras terhadap pembantaian Bosnia, Palestina,
Rohingya, pembantaian Hitler – Moussilini – Stalin. peristiwa Romusha, Jugun
Ianfu (kekerasan seksual oleh Jepang pada
perang dunia ke II).
Atau
peristiwa Simpang V Aceh, kejadian Sampang, dan peristiwa lainnya di zaman orde
baru rezim Soeharto. Dan peristiwa lainnya yang panjang daftarnya.
Kita
mengutuk keras terhadap kejahatan kemanusiaan tanpa harus memilih siapa
pelakunya. Kita harus mengutuk keras kejahatan kemanusiaan tanpa juga harus
memperhatikan agama, kewarganegaraannya. Energi “kemarahan” kita juga diarahkan untuk menentang kejahatan
kemanusiaan.
Belajar
dari strategi dukungan Palestina, maka Rohingya akan mendapatkan dukungan yang
lebih luas. Dan dukungan tidak hanya “demonstrasi” di jalanan, doa bersama.
Tapi juga dukungan yang diperlukan oleh penduduk Rohingya adalah dukungan distribusi
makanan, kesehatan maupun susu yang diperlukan anak-anak yang paling menderita
dari pengungsian apapun.
Apakah
bisa ?
Bisa.
Karena kita sudah berpengalaman dan belajar dari Gempa Aceh yang mampu
mendapatkan dukungan internasional. Atau gempa di Yogya yang mendapatkan
dukungan luas dari rakyat Indonesia.