Berdasarkan bentuknya, adjektiva
Bahasa Melayu Jambi terbagi atas bentuk
asal dan bentuk turunan[1].
Bahasa Melayu Jambi kemudian dikenal sebagai Bahasa Melayu Jambi, Bahasa Batin,
Bahasa Penghulu, Bahasa Kubu, Bahasa Bajau, Bahasa Kerinci[2].
Bahasa Melayu Jambi digunakan di
Kotamadya Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjung
Jabung Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Tebo dan Kabupaten
Bungo.
Bahasa Batin digunakan suku batin di
Sarolangun, Merangin, Bungo dan Tebo. Bahasa Penghulu digunakan di Sarolangun
dan Merangin, Bahasa ini dipengaruhi Bahasa Minangkabau dan Bahasa Batin. Bahasa
Kubu atau Bahasa Suku Anak Dalam digunakan di suku Anak Dalam. Sedangkan Bahasa
Bajau digunakan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Bahasa Kerinci digunakan
masyarakat di Kerinci.
Bahasa Melayu Jambi dipengaruhi
kebudayaan Minangkabau, Melayu, Jawa, Hindu dan Islam.
Sebagai
Bahasa Melayu Masyarakat Jambi dikenal kata yang bersifat adjektiva yang
berbentuk asal[3].
Adjektiva tidak dapat diuraikan lagi menjadi satuan kecil yang bermakna.
Seperti “tinggi, rendah, Kecik,
Seloko
seperti “berat sama dipikul. Ringan sama
dijinjing”. Di Marga Batin Pengambang juga dikenal kata “ringan” dengan seloko Harta berat
ditinggal. Harta ringan dibawa. Seperti di Desa Sungai
Keradak[4], Desa
Batu Empang[5],
Desa
Tambak Ratu[6]
Dan Desa Simpang Narso[7]
Sedangkan
Adjektiva turunan berupa berafik ter seperti “mencil” yang ditandai dengan
seloko “beumo jauh betalang suluk, beadat dewek
pusako mencil[8]”
Selain
itu juga struktur Seloko Jambi menampilkan ciri-ciri dengan penggunaan
kata-kata magis, terdiri dari dua atau tiga suku kata.
Kata-kata
magis dilihat dari seloko di Marga Batin Pengambang yang menyebutkan
daerah-daerah yang dilindungi dengan seloko “Teluk sakti rantau betuah. Gunung Bedewo”[9].
Di Marga Sungai Tenang dikenal Seloko “Rimbo
Sunyi. Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis”.
Terdiri
dari tiga suku kata. Seperti Keayek bebungo pasir. ke darat bebungo kayu. ke Ladang bebungo emping. ke tembang bebungo emas
Atau
penghormatan terhadap pemimpin dengan seloko “ Alam sekato Rajo, Negeri sekato batin. Di Marga Sungai Tenang Desa Tanjung Alam ”Luak
Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang,
Negeri sekato nenek moyang[10].
Di
Marga Batang Asai Tengah dikenal Seloko Dimano bumi ditijak. disitu langit
dijunjung,Dimano tembilang dicacak, disitu tanaman tumbuh, Dimano
ranting dipatah disitu aiknyo disauk, dimano negeri dihuni, disitu adatnyo[11].
Di
Marga Kembang Paseban Desa Rantau Gedang dikenal “Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano biduk ditarik
disitu galang diletakkan, dimano akar ditetak disitulah aiknyo menetes”[12].
Sedangkan
proses penyelesaian persoalan Marga Sungai Tenang dikenal Seloko “Disitu
kusut diselesaikan. Disitu keruh
dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah.
Terdiri
dari dua suku kata. Di Marga Sungai Tenang, Desa Kotobaru dikenal
Bertangkap naik, Berjenjang turun”[13].
Begitu juga perumpamaan hukum adat yang ditandai dengan “Adat datar, pemakaian bebeda”.
Atau seloko Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri
bernenek mamak”[14]
Di Marga Serampas
dikenal “Tanah ajun. Tanah arah” [15]. Di Marga Sungai Tenang dikenal “tanah
irung. Tanah gunting[16]”
Didalam menyelesaikan persoalan, Marga Batin
Pengambang mengenal Seloko “Tegur Sapo. Tegur Ajar dan Guling Batang. Tiga Tali Sepilin”[17].
Atau
seloko “empang kerenggo di Marga
Bating Pengambang. Marga Kumpeh menyebutkan “larangan kerenggo”.
Di
daerah hilir dikenal “pancung alas”. Di
Marga Sungai Tenang dikenal Seloko “Larik terung, larik
kunyit, larik ceko” sebagai penanda tembo (batas) antara satu tempat dengan
tempat lain. Larik adalah dengan cara menaburkan kunyit sebagai batas yang
telah disepakati.
Sedangkan
terhadap pemimpin yang lalim selain ditandai dengan Seloko “Raja alim. Raja Disembah.
