14 Juli 2018

opini musri nauli : Bahasa Melayu Masyarakat Jambi





Berdasarkan bentuknya, adjektiva Bahasa  Melayu Jambi terbagi atas bentuk asal dan bentuk turunan[1]. Bahasa Melayu Jambi kemudian dikenal sebagai Bahasa Melayu Jambi, Bahasa Batin, Bahasa Penghulu, Bahasa Kubu, Bahasa Bajau, Bahasa Kerinci[2].

Bahasa Melayu Jambi digunakan di Kotamadya Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Tebo dan Kabupaten Bungo.

Bahasa Batin digunakan suku batin di Sarolangun, Merangin, Bungo dan Tebo. Bahasa Penghulu digunakan di Sarolangun dan Merangin, Bahasa ini dipengaruhi Bahasa Minangkabau dan Bahasa Batin. Bahasa Kubu atau Bahasa Suku Anak Dalam digunakan di suku Anak Dalam. Sedangkan Bahasa Bajau digunakan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Bahasa Kerinci digunakan masyarakat di Kerinci.

Bahasa Melayu Jambi dipengaruhi kebudayaan Minangkabau, Melayu, Jawa, Hindu dan Islam.

Sebagai Bahasa Melayu Masyarakat Jambi dikenal kata yang bersifat adjektiva yang berbentuk asal[3]. Adjektiva tidak dapat diuraikan lagi menjadi satuan kecil yang bermakna. Seperti “tinggi, rendah, Kecik,

Seloko seperti “berat sama dipikul. Ringan sama dijinjing”. Di Marga Batin Pengambang juga dikenal kata “ringan” dengan seloko Harta berat ditinggal. Harta ringan dibawa. Seperti di Desa Sungai Keradak[4], Desa  Batu Empang[5],  Desa Tambak Ratu[6] Dan Desa  Simpang Narso[7]

Sedangkan Adjektiva turunan berupa berafik ter seperti “mencil” yang ditandai dengan seloko beumo jauh betalang suluk, beadat dewek pusako mencil[8]

Selain itu juga struktur Seloko Jambi menampilkan ciri-ciri dengan penggunaan kata-kata magis, terdiri dari dua atau tiga suku kata.

Kata-kata magis dilihat dari seloko di Marga Batin Pengambang yang menyebutkan daerah-daerah yang dilindungi dengan seloko “Teluk sakti rantau betuah. Gunung Bedewo”[9]. Di Marga Sungai Tenang dikenal Seloko “Rimbo Sunyi. Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis”.

Terdiri dari tiga suku kata. Seperti Keayek bebungo pasir. ke darat bebungo kayu. ke Ladang bebungo emping. ke tembang bebungo emas

Atau penghormatan terhadap pemimpin dengan seloko “ Alam sekato Rajo, Negeri sekato batin. Di Marga Sungai Tenang Desa Tanjung Alam ”Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang[10].

Di Marga Batang Asai Tengah dikenal Seloko Dimano bumi ditijak. disitu langit dijunjung,Dimano tembilang dicacak, disitu tanaman tumbuh, Dimano ranting dipatah disitu aiknyo disauk, dimano negeri dihuni, disitu adatnyo[11].

Di Marga Kembang Paseban Desa Rantau Gedang dikenal Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano biduk ditarik disitu galang diletakkan, dimano akar ditetak disitulah aiknyo menetes”[12].

Sedangkan proses penyelesaian persoalan Marga Sungai Tenang dikenal Seloko Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah.

Terdiri dari dua suku kata. Di Marga Sungai Tenang, Desa Kotobaru  dikenal  Bertangkap naik, Berjenjang turun[13]. Begitu juga perumpamaan hukum adat yang ditandai dengan “Adat datar, pemakaian bebeda”.

Atau seloko Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak[14]

Di Marga Serampas dikenal “Tanah ajun. Tanah arah” [15]. Di Marga Sungai Tenang dikenal “tanah irung. Tanah gunting[16]

Didalam menyelesaikan persoalan, Marga Batin Pengambang mengenal Seloko “Tegur Sapo. Tegur Ajar dan Guling Batang. Tiga Tali Sepilin”[17].

Atau seloko “empang kerenggo di Marga Bating Pengambang. Marga Kumpeh menyebutkan “larangan kerenggo”. 
Di daerah hilir dikenal “pancung alas”. Di Marga Sungai Tenang dikenal Seloko “Larik terung, larik kunyit, larik ceko” sebagai penanda tembo (batas) antara satu tempat dengan tempat lain. Larik adalah dengan cara menaburkan kunyit sebagai batas yang telah disepakati.

