Ketika
mendatangi KPK tahun 2010, desakan kepada KPK agar menerapkan tindak korporasi
dalam kejahatan sumber daya alam begitu kuat. Melihat kerusakan SDA diakibatkan
oleh korporasi maka desakan merupakan dari kejengkelan terhadap pelaku dari
perusahaan yang diterapkan cuma pertanggungjawaban pribadi. Selain tidak mampu
mengembalikan kerusakan, pertanggungjawaban korporasi kemudian belum mampu
memberikan efek jera.
Desakan
kemudian disuarakan tahun 2015 melihat pemegang izin IUP ternyata banyak yang
dinyatakan belum “clear and clean’. Namun dalam praktek tindak pidana korporasi
belum banyak menjadi wacana yang kuat. Padahal Tindak pidana yang berkaitan
dengan SDA jelas-jelas mencantumkan “tindak pidana korporasi’
Namun
asa itupun kembali bersinar. Tertangkapnya Direktur Operasional Lippo Group dalam
kasus rasuah bersama-sama dengan Bupati Bekasi dan petinggi Kabupaten membuat keinginan
KPK untuk menerapkan tindak pidana korporasi menarik untuk dicermati.
Dalam
uraian terhadap peristiwa OTT KPK di Bekasi maka pemberi adalah Direktur
Operasional Lippo Group, konsultan Lippo
Group, pegawai Lippo Group. Pasal yang dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau
Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sedangkan penerima adalah Bupati
Bekasi, Kepala Dinas PUPR Kabupaten
Bekasi, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi, Kepala Dinas DPMPTSP
Kabupaten Bekasi), dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi. Pasal
yang dikenakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau Pasal
12 B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto
Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto
Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sahuri L dalam Disertasinya
“Pertanggungjawaban Korporasi dalam Perspektif Kebijakan hukum Pidana
Indonesia” menjelaskan “Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa
pertanggungjawaban korporasi harusnya mempunyai kesalahan, dan juga perbuatan
itu diatur didalam perundang-undangan yang berlaku. Dengan menggunakan definisi
yang disampaikan oleh Dr. Sahuri, maka terhadap tindak pidana korupsi harus
diterapkan terhadap pertanggungjawaban korporasi. Tidak tepatnya menerapkan
pertanggungjawaban korporasi selain mengakibatkan terdakwa haruslah dibebaskan
(vrijpraak), maka justru akan mengakibatkan beban tanggung jawab korporasi
hanya dialihkan kepada tanggung jawab individu (naturlijkee person).
Dalam praktek, terhadap terdakwa hanya disebutkan sebagai Direktur suatu Korporasi. Namun tidak diterangkan, perbuatan terdakwa sebagai korporat yang bertindak untuk dan atas nama korporasi mewakili korporasi. Ketidaktepatan menempatkan dan mencampurkanadukkan antara pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban pribadi (naturlijkee person) mengakibatkan, didalam system hukum menjadi rancu. Apakah kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan pidana sebagai pribadi (naturlijkee person) atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi (Recht person).
Dalam doktrin, kejahatan yang berkaitan
dengan tubuh dan jiwa yang tidak dapat diterapkan tindak pidana korporasi.
Mahkamah Agung sejak tahun 2016 memberikan
perhatian penuh terhadap tindak pidana korporasi. Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) No. 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi
mengatur tentang korporasi dapat dipidana. Pertama, mendapatkan
keuntungan dari tindak pidana yang dilakukan atas kepentingan korporasi. Kedua,
pembiaran terjadinya tindak pidana. Ketiga, tidak mencegah terjadinya
tindak pidana.
Untuk membangun konstruksi hukum tindak pidana korporasi dalam kasus rasuah di Bekasi dapat dilihat berbagai fakta-fakta.
Pertama. Direktur Operasional
melakukan “suap” kepada petinggi Kabupaten tidak mungkin bertindak sendiri.
Baik menggunakan dana yang besar yang telah disalurkan yang mencapai Rp 7
milyar dari Rp 13 Milyar commitment fee yang dijanjikan.
Dengan menggunakan dana sebesar itu,
maka Direktur Operasional adalah “operator” dari rangkaian permufakatan jahat
(deelneming) dari pihak korporasi.
Sebagai orang penting di Lippo
Group, apapun tindakan dari Direktur Operasional merupakan hasil dari rangkaian
permufakatan jahat (deelneming) dari pihak korporasi. Atau dengan kata lain,
Direktur Operasional menjadi pihak penting dan bertindak atas nama korporasi
untuk membangun “kongkalikong” dengan pihak Pemda Bekasi.
Dengan melihat besarnya dana yang
telah dikeluarkan dan posisi penting dari Direktur Operasional Lippo Group,
maka Direktur Operasional Lippo Group sudah mengkonfirmasikan terhadap “bekerjanya”
korporasi dalam “kongkalikong”.
Kedua. Diturunkannya Direktur
Operasional Lippo Group sebagai “wakil resmi” dari korporasi maka “rangkaian
dari jaringan” Lippo Group menganggap begitu penting terhadap urusan “bertemu
dengan pihak Pemda Bekasi. Selain mengkonfirmasikan terhadap bekerjanya
jaringan Lippo Group, hasil permufakatan jahat (deelneming) dari Lippo Group
merupakan “perencanaan yang matang”.
Dari fakta ini kemudian sudah
menggambarkan bagaimana “korporasi’ menjadi badan hukum yang bertindak sebagai “recht
person” sebagai pihak untuk memenuhi unsur didalam sebagai pemberi suap.
Dengan melihat pasal yang dikenakan
terhadap Direktur Operasional yaitu Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1
huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor, maka unsur “setiap orang” tidak semata-mata
terhadap diri Direktur Operasional sebagai orang perseorangan (naturlijkee
person). Namun kapasitas Direktur
Operasional sebagai perwakilan dari korporasi (Recht person).
Walaupun dugaan “keterlibatan” Lippo
Group sebagai tindak pidana korporasi bukan pertama kali setelah sebelumnya PT.
Duta Graha Indonesia dan yang teranyar seperti BUMN PT. Nindya Karya, putusan
terhadap tindak pidana korporasi menarik untuk diikuti.
* Advokat. Tinggal di Jambi