24 Desember 2017

opini musri nauli : Mengelola keberagaman





Mempunyai tiga orang putra dan seorang putri didalam satu keluarga memerlukan “seni” tersendiri” didalam mengatur dan mengendalikan. Meminjam istilah Khalil Gibran, “Anakmu Bukanlah Milikmu”. Sebuah “renungan” yang kupegang teguh disaatku sadari mereka mempunyai mimpi di masa depan.

“Anak-anakmu adalah anak panah yang meluncur”. Menatap masa depan. Melesat, jauh dan cepat. Melesat laksana kilat. Meliuk dengan sukacita”. Mantra sakti mandraguna yang dikeluarkan oleh Khalil Gibran menutup puisinya.

Jangan dibayangkan rumah “tentram”, “damai” atau “tenang’.  Walaupun masing-masing sudah disediakan kamar.

Entah yang paling kecil masih SD masih “bertengkar” dengan kakaknya cuma masalah “es krim”. Atau Putra ketiga “berebutan” remote TV dengan adiknya yang paling kecil. Semuanya egois. Merasa paling benar. Dan semuanya kemudian “mengadukan” yang paling benar. Baik kepada ibunya ataupun kepada ayahnya.

Suasana paling heboh tentu saja Games PS. Permainan sepakbola adalah salah satu Games PS yang berakhir dengan pertengkaran.

Entah karena “pilihan” klub yang berbeda, permainan yang curang ataupun “tidak terima dengan kekalahan”.

Yang paling besar suka Barca. Alasannya cuma “emosional”. Karena pemain-pemain Barca tuh gagah. Alasan yang paling keras diprotes adiknya. “Emangnya model pakaian. Ini Sepakbola”. Biasa kakaknya tidak punya alasan. Paling-paling cuma bilang. “Terserah”.

Yang kedua penggemar “Arsenal”. Alasannya klasik. Pemain muda dan larinya kencang. Eh. Tetap diprotes. Tapi “Arsenal” tidak pernah juara lagi.

Yang ketiga Penggemar Real Madris. Sama sepertiku. “Entah” berapa banyak Cergam yang dibelikan dari toko buku hasil tabungannya. Segala gaya permainan Ronaldo ditirunya. Bahkan masuk “Sekolah Bola” yang latihannya seminggu tiga kali.
Pernah beberapa kali keluar kota untuk mengikuti pertandingan.

Karena dipengaruhi Ronaldo, maka setiap memasukkan bola, gaya Ronaldo usai mencetak gol diperagakan sambal “muka monyong” mengejek lawan.

Yang terakhir penggemar MU. Segala berita MU di youtube diperhatikannya. Kamipun diskusi tentang nasib MU yang kurang bersinar.

Perbedaan klub sepakbola dalam satu keluarga adalah keniscayaan. Tidak ada satupun “kekuasaan” yang kumiliki agar setiap anak-anak harus ikut dengan kesukaanku. Masing-masing “bertahan” dengan emosional. Jangan memperkeruh keadaan dan mempertanyakan pilihan emosionalnya. Bisa “perang dunia kedua”.

Aku sedang membayangkan bagaimana “mengelola negara” dengan berbagai perbedaan.

Tradisi merayakan kematian Hasan-Husen masih hidup di pantai Barat Sumatera. Di Sumatera Barat dikenal “tabuik”. Di Bengkulu dikenal “Tabot’. Masih berlangsung hingga kini.

Tradisi yang berasal dari Persia membuktikan “Islam” masuk melalui jalur perdagangan Persia. Cerita ini kemudian diperkuat tentang “Barus” sebagai pintu masuknya Islam di Indonesia[1]. Melengkapi Kerajaan Islam Pertama yang dikenal Kerajaan Perlak. Makam Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah masih dapat ditemui di Perlak, Aceh Timur. Arkeolog Slamet Muljana meyakini Islam yang dahulu datang adalah aliran Syiah[2].

Selain dari Persia, cerita Islam juga dikenal di Jambi. Dikenal “Kampung Arab dan  “Arab Melayu’. Pusat pemukiman yang masih hidup dan menjaga nilai tradisi seperti “ barzanzi, kompangan dan syiar-syiar Islam yang begitu kental. Sebuah perkampungan Arab yang juga dikenal di berbagai daerah di Indonesia.

