“Adek Lio. Mama mau nonton”, ujar istriku.
“Dedek dak mau. Mau nonton spongbob”, protes sang Bungsu tidak rela.
Istriku
diam. Sambil menggerutu dia meninggalkan ruang tengah.
Suasana
pertengkaran yang tidak berkesudahan. Keduanya menunjukkan sikapnya. Keduanya tidak
mau mengalah.
Akupun
mengajak istriku keluar rumah. Sembari memanaskan mobil, “Hayo kita keluar. Makan lontong”, bujukku.
Sang
Bungsu menunjukkan sikapnya. 5 hari menjalani full day school, hari minggu
adalah hari libur. Dia betul-betul menikmatinya. “Bukankah selama 5 hari yang
lalu, ibunya sudah sering nonton tanpa diganggu. Bukankah 5 hari yang lalu,
sang bungsu sama sekali tidak mengganggu ibunya.
Sang
Ibu juga menunjukkan sikapnya. Bukankah 6 hari kerja kemudian menikmati minggu
pagi adalah sebuah kemewahan. Dia penasaran akhir dari cerita film India.
Sebuah cerita untuk menyegarkan diri setelah seminggu padat. Atau mengembalikan
ceria untuk memasuki hari senin.
Begitulah
pertengkaran hari minggu Pagi dirumahku. Sebuah pertengkaran yang harus “dilokalisir”
hingga tidak meledak. Sembari mencari waktu mencari “jalan keluar”.
Sebagai
sang Bungsu aku mengibaratkan sebagai minoritas. Pikirannya masih pendek dan
sederhana. Interestnya “cuma menonton TV”. Bukankah cuma hari minggu adalah “kesempatannya’.
Lalu mengapa kemudian dia harus dikalahkan.
Sebagai
istri aku mengibaratkan sebagai mayoritas. Berkuasa menggunakan anggaran. Bisa
menentukan “makanan” apa yang dihidangkan hari ini. Termasuk juga menentukan ‘suasana
rumah”. Sehingga sudah saatnya juga menikmati “istirahat” setelah pekerjaannya
menyita waktu. Termasuk juga mengelola managemen keuangan. Sang istri begitu
berkuasa.
Lha.
Aku ?
He..
he.. He. Sebagai Kepala Keluarga (hasil
kesepakatan ya. Bukan diskriminasi), aku harus mengatur irama. Agar mayoritas
tidak boleh menindas minoritas. Aku harus memperhatikan agar minoritas bisa
bersuara.
Selain
itu aku juga harus menghindarkan “bujukan” atau “rayuan” dari istri untuk
memihaknya. Itu harus kuhindarkan. Agar sang minoritas tidak terkesan.
Aku
juga harus memastikan agar istriku tidak menggunakan “kekuasaan” mayoritas
untuk “petantang-petenteng’ menunjukkan kuasanya. Menunjukkan kekuasaan dengan
mengancam, meneror kepada minoritas. Bahkan aku juga harus memastikan agar yang
“lebih berkuasa” tidak boleh menerakkan “suara keras” terhadap minoritas.
Begitu
juga terhadap sang bungsu. Aku membujuk agar dia tidak menggunakan caranya.
Entah dengan Ngambek, ngamuk atau uring-uringan akan bisa dilakukan. Sebagai
bentuk protes terhadap “ketidakadilan”.
Suasana
rumah bisa heboh. Sang bungsu bisa lari ke kamar. Atau bisa saja diajak ngomong
namun enggan melayani.
Demikianlah
kita dalam kehidupan social. Suara minoritas harus didengarkan. Bahkan dalam
berbagai kesempatan, suara-suara anak muda lebih didengarkan dalam rapat-rapat
RT. Karena merekalah sebagai “kepak rambai hululabang”, atau “kermit’.
Mengangkat yang berat. Menjemput yang tinggal.
Bahkan
Majelis Hakim sebelum memutuskan didalam rapat permusyawaratan Hakim” selalu
mendengarkan pendapat dari Hakim yang paling muda. Barulah kemudian disusul
hakim selanjutnya. Kemudian Ketua Majelis diberikan kesempatan terakhir
memberikan pandangannya.
Dalam
lapangan HAM kemudian dikenal kelompok minoritas dan kelompok rentan. Seperti
disable, perempuan, anak dan Masyarakat adat kemudian mendapatkan “keistimewaan”
yang dikenal sebagai Hak kemudahan dan perlakuan khusus (affirmative action).
Didalam disable, affirmative action
dalam fasilitas public ditandai dengan fasilitas khusus. Entah dengan lift
khusus, jalan yang visible ditempuh. Belum lagi bahan bacaan yang memuat aksara
braile. Bahkan dalam urusan “boarding”, diutamakan dan didahulukan menaiki
pesawat.
Sedangkan perempuan kemudian berhak
untuk menikmati cuti haid, cuti melahirkan termasuk juga ruangan untuk
menyusui.
Begitu juga dengan anak. Perkaranya
lebih cepat sepertiga dari waktu pada perkara umum, didampingi orangtua maupun
psikolog dan petugas dari negara, sidang yang tertutup untuk umum. Bahkan
seluruh penegak hukum tidak dibenarkan menggunakan toga. Hanya menggunakan
pakaian yang sopan dipengadilan.
Sedangkan untuk Masyarakat Adat maka
harus diakui termasuk hak-hak tradisionalnya.
Begitu juga yang dilakukan Jokowi.
Konsentrasi untuk mengejar daerah-daerah tertinggal dalam infrastruktur
kemudian dikebut selama 4 tahun terakhir ini. Jokowi tidak peduli apakah “suaranya”
cuma sedikit untuk berkaitan dengan politik. Jokowi adalah tipikal “orang tua”
yang baik untuk memperhatikan “masyarakat minoritas” yang abai dalam
pembangunan.
Mau dimana nurani apabila masih
mendengarkan suara-suara di timur yang tidak ada listrik, harga BBM yang
tinggi, semen yang menjulang tinggi. Bukankah begitu memang tugas dari negara ?
Membangun dari ujung barat dengan ujung Timur Indonesia. Dari Sabang sampai
Merauke. Dari Miangas sampai ke Pulau Rote.
Mendengarkan dan melindungi
minoritas adalah hakekat kemanusiaan. Ada yang menyebutkan “toleransi’. Namun
saya lebih suka menyebutkan Fitrah sebagai manusia. Dan bersifat universal.
Bukan keseimbangan antara minoritas
dengan mayoritas adalah seni kehidupan. Bukankah “akurnya” yang tua dengan yang
muda dunia menjadi indah. Bukankah
seloko Jambi menyebutkan “Elok negeri dek
yang tuo. Ramai negeri dek yang mudo”.
Akur
khan.
Setelah
pulang memakan lontong diluar, sang bungsu malah sibuk dengan mainannya. Bahkan
memberikan remote TV sembari kemudian meninggalkan sang istriku.
Ah.
Pertengkaran kecil minggu pagi kemudian mengajarkan. Konflik selalu ada. Namun
konflik harus dikelola untuk dapat diselesaikan.
Besok-besok
harus rapat besar nih. Sambil mengatur jam menonton untuk si bungsu. Dan jam
menonton si bungsu harus mengalah.
Akupun
meneruskan membaca buku sembari mendengarkan raungan gitar. Dari Pemusik BB
King.