Sedangkan terhadap pemimpin yang lalim selain ditandai dengan Seloko “Raja alim. Raja Disembah. Raja lalim raja disanggah” juga dikenal Seloko “Jatuh dipemanjat. Hanyut di perenang. Di daerah uluan Jambi dikenal Seloko “tegak tajur, ilir ke Jambi, Lipat pandang ke Minangkabau[18]

penggunaan kata-kata khas pada Seloko dapat ditandai pada daerah-daerah tertentu. Di Marga Batin Pengambang dikenal istilah Lambas” dan “Tuki”. Lambas adalah pengecekan tempat yang mau dibuka, maka ditandai dengan cara sistem tuki. Tuki berupa  Pohon kayu silang. Atau pohon dikupang-kupang sebagai tanda telah membuka rimbo[19].

Kata-kata yang dipengaruhi dari Minangkabau ditandai dengan “Adat bersendi syara’. Syara’ bersendikan kitabullah[20]. Seloko seperti “menghadap ke hilir beraja ke Jambi. Balik mudik berajo ke Minangkabau” atau “Mengilir berajo Jambi, lipat pandan berajo ke Minangkabau” merupakan Seloko yang ditetapkan oleh Raja Indrapura dan Raja Tanah Pilih. Ulu Kozok menyebutkan “sultan Inderapura Muhamad Syah Johan tertanggal 23 Ramadan 124(?)6H atau 14 Juni 1830M, yang kini disimpan oleh Depati Muda di dusun Kemantan Barat (Tambo Kerintji No. 140). Dalam surat tersebut Kerinci disebut sebagai “tanah pertemuan raja antara sultan Jambi dengan sultan Inderapura. Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap ia ke barat, ialah ke tanah Inderapura”[21].

Di Marga Sumay dikenal ”Datuk Perpatih penyiang rantau’. Sedangkan di Semambu mereka menyebutkan “Datuk Perpatih Tumenggung Penyiang Rantau[22]”. Datuk Perpatih” mengingatkan nenek moyang di Minangkabau.

Selain itu dikenal istilah Datuk di Marga Datuk Nan Tigo, kata Penghulu di struktur sosial di hilir Jambi, ”tanah berjenang” atau ”luhak berpenghulu”.

Cerita Jawa juga dikenal di Luak XVI, Marga Batin Pengambang, Marga Batang Asai,  Marga Air Hitam[23], Marga Jujuhan[24] yang ditandai dengan “Depati” atau rio”. Di Marga Maro Sebo ulu dikenal “Ngebi” [25].

Di Marga Sumay di Semambu mereka menyebutkan “Datuk Perpatih Tumenggung Penyiang Rantau[26]”.Di Desa Muara Sekalo dikenal “Tumenggung Gamo”[27].


[1]  Imam Suwardi Wibowo dkk, Struktur Adjektiva Dan Adverbia Bahasa Melayu Jambi,  Depdikbud, Jakarta, 1996, Hal. 9
[2] Nurzuir Husin, dkk, Struktur Bahasa Melayu Jambi, Depdikbud, Jakarta, 1985, Hal. 3
[3] Imam Suwardi Wibowo dkk, Struktur Adjektiva Dan Adverbia Bahasa Melayu Jambi, Op.cit, Hal. 10
[4] Sungai Keradak, 27 Juli 2013
[5] Desa batu Empang, 2 April 2013
[6] Desa Tambak Ratu, 28 Juli 2013
[7] Simpang narso, 2 April 2013
[8] Riset Walhi Jambi, 2013
[9] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
[10] Peraturan Desa Tanjung Alam  No. 3 Tahun 2011 Tentang  Piagam Depati Duo Menggalo
[11] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016, Hal. 5
[12] Buku Perjuangan Masyarakat Desa Rantau Gedang, Walhi Jambi, 2011
[13] Perdes Kotobaru No.  Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
[14] Perdes Kotobaru No.  Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
            [15] Pasal 1 angka 25 Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang  Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Marga Serampas.
[16] Riset Walhi Jambi, 2013
[17] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
[18] Uli Kozok, Kitab  Undang-undang Tanjung Tanah – Naskah Melayu yang Tertua, Penerbit Yayasan Obor, Jakarta, 2006 , Hal 8
[19] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
            [20] Peraturan Daerah Propinsi Jambi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Melayu Jambi;
            [21] Ulu Kozok, Kitab Undang-undang Tanjung Tanah – Naskah Melayu Yang Tertua, Yayasan Naskah Nusantara – Yayasan Obor, Jakarta. Hal 8
[22] Desa Semambu, 18 Maret 2013
[23] Muktar, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, 24 Oktober 2017
[24] Eson, Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
            [25] Desa Kembang Seri, Batanghari, 14 Mei 2017
[26] Desa Semambu, 18 Maret 2013
                  [27] Muara Sekalo, Maret 2013