Benar
kata orang Bijak nan jauh disana. Apabila pemimpin yang “direstui” oleh alam
semesta ditandai dengan “alam menjadi.
Padi menguning. Rumput hijau. Kerbo gepuk. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian
gugu”. Musim durian tahun ini mulai menampakkan hasilnya. Setelah 2 tahun
berturut-turut gagal panen. Musim durian adalah “lambang” alam semesta yang
merestui kelahiran dan kepemimpinan dari daerahnya.
Tidak
perlu diceritakan tentang durian. Tanaman yang hidup apabila ekosistem dan
lingkungan sempurna di negara tropis.
Bersama-sama
dengan madu, Harimau, durian adalah lambang lengkapnya ekosistem. Ekosistem
alamiah yang tidak perlu diatur oleh manusia. Tidak setiap tempat dapat
menghasilkan durian. Dan tidak setiap waktu “rekayasa” dapat dilakukan untuk
menghasilkan durian.
Durian
adalah musim tanda “ekosistem” berjalan baik. Sempurna dan lengkapnya sebuah
eksosistem suatu tempat. Sebagai tanda “peradaban” dan penghormatan manusia
kepada alam sekitarnya.
“Buah
pangkal” sebagai perumpamaan penghormatan jatuhnya buah durian pada pangkal
musim durian yang merupakan “jatah” dari sang Raja Hutan. Buah pangkal adalah
durian yang menjadi “hak” raja hutan.
“Tidak
boleh diambil” bisik pemangku adat sembari menyebutkan “puyang” yang menguasai
tempat di daerah itu. Sebagai tanda, Manusia adalah bagian dari sekrup kecil
dari ekosistem lingkungan yang berkaitan satu dengan yang lain. Dan keesokan
harinya, buah yang yang telah dibuka, rapi membukanya, rapi menyusun buah
durian yang telah dimakan sebagai bentuk “Raja hutan” telah memakan buah
pangkal.
“Durian
Dak boleh ditutu”. Sebuah seloko yang menempatkan “batang durian” tidak boleh
dipanjat. Menempatkan durian yang jatuh dari pohon adalah buah durian yang
memang baik dimakan.
Pohon
durian tidak boleh ditebang. Sebuah penghormatan kepada “keramat” pohon durian.
Apalagi pohon durian yang ditanami “puyang”. Pohon durian ditanami puyang
adalah buah durian yang diberikan kepada anak cucu. Siapapun boleh menikmati
hasilnya. Namun pohon durian tidak boleh ditebang. “Durhako” kata sang pemangku
adat.
Pohon
durian disejajarkan dengan “pohon sialang”. Pohon yang dihinggapi lebah. “Sialang
pendulangan” dalam seloko Marga Pemayunanga. Bukan hanya pohon sialang yang
tidak boleh ditebang. Tapi “pendulangan” adalah daerah sekitar “tumbuhnya pohon
sialang” yang tidak boleh ditebang. Lebah akan hinggap di pohon yang kemudian
disebut “pohon sialang’. Daerahnya harus mendukung hidupnya lebah. Daerah ini
yang kemudian disebut “sialang pendulangan’.
Menempatkan
durian dan madu dalam ekosistem lingkungan yang lengkap adalah symbol penghormatan
manusia kepada alam. Dan alam tidak pernah berbohong. Alam kemudian merestuinya
dengan “menghasilkan durian dan madu” yang bisa dinikmati manusia.