Setiap
peradaban tidak dapat dipisahkan alam pikiran dengan alam semesta. Sistem
budaya masa prasejarah adalah sistem budaya mistis yang berkaitan erat dengan
sistem kepercayaan mistis.
Menurut
Jakob Sumardjo: “Dalam masyarakat dengan
konteks budaya mistis ini terdapat cara berpikir berdasarkan kesatuan kosmos.
Mikrokosmos (manusia), makrokosmos (semesta), dan metakosmos (alam lain)
menjadi satu keutuhan”. Konsep adanya kehidupan sesudah kematian, sesungguhnya
berawal dari masa prasejarah ini. Cara berpikir bahwa ada sesuatu kekuatan di
luar diri manusia dan menguasai mereka yang masih hidup merupakan norma-norma
yang dijunjung tinggi dan utama dalam hidup dan kehidupan manusia purba,
sebagai sebuah sistem kepercayaan[1].
Tradisi
pembuatan bangunan megalitik selalu berkaitan dengan kepercayaan adanya
hubungan antara orang yang masih hidup dengan nenek moyang mereka yang sudah
meninggal. Dalam hal ini manusia pendukung kebudayaan megalitikum percaya nenek
moyang yang sudah mati mampu mempengaruhi kesejahteraan hidup masyarakat atau
kesuburan tanah dari generasi yang masih hidup[2]
Perbedaan
arah hadap mulut tempayan membuktikan bahwa tempayan sengaja dikubur dalam
posisi rebah. Arah hadap mulut tempayan ke timur ditemukan juga di Situs Lolo
Gedang, Kerinci. Kemungkinan besar arah hadap mulut berkaitan dengan arah
kosmis atau mata angin[3].
Megalitik
juga terdapat di Serampas, Sungai Tenang dan Peratin Tuo[4].
Bahkan juga ditemukan Megalit di Dusun Tuo Dan Tanjung Putih (Nilo Dingin)[5]. Kebudayaan megalitik yang menghasilkan
bangunan dari batu besar merupakan kebudayaan terakhir dari zaman prasejarah
(paleoarkeologi)[6].
Alama
cosmopolitan dari zaman megalitikum yang beredar di masyarakat dikenal dengan
Legenda Si Pahit Lidah dan Kecik Wong Gedang Wok[7].
Gambaran atau citra terhadap dunia (makrokosmos),
ikut menentukan tatanan mikrokosmos yang akan diwujudkan dalam penataan
wilayah, ibukota, kompleks keraton, maupun bangunan pada umumnya.
Seperti yang dijelaskan oleh Geldern[8]
bahwa menurut doktrin Brahmana, gambaran atas dunia (makrokosmos) atau jagat
ini terdiri dari: “Jambudwipa”, sebuah benua berbentuk lingkaran terletak di
pusat, dikelilingi oleh tujuh buah samudra berbentuk cincin dan tujuh buah
benua lain berbentuk cincin juga.
Di luar Samudra terakhir dari ketujuh samudra tadi,
jagat itu ditutup oleh barisan pegunungan yang sangat besar. Di tengah-tengah jambudwipa (tengah-tengah jagat
raya), berdirilah gunungmeru menjadi pusat dari jagat raya, gunung ini
dikelilingi oleh tujuh barisan pegunungan.
Masing-masing pegunungan ini dipisahkan oleh tujuh
buah samudera yang berbentuk cicin. Di luar rantai pegunungan terakhir terletak
lautan dan di dalam lautan ini dijumpai empat buah benua, masing-masing pada
penjuru angin. Benua yang terletak di Selatan gunungmeru adalah Jambudwiva, tempat tinggal umat
manusia. Jagat raya itupun dikelilingi oleh sebuah dinding besar yang terdiri
dari batu karang, disebut barisan cakrawala.
Pada lereng gunungmeru terletak Swarga (surga) yang terendah,
yaitu swarga
dari
keempat raja besar atau penjaga dunia.. Pada puncaknya Swarga ke dua, yaitu Swarga ke-33 dewa serta
Sudarsana, kota dewa-dewa, tempat Indra bersemayam sebagai raja.
