25 Oktober 2018

opini musri nauli : Seh bari dalam pemikiran 3 marga


Ketika M.C. Richlefs menuliskan “Seh Bari” sebagai ulama yang dituliskan dari G.W.J Drewes, naskah yang berbahasa Jawa yang berisikan ajaran-ajaran Islam abad XVI didalam master piecenya “Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004”[1], ingatan saya langsung terbayang kepada tutur di Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap dan Marga Senggrahan.

Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap dan Marga Senggrahan termasuk kedalam Luak XVI. Bersama dengan Marga Serampas, Marga Sungai Tenang dan Marga Peratin Tuo.
Dalam bukunya “Djambi”, Tideman menyebutkan “Luak XVI merupakan federasi. Luak XVI merupakan 10 Marga di Kerinci dan 6 Marga di Bangko. Bersama-sama dengan Serampas, Sungai Tenang, Peratin Tuo, Tiang Pumpung, Renah Pembarap mengaku berasal dari Mataram (Jawa)[2].  Tideman kemudian menyebutkan “Senggrahan termasuk kedalam Sungai Manau”. Senggrahan bersama-sama dengan Pratin Tuo dan Mesoemai[3].

Marga Tiang Pumpung, marga Renah Pembarap dan Marga Senggrahan mengaku sebagai “Serampas rendah”. Sedangkan di Marga 5 Koto menyebutkan “Serampeh rendah”[4]. Marga 5 Koto terdapat di Sungai Ipuh, Muko-muko, Bengkulu.

Hubungan kekerabatan dengan Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap ditandai dengan seloko “Gedung di tiang pumpung, Pasak di Pembarap. Dan kunci di Senggrahan[5].

Mereka mengaku keturunan dari Sri Saidi Malin Samad. Sri Saidi Malin Samad mempunyai saudara Siti Baiti dan Syech Raja. Syech Raja diakui sebagai “puyang” Renah Pembarap. Sedangkan Siti Baiti “puyang” Marga Tiang Pumpung. Dalam dialek yang berbeda Siti baiti di Marga Senggrahan kemudian dikenal sebagai Syech Beti” di Marga Renah Pembarap.

Marga Tiang Pumpung terdiri dari Dusun Muara Siau, Dusun Pulau Raman, Dusun Sekancing, Dusun Baru, Dusun Jelmu, Dusun Muara Sakai, Dusun Beringin Sanggul dan Dusun Renah Manggis.

Di Muara Siau dikenal Depati Manjuang, Depati Agung di Pulau Raman, Rio Depati di Sekancing, Depati Purbo Alam di Dusun Baru, Renah Jelmu, Muara Sakai, Beringin Sanggul dan Renah Manggis. Depati Permai Yudo di Pulau Bayur, Depati Suko Berajo di Selango[6]

Marga Renah Pembarap terdiri dari Dusun Palegai Panjang, Dusun Air Batu, Dusun Baru. Dusun Parit, Dusun Kebun.

Didalam Marga Renah Pembarap dikenal Depati Mangku Rajo dan Depati Mangku Mudo dengan pusat Marga Renah Pembarap di Guguk. Keduanya kemudian dikenal sebagai “Datuk Duo Silo”[7].

Dusun Air Batu dipimpin oleh Depati Karang Seni, Dusun Baru dipimpin Purbogede, Dusun Parit dipimpin oleh Depati Melindau. Dusun Palegai panjang kemudian dikenal sebagai Desa Guguk.

Tembo Marga Renah Pembarap kemudian ditetapkan oleh Raja Jambi yaitu Sultan Anom Seri Mogoro yang disebut tanah Depati atau  Tanah Batin[8] Yang ditandai dengan Piagam Lantak Sepadan yang menyatakan wilayah Marga Renah Pembarap[9]. Menurut Datuk H Abubakar didalam tulisannya “Masyarakat Adat Guguk Jambi”, Piagam Lantak Sepadan  bertarikh 1170 h/1749 Masehi. Dalam silsilah Raja Jambi, periode 1740-1770 dipimpin oleh Sultan Astra Ingologo[10].

Sedangkan Marga Senggrahan terdiri dari Dusun Kandang, Dusun Lubuk Beringin, Dusun Lubuk Birah dan Dusun Durian Rambun. Setiap dusun dipimpin pemangu Pemerintahan yang diberi gelar. Depati Tiang Menggalo di Dusun Kandang, Depati Surau Gembala Halim di Dusun Klipit, Depati Kurawo di dusun Lubuk Beringin, Depati Renggo Rajo di Lubuk Birah dan Rio Kemunyang di Dusun Durian Rambun. Nama Rio Kemunyang kemudian dijadikan nama Hutan Desa.[11]

Marga Tiang Pumpung dan Marga Renah Pembarap menjadi Kecamatan Tiang Pumpung dan Kecamatan Renah Pembarap. Sedangkan Marga Senggrahan kemudian termasuk kedalam Kecamatan Muara Siau.

Apabila melihat penuturan dari Marga Renah Pembarap dan Marga Senggrahan tentang Siti Baiti (Marga Senggrahan) atau “Syech Beti” (Marga Renah Pembarap) “Puyang” mereka berasal dari Jawa Mataram, maka Siti Baiti atau Syech Beti kemudian merujuk kepada Seh Bari sebagai ulama sebagaimana dituliskan oleh oleh G. W. J Drewes.

Mengikuti jejak naskah yang berbahasa Jawa yang berisikan ajaran-ajaran Islam abad XVI yang menyebutkan Seh Bari merupakan ulama yang berangkat dari pertimbangan metafisik dan etos asketik yang berasal dari mistik Islam, tasawuf yang merupakan pemikiran yang tumbuh didunia islam Suni.

Kitab yang diwariskan oleh Seh Bari mengedepankan mistik islam, tasawuf dan sufi merupakan jejak dari peradaban Islam pada awal-awal penyebarannya di Jawa.

Dengan demikian maka sejarah Islam di pedalaman Jambi kemudian berangkat dari tasawuf dan sufi. Sebuah bukti kedatangan Islam yang damai dari pendekatan keimanan ditengah masyarakat. Yang kemudian kelak dipersoalkan menjadi penuh bidah dan kurafat yang mendorong munculnya gerakan-gerakan pembaruan besar pada abad XIX dan XX. 

Dimuat di www.jamberita.com, 26 Oktober 2018

http://jamberita.com/read/2018/10/26/4955/seh-bari-dalam-pemikiran-3-marga-/



            [1] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, Penerbit Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2007, Hal. 45.
[2] Djambi, bewerkt door J. Tideman, met medewerking, Bruk de Bussy, 1938,  , Hal. 134
[3] Djambi, bewerkt door J. Tideman, met medewerking, Bruk de Bussy, 1938,  , Hal, 131
            [4] Sungai Ipuh, 15 Juli 2016
[5] Seloko ini juga disebutkan oleh Samsuddin, Lembaga Adat Kecamatan Renah Pembarap, Guguk, 16 Maret 2016
            [6] Sargawi didalam bukunya “Lintasan Sejarah Depati Sembilan Tiang Pumpung, tanpa tahun
[7] Guguk, 16 Maret 2016
[8] Lindayanti, “Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat Plural, Jambi 1970-2012
[9] Guguk, 16 Maret 2016
[10] Barbara Watson Andaya, Hidup Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad XVII – XVIII, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2016, Hal. 290
[11] Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kelembagaan dan Pengelolaan Hutan Desa Rio Kemunyang Desa Durian Rambun