Terlepas
dari Anies Baswedan atau Gatot Nurmantyo yang sudah mendeklarasikan sebagai
Bacapres (bakal Calon Presiden), Nama Jokowi dan Prabowo masih diunggulkan
berbagai lembaga survey sebagai kandidat kuat Calon Presiden. Dengan
memperhitungkan “head to head” Pilpres 2019
maka mata public kemudian dikonsentrasikan kepada “pendamping” Presiden
(baca Wakil Presiden).
Menyimak
nama-nama yang beredar maka menarik untuk kita pilah untuk melihat berbagai scenario
kemungkinan. Bukankah politik adalah “seni” kemungkinan.
Dengan
mengantongi dukungan resmi partai mendukung pilpres maka “untuk” sementara
Partai Demokrat masih menunggu “arah angin”. Meminjam istilah yang digunakan
oleh SBY yang akan memainkan “game changer” maka nama Agus Harimurti Yudhoyono
(AHY) untuk sementara kita ‘simpan” dulu.
Menurut
“dorongan dari berbagai pihak dan kabar angin” yang beredar, nama-nama seperti Mahmud,
MD, Muhaimin Iskandar, Tuan Guru Bajang Zainal Muhammad Zainul Majdi, Airlangga
Hartarto, Romahurmuziy, Sri Mulyani,
Moeldoko, Susi Puji Astuti. Nama-nama ini berseliweran di wacana public.
Dengan skor tertinggi yang
diunggulkan berbagai lembaga survey maka Mahmud, MD, Muhaimain dan TGB meraih
rangking tertinggi dibandingkan dengan yang lain.
Terlepas dari berbagai maneuver dari
partai-partai yang mewacanakan tentang “poros tengah”, nama-nama seperti Yusril
ihza Mahendra, Zulkifli Hasan belum mampu mengejar ketertinggalan dari
nama-nama sebelumnya.
Dengan menyimak latar belakang
nama-nama yang diunggulkan maka latar belakang ketiganya menarik untuk diikuti.
Mahfud dikenal ketua Mahkamah
Konstitusi periode 2008 – 2013. Melengkapi karir politiknya setelah sebelumnya
anggota DPR dan Menteri Pertahanan. Dengan lengkap karirnya (legislative,
eksekutif dan Yudikatif) membuat Mahfud mempunyai karir cemerlang dan lengkap.
Sebelumnya Mahfud dikenal sebagai
intelektual yang jenius. Dengan Disertasi yang kemudian dibukukan dengan judul “Politik
dan Hukum di Indonesia”, Mahfud mampu membongkar konfigurasi politik yang
menghasilkan peraturan perundang-undangan. Teori ini kemudian mampu
menjungkalkan teori hukum yang menganggap UU adalah produk hukum. Dengan jernih
Mahfud mampu membalikkan dengan “UU adalah produk politik’. Sebuah kejeniusan
yang mumpuni. Teori yang selalu diajarkan dalam mata kuliah magister hukum dan
program Paska sarjana.
Ketika memimpin MK, MK kemudian
mampu mengeluarkan putusan yang kemudian dikenal “keadilan substansif”. Sebuah
pergumulan membongkar kejahatan diberbagai Pilkada yang kemudian dikenal dengan
istilah “TSM’. Terstruktur, sistematis dan massif. Sebuah “jalan keluar” dari
pergumulan teknis administrasi “keadilan procedural” dari penghitungan
matematis KPU. Pergumulan yang suaranya semakin sayup terdengar lagi sekarang.
Sedangkan Muhaimin Iskandar dikenal
sebagai “anak muda” kaum nahdiyin yang lahir dari Rahim NU yang dikenal
moderat, jitu memainkan politik terkini dan mempunyai gagasan jauh kedepan.
Menghadapi “perpecahan” PKB,
Muhaimin Iskandar mampu menyelesaikan dan mampu membangkitkan optimism kaum
nahdiyin untuk berkiprah politik praktis. Berbagai gagasannya mampu ditangkap
kaum milenial yang sempat apatis berpolitik praktis. Tidak salah kemudian PKB
dikenal sebagai Partai Hijau yang menguasai isu-isu kontemporer dan menjadi
sandaran anak-anak muda.
Menyimak ketokohan TGB tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh kebesaran dari Nahdatul Wathon sebagai “darah biru”.
Selain dibesarkan dari tradisi santri yang kuat di NTB, TGB mempunyai gelar
bergengsi sebagai Martabah EL-Syaraf El Ula Ma`a Haqqutba atau Summa Cumlaude dari
kampus bergengsi. Universitas Al Azhar Kairo. Universitas yang sudah berdiri
sejak abad IX. Salah satu universitas tertua didunia.
Universitas yang juga melahirkan Quraish
Shihab. Penulis kitab “Tafsir Al Misbah”. 15 jilid dengan rata-rata setiap
jilid mencapai 600 hal. Sebuah kitab yang patut disejajarkan dengan Kitab Hamka
“Tafsir Al Azhar”.
Namun dalam pembicaraan ditengah masyarakat,
justru TGB “lebih jenius” dan menjadi tempat diskusi hangat Quraish Shihab.
Dengan melihat cara penyampaian Quraish Shihab diberbagai ceramah, maka saya
sulit membayangkan “kejeniusan” dari TGB sebagai tempat diskusi hangat dari
Quraish Shihab.
Ketiganya lahir tradisi pesantren
yang dapat mewakili wajah Islam. Memadukan ilmu dasar keagamaan (seperti kitab
kuning) namun mempunyai wawasan yang luas.
Sementara di kantong Prabowo, nama
Anies Baswedan bersama dengan AHY, Chairul Tanjung dan 9 orang kader yang
disodorkan oleh PKS.
Anies Baswedan dikenal tokoh muda
sebagai Rektor Universitas Paramadina. Sebuah universitas bergengsi yang
didirikan oleh Nurcholish Majid.
Sebagai cucu dari pejuang,
Abdurrahman Baswedan, bintangnya meroket dengan berbagai terobosan. Program “Indonesia
mengajar” mampu menginspirasi kaum kelas menengah agar bersedia mengajar di
daerah-darah terpencil. Sebuah terobosan jenius dari kesenjangan pendidikan.
Sebagai “juru kampanye” Jokowi,
ajakannya “memilih orang baik” mampu menghipnotis dan menggerakkan pemilih
muda. Jago berdebat dan mampu membalikkan serangan lawan. Berbagai kampanye
yang disodorkannya merupakan tema kampanye pilpres 2014.
Diluar nama-nama diatas seperti
Yusril Ihza Mahendra, Zulkifli Hasan, Moeldoko, Gatot, Sri Mulyani, Susi Puji
Astuti, Chairul Tanjung belum mampu menaikkan rating sebagaimana sering
dipaparkan oleh lembaga-lembaga survey.
Sedangkan AHY merupakan “kuda hitam”
yang menjadi “game changer’ oleh SBY. Sang arsitek ulung yang menguasai jagat
politik pilpres 2004 dan 2009. Sebuah penantian yang menarik untuk diikuti.
Begitu juga 9 nama yang disodorkan
oleh PKS belum menarik perhatian lembaga survey.
Terlepas dari siapapun yang terpilih
(dengan anekdot cawapres awalan huruf M) maupun Anies Baswedan tentu saja merupakan
intelektual muslim yang sudah teruji. Dan Indonesia mendapatkan berkah dari
kehadiran mereka di kancah pilpres 2019.
Semoga ide-ide brilian lahir dari pilpres
2019.
Pilihan Editor Kompasiana, 17 Juli 2018
Pilihan Editor Kompasiana, 17 Juli 2018