Di atas Gunungmeru terdapat lapisan-lapisan lainnya
dari kayangan” (biasanya ada 26, termasuk lapisan-lapisan diatas gunungmeru,
tetapi jumlah ini kadang-kadang berbeda). Perbedaan penafsiran atas ujud jagat
raya ini juga terjadi diberbagai wilayah di Asia Tenggara, termasuk Jawa dan
Bali. Meskipun ada sedikit perbedaan dalam hal-hal kecil namun, intinya
seperti: bentuk yang berupa lingkaran, wilayah-wilayah yang berpusat
mengelilingi gunungmeru (Meru sebagai pusat atau center)[9]
Alam cosmopolitan Marga Batin Pengambang dituturkan
dengan menempatkan 4 Penjaga Negeri . Rio Cekdi
Pemangku Rajo. Yang bertugas menjaga pintu dari Timur. Dengan wilayahnya Bathin
Pengambang, Batu berugo, Narso. Debalang Sutan yang bertugas menjaga pintu di
sebelah selatan. Dengan wilayah Sekeladi, Guguk tinggi, Tangkui, Padang Baru.
Menti Kusumo yang bertugas menjaga pintu dari Utara. Dengan wilayah Rantau
Jungkai, Renah Kemang, Sungai keradak. Debalang Rajo yang menjaga pintu
dari barat. Dengan wilayah Muara Simpang, narso kecil.
Penempatan
“penjagaan” yang bertugas empat penjuru mata angin seperti di Marga Batin
Pengambang seperti Rio Cekdi Pemangku Rajo (Timur), Debalang Sutan (Selatan),
Menti Kusumo (Utara) Debalang Rajo (barat) adalah “punggawa” menjaga pemukiman
Marga Batin Pengambang.
Di
Marga Maro Sebo Ulu, dikenal Debalang Raja Jambi[10].
Sebagai Debalang Raja Jambi maka senang disebut sebagai “Orang Raja. Yang
memerintah di Dusun Kembang Seri, Dusun Sungai Rengas dan Dusun Sungai Ruan.
Sebagai Debalang Raja, maka
Dubalang di Teluk Leban bertugas untuk menyambut tamu Raja. Debalang di Rengas
9 bertugas untuk penjaga kebun raja. Sedangkan Dubalang di Peninjauan sebagai
peninjau terhadap kedatangan yang datang ke Marga Maro Sebo Ulu[11].
Dewa dalam sistem kepercayaan Orang Rimba, dikenal ada
delapan dewa, yakni; dewa Rimau, dewa Siluman, dewa Penyakit,
dewa Gajah, dewa Padi, dewa Tenggiling, dewa Madu,
dan dewa Langit. Para dewa tersebut akan muncul dalam acara besale (acara
ritual pernikahan orang rimba)[12].
Alam
cosmopolitan umumnya memiliki ciri antara lain. Magis dan keagamaan (magis
religious), nyata atau konkrit (concrete), kontan atau tunai, (cash),
keberlakuan ajeg (constant) dan fleksibel (flexible). Kurang atau tidak menjadi
pengetahuan masyarakat lokal. Hak ini kemudian melekat sebagai
1.
Hak untuk
“menguasai” (memiliki, mengendalikan) & mengelola (menjaga, memanfaatkan)
tanah dan sumber daya alam di wilayah adatnya;
2.
Hak untuk
mengatur diri sendiri sesuai dengan hukum adat (termasuk peradilan adat) dan
aturan-aturan adat yang disepakati bersama oleh masyarakat adat;
3.
Hak untuk
mengurus diri sendiri berdasarkan sistem kepengurusan/ kelembagaan adat;
4.
Hak atas
identitas, budaya, sistem kepercayaan (agama), sistem pengetahuan (kearifan
tradisional) dan bahasa asli.
Hubungan
manusia dengan alam dalam pandnagan kosmos ditandai dengan penggunaan nama
“Koto” untuk menunjukkan nama tempat.
Penamaan “Koto” menunjukkan jejak
peradaban. Koto adalah simbol penghormatan terhadap leluhur sekaligus sebagai
benteng pertahanan.
Di Marga Sungai Tenang dikenal Pungguk 6, Pungguk 9 dan Koto Sepuluh. Dengan “penyebutan” Koto maka terdapat Koto Renah, Koto Teguh, Koto Sepuluh, Kotobaru, Koto Tapus. Koto Tapus dikenal sebagai Dusun Jangkat.
Di Marga Peratin Tuo dikenal Dusun
Kotorami. Sekarang termasuk kedalam Kecamatan Lembah Masurai, Merangin.
Di Tebo dikenal Marga VII Koto dan
Marga IX Koto. Hubungan antara Marga VII Koto dan Marga IX Koto sering disebut
“koto bersekutu”. Atau sering juga disebut “7 jantan dan 9 betino.
Hubungan ini masih berlaku baik didalam menyelesaikan persoalan adat maupun
hubungan perkawinan.
