17 Juli 2018

opini musri nauli : NAMA DIKANTONG JOKOWI DAN PRABOWO



Terlepas dari Anies Baswedan atau Gatot Nurmantyo yang sudah mendeklarasikan sebagai Bacapres (bakal Calon Presiden), Nama Jokowi dan Prabowo masih diunggulkan berbagai lembaga survey sebagai kandidat kuat Calon Presiden. Dengan memperhitungkan “head to head” Pilpres 2019  maka mata public kemudian dikonsentrasikan kepada “pendamping” Presiden (baca Wakil Presiden).

Menyimak nama-nama yang beredar maka menarik untuk kita pilah untuk melihat berbagai scenario kemungkinan. Bukankah politik adalah “seni” kemungkinan.

Dengan mengantongi dukungan resmi partai mendukung pilpres maka “untuk” sementara Partai Demokrat masih menunggu “arah angin”. Meminjam istilah yang digunakan oleh SBY yang akan memainkan “game changer” maka nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk sementara kita ‘simpan” dulu.

Menurut “dorongan dari berbagai pihak dan kabar angin” yang beredar, nama-nama seperti Mahmud, MD, Muhaimin Iskandar, Tuan Guru Bajang Zainal Muhammad Zainul Majdi, Airlangga Hartarto,  Romahurmuziy, Sri Mulyani, Moeldoko, Susi Puji Astuti. Nama-nama ini berseliweran di wacana public.

Dengan skor tertinggi yang diunggulkan berbagai lembaga survey maka Mahmud, MD, Muhaimain dan TGB meraih rangking tertinggi dibandingkan dengan yang lain.

Terlepas dari berbagai maneuver dari partai-partai yang mewacanakan tentang “poros tengah”, nama-nama seperti Yusril ihza Mahendra, Zulkifli Hasan belum mampu mengejar ketertinggalan dari nama-nama sebelumnya.

Dengan menyimak latar belakang nama-nama yang diunggulkan maka latar belakang ketiganya menarik untuk diikuti.

Mahfud dikenal ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008 – 2013. Melengkapi karir politiknya setelah sebelumnya anggota DPR dan Menteri Pertahanan. Dengan lengkap karirnya (legislative, eksekutif dan Yudikatif) membuat Mahfud mempunyai karir cemerlang dan lengkap.

Sebelumnya Mahfud dikenal sebagai intelektual yang jenius. Dengan Disertasi yang kemudian dibukukan dengan judul “Politik dan Hukum di Indonesia”, Mahfud mampu membongkar konfigurasi politik yang menghasilkan peraturan perundang-undangan. Teori ini kemudian mampu menjungkalkan teori hukum yang menganggap UU adalah produk hukum. Dengan jernih Mahfud mampu membalikkan dengan “UU adalah produk politik’. Sebuah kejeniusan yang mumpuni. Teori yang selalu diajarkan dalam mata kuliah magister hukum dan program Paska sarjana.

Ketika memimpin MK, MK kemudian mampu mengeluarkan putusan yang kemudian dikenal “keadilan substansif”. Sebuah pergumulan membongkar kejahatan diberbagai Pilkada yang kemudian dikenal dengan istilah “TSM’. Terstruktur, sistematis dan massif. Sebuah “jalan keluar” dari pergumulan teknis administrasi “keadilan procedural” dari penghitungan matematis KPU. Pergumulan yang suaranya semakin sayup terdengar lagi sekarang.

Sedangkan Muhaimin Iskandar dikenal sebagai “anak muda” kaum nahdiyin yang lahir dari Rahim NU yang dikenal moderat, jitu memainkan politik terkini dan mempunyai gagasan jauh kedepan.

Menghadapi “perpecahan” PKB, Muhaimin Iskandar mampu menyelesaikan dan mampu membangkitkan optimism kaum nahdiyin untuk berkiprah politik praktis. Berbagai gagasannya mampu ditangkap kaum milenial yang sempat apatis berpolitik praktis. Tidak salah kemudian PKB dikenal sebagai Partai Hijau yang menguasai isu-isu kontemporer dan menjadi sandaran anak-anak muda.

Menyimak ketokohan TGB tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kebesaran dari Nahdatul Wathon sebagai “darah biru”. Selain dibesarkan dari tradisi santri yang kuat di NTB, TGB mempunyai gelar bergengsi sebagai Martabah EL-Syaraf El Ula Ma`a Haqqutba atau Summa Cumlaude dari kampus bergengsi. Universitas Al Azhar Kairo. Universitas yang sudah berdiri sejak abad IX. Salah satu universitas tertua didunia.

Universitas yang juga melahirkan Quraish Shihab. Penulis kitab “Tafsir Al Misbah”. 15 jilid dengan rata-rata setiap jilid mencapai 600 hal. Sebuah kitab yang patut disejajarkan dengan Kitab Hamka “Tafsir Al Azhar”.

Namun dalam pembicaraan ditengah masyarakat, justru TGB “lebih jenius” dan menjadi tempat diskusi hangat Quraish Shihab. Dengan melihat cara penyampaian Quraish Shihab diberbagai ceramah, maka saya sulit membayangkan “kejeniusan” dari TGB sebagai tempat diskusi hangat dari Quraish Shihab.

Ketiganya lahir tradisi pesantren yang dapat mewakili wajah Islam. Memadukan ilmu dasar keagamaan (seperti kitab kuning) namun mempunyai wawasan yang luas.

Sementara di kantong Prabowo, nama Anies Baswedan bersama dengan AHY, Chairul Tanjung dan 9 orang kader yang disodorkan oleh PKS.

Anies Baswedan dikenal tokoh muda sebagai Rektor Universitas Paramadina. Sebuah universitas bergengsi yang didirikan oleh Nurcholish Majid.

Sebagai cucu dari pejuang, Abdurrahman Baswedan, bintangnya meroket dengan berbagai terobosan. Program “Indonesia mengajar” mampu menginspirasi kaum kelas menengah agar bersedia mengajar di daerah-darah terpencil. Sebuah terobosan jenius dari kesenjangan pendidikan.

Sebagai “juru kampanye” Jokowi, ajakannya “memilih orang baik” mampu menghipnotis dan menggerakkan pemilih muda. Jago berdebat dan mampu membalikkan serangan lawan. Berbagai kampanye yang disodorkannya merupakan tema kampanye pilpres 2014.
Diluar nama-nama diatas seperti Yusril Ihza Mahendra, Zulkifli Hasan, Moeldoko, Gatot, Sri Mulyani, Susi Puji Astuti, Chairul Tanjung belum mampu menaikkan rating sebagaimana sering dipaparkan oleh lembaga-lembaga survey.

Sedangkan AHY merupakan “kuda hitam” yang menjadi “game changer’ oleh SBY. Sang arsitek ulung yang menguasai jagat politik pilpres 2004 dan 2009. Sebuah penantian yang menarik untuk diikuti.

Begitu juga 9 nama yang disodorkan oleh PKS belum menarik perhatian lembaga survey.

Terlepas dari siapapun yang terpilih (dengan anekdot cawapres awalan huruf M) maupun Anies Baswedan tentu saja merupakan intelektual muslim yang sudah teruji. Dan Indonesia mendapatkan berkah dari kehadiran mereka di kancah pilpres 2019.  

Semoga ide-ide brilian lahir dari pilpres 2019. 

Pilihan Editor Kompasiana, 17 Juli 2018