17 Oktober 2018

opini musri nauli : Mencari jejak tindak pidana korporasi



Ketika mendatangi KPK tahun 2010, desakan kepada KPK agar menerapkan tindak korporasi dalam kejahatan sumber daya alam begitu kuat. Melihat kerusakan SDA diakibatkan oleh korporasi maka desakan merupakan dari kejengkelan terhadap pelaku dari perusahaan yang diterapkan cuma pertanggungjawaban pribadi. Selain tidak mampu mengembalikan kerusakan, pertanggungjawaban korporasi kemudian belum mampu memberikan efek jera.

Desakan kemudian disuarakan tahun 2015 melihat pemegang izin IUP ternyata banyak yang dinyatakan belum “clear and clean’. Namun dalam praktek tindak pidana korporasi belum banyak menjadi wacana yang kuat. Padahal Tindak pidana yang berkaitan dengan SDA jelas-jelas mencantumkan “tindak pidana korporasi’

Namun asa itupun kembali bersinar. Tertangkapnya Direktur Operasional Lippo Group dalam kasus rasuah bersama-sama dengan Bupati Bekasi dan petinggi Kabupaten membuat keinginan KPK untuk menerapkan tindak pidana korporasi menarik untuk dicermati.

Dalam uraian terhadap peristiwa OTT KPK di Bekasi maka pemberi adalah Direktur Operasional Lippo Group,  konsultan Lippo Group, pegawai Lippo Group. Pasal yang dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sedangkan penerima adalah Bupati Bekasi,  Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi, Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Bekasi), dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi. Pasal yang dikenakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau Pasal 12 B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sahuri L dalam Disertasinya “Pertanggungjawaban Korporasi dalam Perspektif Kebijakan hukum Pidana Indonesia” menjelaskan “Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa pertanggungjawaban korporasi harusnya mempunyai kesalahan, dan juga perbuatan itu diatur didalam perundang-undangan yang berlaku. Dengan menggunakan definisi yang disampaikan oleh Dr. Sahuri, maka terhadap tindak pidana korupsi harus diterapkan terhadap pertanggungjawaban korporasi. Tidak tepatnya menerapkan pertanggungjawaban korporasi selain mengakibatkan terdakwa haruslah dibebaskan (vrijpraak), maka justru akan mengakibatkan beban tanggung jawab korporasi hanya dialihkan kepada tanggung jawab individu (naturlijkee person).

Dalam praktek, terhadap terdakwa hanya disebutkan sebagai Direktur suatu Korporasi. Namun tidak diterangkan, perbuatan terdakwa sebagai korporat yang bertindak untuk dan atas nama korporasi mewakili korporasi. Ketidaktepatan menempatkan dan mencampurkanadukkan antara pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban pribadi (naturlijkee person) mengakibatkan, didalam system hukum menjadi rancu. Apakah kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan pidana sebagai pribadi (naturlijkee person) atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi (Recht person).

Dalam doktrin, kejahatan yang berkaitan dengan tubuh dan jiwa yang tidak dapat diterapkan tindak pidana korporasi.

Mahkamah Agung sejak tahun 2016 memberikan perhatian penuh terhadap tindak pidana korporasi. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi mengatur tentang korporasi dapat dipidana. Pertama, mendapatkan keuntungan dari tindak pidana yang dilakukan atas kepentingan korporasi. Kedua, pembiaran terjadinya tindak pidana. Ketiga, tidak mencegah terjadinya tindak pidana.

Untuk membangun konstruksi hukum tindak pidana korporasi dalam kasus rasuah di Bekasi dapat dilihat berbagai fakta-fakta.

Pertama. Direktur Operasional melakukan “suap” kepada petinggi Kabupaten tidak mungkin bertindak sendiri. Baik menggunakan dana yang besar yang telah disalurkan yang mencapai Rp 7 milyar dari Rp 13 Milyar commitment fee yang dijanjikan.

Dengan menggunakan dana sebesar itu, maka Direktur Operasional adalah “operator” dari rangkaian permufakatan jahat (deelneming) dari pihak korporasi.

Sebagai orang penting di Lippo Group, apapun tindakan dari Direktur Operasional merupakan hasil dari rangkaian permufakatan jahat (deelneming) dari pihak korporasi. Atau dengan kata lain, Direktur Operasional menjadi pihak penting dan bertindak atas nama korporasi untuk membangun “kongkalikong” dengan pihak Pemda Bekasi.

Dengan melihat besarnya dana yang telah dikeluarkan dan posisi penting dari Direktur Operasional Lippo Group, maka Direktur Operasional Lippo Group sudah mengkonfirmasikan terhadap “bekerjanya” korporasi dalam “kongkalikong”.

Kedua. Diturunkannya Direktur Operasional Lippo Group sebagai “wakil resmi” dari korporasi maka “rangkaian dari jaringan” Lippo Group menganggap begitu penting terhadap urusan “bertemu dengan pihak Pemda Bekasi. Selain mengkonfirmasikan terhadap bekerjanya jaringan Lippo Group, hasil permufakatan jahat (deelneming) dari Lippo Group merupakan “perencanaan yang matang”.

Dari fakta ini kemudian sudah menggambarkan bagaimana “korporasi’ menjadi badan hukum yang bertindak sebagai “recht person” sebagai pihak untuk memenuhi unsur didalam sebagai pemberi suap.

Dengan melihat pasal yang dikenakan terhadap Direktur Operasional yaitu Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor, maka unsur “setiap orang” tidak semata-mata terhadap diri Direktur Operasional sebagai orang perseorangan (naturlijkee person).  Namun kapasitas Direktur Operasional sebagai perwakilan dari korporasi (Recht person).

Walaupun dugaan “keterlibatan” Lippo Group sebagai tindak pidana korporasi bukan pertama kali setelah sebelumnya PT. Duta Graha Indonesia dan yang teranyar seperti BUMN PT. Nindya Karya, putusan terhadap tindak pidana korporasi menarik untuk diikuti.


* Advokat. Tinggal di Jambi