Dengan tuturan ini maka setiap
proses adat dapat dilihat dari tutur dan pendekatan kekeluargaan. Hubungan ini
kemudian dilanjutkan dengan Marga Sumay sebagai anak dari kedua Marga. Sehingga
Marga VII kemudian disebut “Berbenteng dado. Berkutu berpagar di batu”.
Koto diartikan sebagai benteng
tempat berlindung. Koto terdiri dari 3 suku asal dan sudah bersawah, berladang
dan beternak peliharaan. Dengan demikian maka Koto adalah tempat benteng
perlindungan yang didalamnya terdapat persawahan, peladangan dan tempat gembala
ternak.
Sedangkan di Marga IX Koto, Makna
“Koto” adalah Kota. Kota dimaksudkan bukanlah makna kota. Tapi dusun atau
kampong yang dihuni oleh penduduk.
Untuk menjaga keamanan didusun,
sebagaimana tutur di Teluk Kuali, maka dibuatkan parit yang mengelilingi Dusun.
Parit yang dibangun selain lebar juga cukup lebar. Dengan dibangunnya parit
yang mengelilingi dusun, sehingga binatang buas tidak dapat memasuki dusun.
“Maklumlah. Negeri harus aman”. Istilahnya “harus aman dari musuh alam”.
Penetapan ruang dengan kiblat
penjuru mata angin ditempatkan sebagai Koto adalah bentuk perlindungan.
Konsepsi ini lahir dari peradaban Hindu Upanishad dari India berkembang di
kalangan filsuf India seperti kaum Jaina, Nyaya dan Vaiseshika sekitar 500 tahun
sebelum masehi. Di Masyarakat bersawah dan peladangan Anton Bakker
kemudian menyebutkan Realisme ekstrem.
Penempatan “penjagaan” yang bertugas
empat penjuru mata angin seperti di Marga Batin Pengambang seperti Rio Cekdi
Pemangku Rajo (Timur), Debalang Sutan (Selatan), Menti Kusumo (Utara) Debalang
Rajo (barat) adalah “punggawa” menjaga pemukiman Marga Batin Pengambang.
Sedangkan perlindungan koto dengan
membangun parit terdapat di Marga IX Koto, Marga VII Koto dan di Koto Teguh,
Koto Renah di Marga Sungai Tenang.
William Marsden juga bercerita
tentang kesaktian “Sungei Tenang, Koerinchi dan Serampei (Baca Sungai Tenang,
Kerinci dan Serampas). Wilayah dataran tinggi Jambi.
Bahkan dengan memulai perjalanan
panjang menyusuri dari Moco-moco (sekarang Kabupaten Muko-muko), meyusuri
lembah Korinchi (Kerinci).
Kekokohan “Koto” juga ditemukan di
Koto Rayo, pemukiman kuno Sungai Tabir. Koto Rayo adalah pemukiman kuno atau
Kerajaan kecil yang menguasai wilayah. Menurut
Pahrudin, situs Koto Rayo hampir satu masa dengan Candi Muaro Jambi dan
orang-orang Koto Rayo mungkin adalah para pelarian atau sisa-sisa kekuatan dari
Kerajaan Melayu Jambi yang ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-6 Masehi[13].
Dari aspek pertahanan militer yang
mungkin ada saat itu, posisi Koto Rayo sangat menguntungkan untuk memantau
keadaan sekitarnya dari kemungkinan serangan musuh. Terletak di atas sebuah
bukit yang agak bertingkat, berada persis di tikungan dari aliran Sungai Tabir
yang membentuk huruf L (letter L) dan dari posisinya ini orang-orang Koto Rayo
dapat memandang lurus ke arah timur sepanjang aliran sungai sejauh sekitar satu
kilometer. Jika ada armada militer musuh yang menggunakan kapal dan perahu dari
arah timur (Jambi) maka akan segera dapat diketahui oleh orang-orang yang ada
di Koto Rayo.
[7]
S. R Hasibuan S.R, Karakteristik dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lanskap
Budaya Rumah Larik Limo Luhah di Kota Sungai Penuh, Kerinci, Provinsi Jambi,
Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor, 2010 dalam Yoni Elviandi, Studi
Potensi Lanskap Sejarah Suku Kerinci di Provinsi Jambi, IPB, Bogor, 2014, Hal.
24
[11] Peninjauan bisa diartikan sebagai “peninjau”.
Dapat dimaknai sama dengan penyambai kabar kepada Raja.
[13] Pahrudin, Situs “Koto
Rayo” dan Kearifan Tradisional di Tepi Sungai Tabir Jambi, Komunitas,
Universitas Negeri Semarang, Semarang, 2012