Yang kusuka Indonesia
adalah "daya khayal", "ilmu kelirumologi" dan ilmu
"mencocokkan" dengan pemikiran sang penutur.
Mari kita mulai satu
persatu.
Pertama.
Dengan ditemukan kepingan mata uang, sang penutur kemudian berguling-guling
kegirangan dan kemudian menyebutkan sebagai Kesultanan Islam. Dengan penyebutan
“Gaj Ahmada” sebagai Patih.
Padahal
dari pelajaran sejarah Indonesia, Kerajaan Mahapahit adalah Kerajaan Hindu yang
dituliskan di daun lontar yang kemudian dibukukan didalam Kitab
Negarakertagama. Kitab yang masih dapat dilihat sebagai sumber pengetahuan.
Lalu.
Bagaimana dengan penemuan mata uang dengan lafaz Arab.
Kerajaan
Mahapahit adalah lintasan perdagangan. Tentu saja ditemukan berbagai mata uang adalah
sebuah keniscayaan. Namun dasar “logika jumping” ditemukan mata uang kemudian
langsung menyebutkan sebagai Kesultanan Islam. Lengkap kemudian “menuduh”
menyebutkan Kerajaan Hindu karena “orientalis” dan “jebakan” bangsa Barat dan
tidak mau mengakui Majapahit sebagai Kesultanan Islam.
Apabila
“logika jumping” mau dipakai, maka ditemukan porselen diberbagai wilayah di
Indonesia maka Indonesia kemudian tidak disebut sebagai vassal dari Tiongkok
sebagai pusat kebudayaan porselen ?
Atau
mengapa tidak menuduh saja sekalian, Tiongkok sebagai Kerajaan Islam setelah
kedatangan Laksamana Cheng ho yang menyebarkan islam di Jawa ?
Kedua.
Mengajak boikot produk Israel. Wah. Kalau ini masalah serius. Namun mengapa
tidak juga mau mengajak boikot produk perusahaan pembakar asap di Indonesia.
Perusahaan
yang nyata-nyata menyebabkan kebakaran dan menghasilkan kerugian nyata semakin
lucu ketika bibir kemudian kelu.
Ketiga.
Mempersoalkan banjir di Jakarta dan mengutuk penyebab banjir karena tidak
dipimpin seiman. Namun ketika banjir di Jambi atau Bandung tidak terdengar
suaranya.
Dan
sekarang ketika banjir mulai mengancam Jakarta, dasar “logika jumping”. Eh
kemudian meminta Jokowi untuk membereskannya.
Apakah
banjir mengenal agama ? Apakah karena sekarang dipimpin karena seiman maka “suara
banjir” kemudian tidak disuarakan ?
Keempat.
Mengajukan permohonan “tafsir” melebihi UU ke MK namun “mencak-mencak” ketika
MK tidak mengabulkannya. Eh. Kemudian menyebutkan MK sebagai “mendukung LGBT”
dan mendukung kehidupan seksual,
Padahal
MK sudah memberikan solusi untuk “menyelesaikan” di parlemen (legislative review).
Yang
membuat saya “bergembira”, logika jumping menjadi “agenda mainstream” sehingga
setiap pandangan harus mengutip dari pandangan orang lain. Tidak berani atau
memang tidak ada dasarnya sehingga pengutipannya juga keliru.
Sebagai
manusia yang diberikan akal, maka memperbanyak bacaan adalah sebuah keharusan
dan keniscayaan sebagai “perintah” dari agama. Namun karena “membaca” dari
sumber yang keliru, maka ketika menyampaikan gagasan membuat “saya bisa
menikmati” hari-hari dengan bergembira.
Baca : Logika dan Argumentasi