Akhir-akhir
ini jagat politik kontemporer tidak dapat dipisahkan dari hiruk pikuk politik
Islam. Berbagai perkembangan baik yang berkaitan dengan Pilpres maupun Pilkada
tidak dapat dilepaskan dari “suasana” partai Islam. (saya sengaja menggunakan definisi Partai Islam sebagai padanan politik
kontemporer menggambarkan politik Islam).
Islam
di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari berbagai kelompok yang berafiliasi
kepentingan politik yang berbeda. Terlepas dari “suasana politik” masa suram
rezim Soeharto, afiliasi politik kemudian ditandai dengan Partai islam seperti
PKB, PPP, PBB dan PKS. (Saya sengaja
tidak memasukkan PAN sebagai pengejawantahan dari partai Islam. Untuk sementara
saya tidak memasukkan Partai Masyumi dan Partai NU didalam Pemilu 1955 sebagai
indicator melihat politik Islam kontemporer).
Dengan
penduduk muslim terbesar didunia, keunikan maupun keberagaman partai Islam
tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang paska tumbangnya Soeharto. Tarik
menarik antara PKB, PPP PBB dan PKS ditandai dengan berbagai pandangan didalam
melihat perkembangan politik di Indonesia sejak 1998.
Kemenangan
politik Islam kontemporer terbesar ditandai dengan diwujudkannya UU No. 7 Tahun
1989 Tentang Pengadilan Agama sebagai “pintu” penyelesaian kasus-kasus penduduk
yang beragama Islam (pasal 1 angka (1) UU No. 7 Tahun 1989. Pengadilan Agama
kemudian bertugas untuk perkara-perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf dan shadaqah (Pasal 49 ayat (1)). UU No. 7 Tahun 1989 telah mengalami
beberapa kali perubahan.
Kemenangan
ini melengkapi kemenangan di UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Rumusan negara yang
menghendaki, perkawinan sah apabila dicatat oleh negara kemudian ditentang
secara luas dan kemudian rumusan itu kembali menjadi rumusan sahnya perkawinan
apabila dipandang sah menurut agamanya masing-masing. Walaupun secara formil
tidak ada masalah dalam menentukan rumusan tentang sah dan resmi itu, namun
posisi politik islam berhasil mementahkan konsep pemikiran dari negara yang
menghendaki sahnya apabila dilakukan secara resmi.
Sehingga
Negara kemudian mengakomodir terhadap kepentingan politik Islam yang ditandai
dengan lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Zakat, Belum lagi lahirnya UU No.
17 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Haji dan UU No. 34 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Keuangan Haji, UU No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah
Negara (sukuk), UU No 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf, UU
No 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan
UU No. 21 Tahun 2008 tentang Hukum Perbankan Syariah.
UU
No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi DI Aceh memberikan kewenangan yang
lebih luas untuk menyelenggarakan pemerintahan termasuk penegakkan syariat
Islam. Sedangkan surat berharga Syariah Negara (sukuk) telah disahkan
berdasarkan Fatwa MUI No. 32/DSN-MUI/IX/2002. Begitu juga Perbankan Syariah
kemudian mendapatkan dukungan dari bank-bank nasional. Hampir seluruh bank-bank
nasional besar seperti Bank Mandiri, BNI, BCA, BRI kemudian mendirikan
Bank-bank Islam syariah.
Belum
lagi terbitnya berbagai peraturan yang berpihak kepada kepentingan politik
Islam seperti PP No.9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan, PP
No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, PP No.72/1992 tentang
Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil dan Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Berbagai
peraturan perundang-undangan yang tersebar dan termuat didalam ranah konstitusi
hanyalah sekedar contoh bagaimana Negara melihat posisi politik islam
kontemporer.
Dengan
melihatnya berbagai peraturan yang memuat nilai-nilai islam dalam konstitusi
maka tidak salah kemudian politik Islam kontemporer mendapatkan tempat di
konstitusi. Negara menghormati dan menghargai politik Islam sebagai bagian
besar dari Keindonesiaan. Sepadan dengan perjuangan politik islam kontemporer
dan pengikut Islam terbesar di Indonesia.
Tinggal
kitalah yang menjalankan berbagai nilai-nilai Islam didalam kehidupan
ketatanegaraan di Indonesia.