Namun cerita Datuk Paduko Berhalo berasal dari Turki masih dikenal. Baik dengan lagu-lagu yang masih disenandungkan, makam Datuk Paduko Berhalo dan makam Datuk Orang Kayo Hitam masih diziarah hingga kini. Cerita Turki juga dikenal dalam cerita-cerita “puyang” orang Jambi seperti  TUMENGGUNG BUJANG PEJANTAN” (Sungai Bungur[3]) atau Marga Tungkal Ulu[4]. Cerita tentang Turki juga dapat dijumpai “ikrar” Sultan Thaha Saifuddin sebagai “vassal” dari Ottaman Turki[5].

Keberagaman juga ditandai dengan sejarah masuk dan berkembangnya Agama Katolik di Indonesia dibagi menjadi tiga bagian waktu. Sebelum kolonialisme Belanda yaitu pada abad ke 7 di Sumatera Utara.  Bagian kedua saat Kolonialisme Belanda yaitu pada tahun 1534, di kepulauan Maluku melalui orang Portugis. Dan terakhir pada periode kolonialisme Belanda yaitu Pada abad ke 20 setelah Belanda pergi dari Indonesia. Nasrani di Sumatera utara yang dikenal “Nomensen”,

Melengkapi sejarah panjang nusantara setelah sebelumnya Kerajaan Hindu yang besar seperti Majapahit dan Kerajaan Budha terbesar yaitu Sriwijaya.

Belum lagi masih terdapat agama-agama nusantara seperti Hasipelebeguon dan Parmalin (Batak), Sunda wiwitan, Ajaran Djawa Sunda dan  “Pikukuh Tilu” (Jabar), Pangestu (Semarang), Kejawen, Samin (Jawa), Islam Wetu Telu (NTB), Marapu (NTT), Kaharingan, Baduy (Kalimantan) atau Asmat (Papu).  

Setiap ornament, jejak, arkeologi masih ditemukan dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia.

Mengelola keberagaman memerlukan “seni”, kiat dan teknik tersendiri. Menghadapi “gaya emosional” mendukung klub Barca seperti putriku tidak perlu diperdebatkan. Gaya emosional tanpa pilihan logis adalah sebuah keniscayaan. Tidak perlu “dipertanyakan” pilihannya. Bisa “emosi meledak” tanpa argumentasi.

Begitu pula tidak perlu dipaksakan “agar menerima” penjelasan terhadap pilihan yang sudah diyakini.

Atau menghadapi “alasan klasik” memilih Arsenal yang tidak pernah lagi juara. Tidak perlu penjelasan yang disampaikan mengapa memilih Arsenal. Kesukaan memilih Arsenal ditandai dengan “sikap garang” khas anak muda yang melihat sepakbola adalah olahraga sport yang paling menjunjung tinggi sportivitas. Tidak perlu “gaya diving’ untuk menipu wasit.

Dengan demikian maka tidak perlu penjelasan anak-anak muda yang memilih symbol-simbol tertentu sebagai “refleksi” terhadap pandangannya.

Atau tidak perlu berdebat tentang “kecintaan Ronaldo”. Kekaguman terhadap tokoh-tokoh tertentu yang berangkat dari “mitos kepempinan” tidak perlu menjadi “perbedaaan” didalam menilai pilihan klub sepakbola.

Tidak perlu satu penggemar klub “kemudian” memaksa agar pindah klub idolanya. Atau tidak perlu “mengejek” klub yang lain. Sehingga dapat meruncing dan memancing kehebohan.

Sehingga terhadap “sami na’ wato’na” tidak perlu disampaikan sebagai “ikrar taklik”. Atau penyembahan buta tanpa reserve.

Dan negarapun tidak perlu “menggunakan kekuasaannya” untuk menyatukan. Keberagaman adalah keniscayaan dimana negara tidak boleh menggunakan kekuasaannya untuk menyatukannya.

Dengan demikian perbedaan adalah keniscayaan. Sebuah keberagaman yang paling lengkap di dunia yang terletak di nusantara.


[1] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2010, Hal. 14
[2] Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara,Penerbit LKis, Yogyakarta, 2005.
[3] Sungai Bungur, 26 Februari 2016
[4] M. Syafe’I Achmad, mantan Pesirah dan mantan Kepala Desa Merlung, 14 Agustus 2016
[5] Snouck Horgrenye, Kumpulan Karangan, INIS (Indonesia Netherlands Cooperation in Islamic Studies) , Jakarta, 1995