Raja lalim raja disanggah” juga dikenal Seloko “Jatuh
dipemanjat. Hanyut di perenang. Di daerah uluan Jambi dikenal Seloko “tegak tajur, ilir ke Jambi, Lipat pandang ke Minangkabau[18]
penggunaan
kata-kata khas pada Seloko dapat ditandai pada daerah-daerah tertentu. Di Marga
Batin Pengambang dikenal istilah Lambas” dan “Tuki”. Lambas
adalah pengecekan tempat yang mau dibuka, maka ditandai dengan cara sistem tuki.
Tuki berupa Pohon kayu silang. Atau
pohon dikupang-kupang sebagai tanda telah membuka rimbo[19].
Kata-kata yang dipengaruhi dari
Minangkabau ditandai dengan “Adat
bersendi syara’. Syara’ bersendikan kitabullah”[20].
Seloko seperti “menghadap ke hilir beraja ke Jambi. Balik mudik berajo ke Minangkabau”
atau “Mengilir berajo Jambi, lipat pandan
berajo ke Minangkabau” merupakan Seloko yang ditetapkan oleh Raja Indrapura
dan Raja Tanah Pilih. Ulu Kozok menyebutkan “sultan
Inderapura Muhamad Syah Johan tertanggal 23 Ramadan 124(?)6H atau 14 Juni
1830M, yang kini disimpan oleh Depati Muda di dusun Kemantan Barat (Tambo Kerintji No.
140). Dalam surat tersebut Kerinci disebut sebagai “tanah pertemuan raja antara
sultan Jambi dengan sultan Inderapura. Jika mengadap ia ke hilir, jadilah
beraja ke Jambi. Jika menghadap ia ke barat, ialah ke tanah Inderapura”[21].
Di Marga Sumay dikenal ”Datuk Perpatih penyiang rantau’. Sedangkan di Semambu mereka menyebutkan “Datuk Perpatih Tumenggung Penyiang Rantau[22]”.
”Datuk Perpatih” mengingatkan nenek
moyang di Minangkabau.
Selain itu dikenal istilah Datuk di Marga Datuk Nan Tigo, kata Penghulu di struktur sosial di hilir Jambi, ”tanah berjenang” atau ”luhak
berpenghulu”.
Cerita Jawa juga dikenal di Luak XVI,
Marga Batin Pengambang, Marga Batang Asai, Marga Air Hitam[23],
Marga Jujuhan[24]
yang ditandai dengan “Depati” atau rio”. Di Marga Maro Sebo ulu
dikenal “Ngebi” [25].
Di
Marga Sumay di Semambu mereka menyebutkan “Datuk
Perpatih Tumenggung Penyiang Rantau[26]”.Di
Desa Muara Sekalo dikenal “Tumenggung
Gamo”[27].
[1] Imam Suwardi Wibowo dkk, Struktur Adjektiva
Dan Adverbia Bahasa Melayu Jambi, Depdikbud,
Jakarta, 1996, Hal. 9
[2] Nurzuir Husin, dkk, Struktur
Bahasa Melayu Jambi, Depdikbud, Jakarta, 1985, Hal. 3
[3] Imam Suwardi Wibowo dkk, Struktur
Adjektiva Dan Adverbia Bahasa Melayu Jambi, Op.cit, Hal. 10
[4] Sungai Keradak, 27 Juli 2013
[5] Desa batu Empang, 2 April 2013
[6] Desa Tambak Ratu, 28 Juli 2013
[7] Simpang narso, 2 April 2013
[8] Riset Walhi Jambi, 2013
[9] LAPORAN RISET MARGA BATIN
PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
[10] Peraturan Desa Tanjung Alam No. 3 Tahun 2011 Tentang Piagam Depati Duo Menggalo
[11] Pengelolaan Sumber Daya Alam
Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi
Jambi, 2016, Hal. 5
[12] Buku Perjuangan Masyarakat Desa
Rantau Gedang, Walhi Jambi, 2011
[13] Perdes Kotobaru No. Tahun 2014 KEPUTUSAN
DEPATI SUKO DERAJO
[14] Perdes Kotobaru No. Tahun 2014 KEPUTUSAN
DEPATI SUKO DERAJO
[15]
Pasal 1 angka 25 Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat
Marga
Serampas.
[16] Riset Walhi Jambi, 2013
[17] LAPORAN RISET MARGA BATIN
PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
[18] Uli Kozok, Kitab Undang-undang Tanjung Tanah – Naskah Melayu
yang Tertua, Penerbit Yayasan Obor, Jakarta, 2006 , Hal 8
[19] LAPORAN RISET MARGA BATIN
PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
[22] Desa Semambu, 18 Maret 2013
[23] Muktar, Ketua Lembaga Adat Kecamatan
Air Hitam, Sarolangun, 24 Oktober 2017
[24] Eson, Rantau Panjang, 25 Agustus
2016
[26] Desa Semambu, 18 Maret 2013