“Si Jago merah melalap hutan di
California”
Pikiran.com, 11 Desember 2017
Judul
provokatif dari media yang mengabarkan kebakaran hutan menggambarkan “keangkuhan”
api yang membakar hutan di California akhir tahun lalu. Menghanguskan 180.000
ha dan menghancurkan 792 bangunan.
Secara
sekilas berita yang diterima menggambarkan dahsyatnya api. Tidak terkendali dan
mampu meluluhlantakkan hutan. Tidak terpikir kemudian si pengabar berita
menggunakan kata “si jago merah’. Perumpamaan raksasa api yang tidak mampu
dikendalikan dan menggunakan kata “si jago merah”.
Penggunaan
“si jago merah” menggambarkan ketidakmampuan manusia mengendalikan api.
Penggunaan kata “Jago” adalah kedigdayaan api yang membesar dan membuktikan api
“lebih jago” dari manusia. Sebuah perumpamaan dengan padanaan kata dilekatkan “si
jago merah’. Kitapun menerima berita tanpa “reserve”.
Penggunaan
ungkapan “si jago merah” melambangkan penggunaan kata dengan efektif, terukur
dan mampu menggambarkan imajinasi dari pembaca. Tanpa “reserver” dengan mudah
kita menggambarkan bagaimana “ekor api’ kemudian menjalar kesana kemari. Dibawa
angina dan melalap apa yang bisa dibakar. Ungkapan yang sering kita temukan
dalam percakapan sehari-hari. Bahkan sering juga digunakan sebagai diksi
kalimat untuk menggambarkan pikiran dari sang penutur agar mudah ditangkap
pembaca.
Bangsa
Indonesia mempunyai kekayaan istilah, perumpamaan, pepatah yang berjibun. Dari
sabang hingga merauku. Masyarakat mampu bertutur dengan penggunaan istilah atau
perumpamaan yang kaya makna.
Dengan
jernih suara lirih pemangku adat dikampung mampu menjelaskan literasi dengan
baik. Mereka mampu bertutur sembari mengambil sehelai daun dengan memberikan
perumpamaan.
Lihatlah
bagaimana sikap tawadhu dengan perumpamaan ilmu padi. “Semakin berisi semakin
merunduk’. Atau “tetap menyebar kebaikan” dengan tetap menanam padi walaupun
tumbuh rumput. Sebuah peradaban agung yang diwariskan turun temurun.
Ungkapan,
istilah, perumpamaan, pepatah adalah tutur Bahasa yang menunjukkan derajat
bangsa. Dengan penggunaan ungkapan, perumpamaan, pepatah merupakan sebuah kalimat
yang singkat namun sarat makna. Tanpa “reserve”, pesan mudah ditangkap
sekaligus mengukur daya khayal tinggi dari pemberitaan.
Namun
akhir-akhir ini penggunaan ungkapan, istilah, perumpamaan kemudian “dipelintir’
menjadi makna “letterlijk” atau memaknai “apa adanya”. Jauh dari makna hakiki.
Lihatlah
kata “Tapi, kalau diajak
berantem juga berani”, yang diucapkan oleh Jokowi kemudian “dipenggal”
dan kemudian “dipelintir” ajakan berantem. Bahkan “digoreng” sebagai perkataan “tidak
nasionalis” dan tidak pantas diucapkan seorang Presiden.
Memenggal ““Tapi,
kalau diajak berantem juga berani”, tanpa melihat kalimat sebelumnya
adalah pemiskinan dan pendangkalan makna. Penggalan kalimat tanpa menelusuri
kalimat sebelumnya menggambarkan sang pembaca gagal menangkap esensi dari
maksud dari sang pemberi kalimat.
Gaduh ““Tapi,
kalau diajak berantem juga berani” melengkapi polemic “Islam Nusantara”, seakan-akan
membumbung ke angkasa. Menembus langit ketidakpahaman. Persis kisah Dodo yang
pernah diceritakan. Kering makna.
Literasi, memperdalam pengetahuan,
memperbanyak bertanya (tabayyun), berdiskusi sembari mendengarkan menjadi
barang kemewahan. Praktis tidak hidup lagi untuk memperkaya sebuah tema.
Lihatlah. Dunia maya kemudian disesaki
berjubel informasi sesat, sempit dan kering makna. Antara kabar kabur (hoax)
bersileweran dan mengaburkan esensi berita. Provokasi membenarkan perbuatan
yang bertentangan kemanusiaan “seakan-akan” mendapatkan pembenaran. Entah
dengan mendukung terorisme atau cerita tentang wangi bidadari sebagai dukungan
terhadap pelaku terorisme.
Setiap hari produksi sampah kebencian.
Mengambil (capture) tanpa pernah melakukan klarifikasi kepada informasi resmi.
Mengutip media abal-abal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Bahkan yang lebih ironis. Justru
pelakunya adalah kelas menengah. “Kaum’
yang mengenyam pendidikan tinggi, mengakses informasi dengan baik dan kehidupan
keluarga yang terpandang. Tidak ada “akal sehat’ untuk menjadi “filter” dari
kabar yang diterima.
Kengganan Memperbanyak literasi,
memperkaya gagasan menyebabkan kemunduran peradaban agung bangsa Indonesia.
Sebuah anomali kelas di Indonesia.
Dimana masyarakat yang tinggal-tinggal di kampong mempunyai literasi penggunaan
istilah, pengungkapan, pepatah, perumpamaan yang agung didalam memaknai
kehidupan.
Berbanding terbalik dengan kelas
menengah di Indonesia yang justru terkungkung pemikiran sempit, dangkal dan
jauh dari esensi sebuah peristiwa.
Setelah heboh “bumi datar’ dalam ilmu alam , angka
7 juta dalam penghitungan konyol matematika dalam aksi di kawasan monas maka
literasi Bahasa juga mengalami titik nadir memalukan.
Atau inikah yang sering diingatkan
para Guru ngaji. Tidak boleh durhaka kepada guru. Karena ilmu kemudian diangkat
oleh Tuhan ke langit. Dan dunia kemudian menjadi gelap ?
Tau, ah. Gelap.