Ketika
M.C. Richlefs menuliskan “Seh Bari” sebagai ulama yang dituliskan dari G.W.J
Drewes, naskah yang berbahasa Jawa yang berisikan ajaran-ajaran Islam abad XVI
didalam master piecenya “Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004”[1],
ingatan saya langsung terbayang kepada tutur di Marga Tiang Pumpung, Marga
Renah Pembarap dan Marga Senggrahan.
Marga
Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap dan Marga Senggrahan termasuk kedalam Luak
XVI. Bersama dengan Marga Serampas, Marga Sungai Tenang dan Marga Peratin Tuo.
Dalam
bukunya “Djambi”, Tideman menyebutkan “Luak
XVI merupakan federasi. Luak XVI merupakan 10 Marga di Kerinci dan 6 Marga di
Bangko. Bersama-sama dengan Serampas, Sungai Tenang, Peratin Tuo, Tiang
Pumpung, Renah Pembarap mengaku berasal dari Mataram (Jawa)[2]. Tideman kemudian menyebutkan “Senggrahan termasuk kedalam Sungai Manau”.
Senggrahan bersama-sama dengan Pratin Tuo dan Mesoemai”[3].
Marga
Tiang Pumpung, marga Renah Pembarap dan Marga Senggrahan mengaku sebagai “Serampas
rendah”. Sedangkan di Marga 5 Koto menyebutkan “Serampeh rendah”[4].
Marga 5 Koto terdapat di Sungai Ipuh, Muko-muko, Bengkulu.
Hubungan
kekerabatan dengan Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap ditandai dengan
seloko “Gedung di tiang pumpung, Pasak di
Pembarap. Dan kunci di Senggrahan[5].
Mereka mengaku keturunan dari Sri
Saidi Malin Samad. Sri Saidi Malin Samad mempunyai saudara Siti Baiti dan Syech
Raja. Syech Raja diakui sebagai “puyang” Renah Pembarap. Sedangkan Siti Baiti
“puyang” Marga Tiang Pumpung. Dalam dialek yang berbeda Siti baiti di Marga
Senggrahan kemudian dikenal sebagai Syech Beti” di Marga Renah Pembarap.
Marga Tiang Pumpung terdiri dari
Dusun Muara Siau, Dusun Pulau Raman, Dusun Sekancing, Dusun Baru, Dusun Jelmu,
Dusun Muara Sakai, Dusun Beringin Sanggul dan Dusun Renah Manggis.
Di Muara Siau dikenal Depati
Manjuang, Depati Agung di Pulau
Raman, Rio Depati di Sekancing, Depati Purbo Alam di Dusun Baru, Renah Jelmu,
Muara Sakai, Beringin Sanggul dan Renah Manggis. Depati Permai Yudo di Pulau
Bayur, Depati Suko Berajo di Selango[6]
Marga
Renah Pembarap terdiri dari Dusun Palegai Panjang, Dusun Air Batu, Dusun Baru.
Dusun Parit, Dusun Kebun.
Didalam
Marga Renah Pembarap dikenal Depati Mangku Rajo dan Depati Mangku Mudo dengan
pusat Marga Renah Pembarap di Guguk. Keduanya kemudian dikenal sebagai “Datuk
Duo Silo”[7].
Dusun
Air Batu dipimpin oleh Depati Karang Seni, Dusun Baru dipimpin Purbogede, Dusun
Parit dipimpin oleh Depati Melindau. Dusun Palegai panjang kemudian dikenal
sebagai Desa Guguk.
Tembo
Marga Renah Pembarap kemudian ditetapkan oleh Raja Jambi yaitu Sultan Anom Seri
Mogoro yang disebut tanah Depati atau
Tanah Batin[8]
Yang ditandai dengan Piagam Lantak Sepadan yang menyatakan wilayah Marga Renah
Pembarap[9].
Menurut Datuk H Abubakar didalam tulisannya “Masyarakat Adat Guguk Jambi”,
Piagam Lantak Sepadan bertarikh 1170
h/1749 Masehi. Dalam silsilah Raja Jambi, periode 1740-1770 dipimpin oleh
Sultan Astra Ingologo[10].
Sedangkan
Marga Senggrahan terdiri dari Dusun Kandang, Dusun Lubuk Beringin, Dusun Lubuk
Birah dan Dusun Durian Rambun. Setiap dusun dipimpin pemangu Pemerintahan yang
diberi gelar. Depati Tiang Menggalo di Dusun Kandang, Depati Surau Gembala
Halim di Dusun Klipit, Depati Kurawo di dusun Lubuk Beringin, Depati Renggo
Rajo di Lubuk Birah dan Rio Kemunyang di Dusun Durian Rambun. Nama Rio
Kemunyang kemudian dijadikan nama Hutan Desa.[11]
Marga
Tiang Pumpung dan Marga Renah Pembarap menjadi Kecamatan Tiang Pumpung dan
Kecamatan Renah Pembarap. Sedangkan Marga Senggrahan kemudian termasuk kedalam
Kecamatan Muara Siau.
Apabila
melihat penuturan dari Marga Renah Pembarap dan Marga Senggrahan tentang Siti
Baiti (Marga Senggrahan) atau “Syech Beti” (Marga Renah Pembarap) “Puyang”
mereka berasal dari Jawa Mataram, maka Siti Baiti atau Syech Beti kemudian
merujuk kepada Seh Bari sebagai ulama sebagaimana dituliskan oleh oleh G. W. J
Drewes.
Mengikuti
jejak naskah yang berbahasa Jawa yang berisikan ajaran-ajaran Islam abad XVI
yang menyebutkan Seh Bari merupakan ulama yang berangkat dari pertimbangan
metafisik dan etos asketik yang berasal dari mistik Islam, tasawuf yang
merupakan pemikiran yang tumbuh didunia islam Suni.
Kitab
yang diwariskan oleh Seh Bari mengedepankan mistik islam, tasawuf dan sufi
merupakan jejak dari peradaban Islam pada awal-awal penyebarannya di Jawa.
Dengan
demikian maka sejarah Islam di pedalaman Jambi kemudian berangkat dari tasawuf
dan sufi. Sebuah bukti kedatangan Islam yang damai dari pendekatan keimanan
ditengah masyarakat. Yang kemudian kelak dipersoalkan menjadi penuh bidah dan
kurafat yang mendorong munculnya gerakan-gerakan pembaruan besar pada abad XIX
dan XX.
Dimuat di www.jamberita.com, 26 Oktober 2018
http://jamberita.com/read/2018/10/26/4955/seh-bari-dalam-pemikiran-3-marga-/
Dimuat di www.jamberita.com, 26 Oktober 2018
http://jamberita.com/read/2018/10/26/4955/seh-bari-dalam-pemikiran-3-marga-/
[5] Seloko ini juga disebutkan oleh
Samsuddin, Lembaga Adat Kecamatan Renah Pembarap, Guguk, 16 Maret 2016
[7]
Guguk, 16 Maret 2016
[8] Lindayanti, “Konflik dan
Integrasi dalam Masyarakat Plural, Jambi 1970-2012
[9] Guguk, 16 Maret 2016
[10] Barbara Watson Andaya, Hidup
Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad XVII – XVIII, Penerbit Ombak,
Yogyakarta, 2016, Hal. 290
[11] Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kelembagaan dan
Pengelolaan Hutan Desa Rio Kemunyang Desa Durian Rambun