05 November 2018

opini musri nauli : Subyektum Yuris


Menurut Staatsblad Tahun 1927 No. 91 “Desa, Suku, Nagari, Wakaf dan Yayasan” merupakan badan hukum sebagai subyek hukum (subyektum Yuris). Sebagai badan hukum maka Desa atau Marga atau famili kemudian memiliki organisasi yang tegas dan rapi.

Dalam lapangan hukum adat, Desa sebagai badan hukum (subyektum yuris) kemudian mempunyai hubungan erat dengan tanah dan bersifat religio-magis[1]. Dengan demikian maka memperoleh hak untuk menguasai tanah. Kemudian dikenal hak pertuanan atau hak ulayat. Van Vollenhoven kemudian menyebutkan “beschkkingsrecht”.

Dengan demikian maka Marga atau Batin atau Mendapo kemudian menjadi badan hukum yang bertindak sebagai subyek hukum (subyektum yuris). Dengan kekuasaan yang meliputi dan dibatasi yang kemudian dikenal Tembo.

Ditengah masyarakat Melayu Jambi dikenal Hukum  Rimbo dan  Hukum Patanahan.

Hukum Rimbo mengatur pantang larang seperti mengatur daerah yang tidak boleh dibuka maupun pengaturan tentang larangan terhadap tanaman.

Seloko seperti “Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo,[2], Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/RImbo Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus[3], “Imbo Pseko[4], “rimbo bulian”, “Bukit tepanggang” [5], “Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo[6], hutan adat 
Pengulu Laleh, hutan adat Rio Peniti, hutan adat 
Pengulu Patwa, hutan adat Pengulu Sati, hutan adat 
Rimbo Larangan, hutan adat Bhatin Batuah, hutan adat 
Paduka Rajo, hutan adat Datuk Menti Sati, hutan adat 
Datuk Menti, hutan adat Imbo Pseko, hutan adat 
Imbo Lembago, “Rimbo batuah[7]”, Hutan lindung batu Kerbau, Hutan lindung Belukar Panjang[8], “Rimbo sunyi, Rimbo Berpenghulu, Ulu Sungai/Rimbo Ganuh[9], hutan keramat, Tanah Penggal, Bulian Bedarah, Bukit Selasih, Pasir Embun”[10], hutan larangan, sialang pendulangan, lupak pendanauan, beduangan dan tunggul pemarasan[11] dan Desa Semambu[12], “Pantang padang, Bukit Siguntang, Gulun, Tepi Sungai, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan dan beduangan[13], “Daerah Sungai Menggatal, Kedemitan yang terletak didalam bukit 30, Sungai Sako, Talang Betung, Sungai Semerantihan, Sungai Kupang yang terletak di Pemandian gajah, Lubuk Laweh, Sungai Beringin, Pengian Hilir, Sungai Pauh, Pangian Ulu, Kemumu, Bukit Tambun Tulang, Hutan Keramat, Lupak Pendanauan, Pinang Belaian, Mendelang, Rimbo Siaga, Rimbo Lampau-lampau.[14], “Bukit Bakar”[15], Tano Peranakon,, Tano Pasoron, Tano Terban, Sentubung Budak, Balo Balai, Balo Gajah, Inum-inuman, Tempelanai, Hutan hantu pirau. “Payo” atau “payo dalam”, Suak[16], Lopak, Lubuk, Danau, rongkat,[17]”, adalah nama tempat yang tidak boleh dibuka. Biasa dikenal Pantang larang.

Selain itu juga pantang larang tumbuhan yang tidak boleh dipanjat atau ditebang.  Tanaman yang tidak boleh ditebang seperti durian, petai, cempedak hutan, kayu sengkawang, kabau, enau, landor rambai, tampui, mampaung, tayas, manggis, jering (jengkol), dan baungan. Dan hewan yang tidak boleh diburu seperti Harimau, macan, beruang, anjing hutan, tapir (tenok), kucing hutan, ungko, siamang, burung gading (termasuk seluruh burung-burung yang dilarang)[18] atau “Pohon Durian, pohon embacang tidak boleh dipanjat. Ikan tidak boleh diracun. Burung gagak tidak boleh diambil[19].

Di Marga Jujuhan dilkenal “memanjat langsat larangan[20]. Di Marga Sungai Tenang dikenal Nutuh Kepayang Nubo Tepian . Selain itu dikenal Seloko seperti Petai dak boleh ditutuh, durian dak boleh dipanjat. Di Marga Sumay istilah “Membuka pebalaian”[21]. Di Talang Mamak dikenal Langsat-durandan, Manggis-Manggupo[22], Durian-Kepayang, Sialang-Pendulangan, Sesap-Belukar, Suak-Sungai, Lupai Pendanauan[23].  Selain itu dikenal istilah Titak Tikal Embang. Titak adalah pohon yang sekali ditebang langsung putus. Tikal adalah pohon yang direbahkan. Sedangkan Embang adalah bekas belukar. Belukar adalah tanah yang sudah dibuka namun kemudian ditinggalkan.

Di Marga Kumpeh Ulu dikenal Pudak. Pudak adalah sebangsa tumbuh-tumbuhan yaitu sebangsa Pandan yang berduri tapam pada pinggir kiri dan kanan daunnya. Pandan berduri kemudian disebutkan Pudak. Pudak dibutuhkan masyarakat untuk membuat barang ke humo. Daunnya berguna. Duri daun untuk penangkal berang-berang dan tikus di sawah[24].

Hak pemangku adat dikenal didalam seloko seperti “ke aek bebungo pasir. Ke darat bebungo kayu”. Di Marga Pangkalan Jambi dikenal “ke aek bebungo pasir. Ke darat bebungo Kayu. Ke tambang bebungo emas” [25]. Di Marga Sungai Tenang Desa Tanjung Benuang dikenal Ke aek Bebungo Pasir, kedarat bebungo kayu. Adat samo diisi, Tembago Sama  dituang. Berat sama di pikul, ringan sama dijinjing. Sedangkan di Desa Muara Madras dikenal “uang padang” [26].  

Selain itu juga dikenal menarik “cukai” atau “penyerahan hasil buruan”. Hewan buruan yang diperoleh penduduk maka  diberikan 5 canting dagingnya diberikan untuk kepala adat, kalau mendapatkan Rusa diberikan 1 gantang dagingya untuk kepala adat. Demikian juga mendapatkan ikan, burung, kancil dan sebagainya. Sedangkan penduduk luar dusun, kalau penduduk dari luar dusun yang mendapatkan kijang atau rusa maka daging paneh untuk nenek mamak setempat[27].

Dengan penyerahan “hasil buruan”, maka apabila pemburu tersesat dihutan maka penghulu adat dapat mengumpulkan warga agar bersama-sama mencarinya.

Di Timur Jambi daerah Hilir Marga Kumpeh, “pancung alas” selain diartikan sebagai “pamit ke penghulu” juga sebagai “cukai” kepada pemangku adat.

Istilah Pancung alas dapat ditemukan Di Jambi[28], Tanjung Jabung Timur[29] dan Tanjung Jabung Barat[30]. Istilah “pancung alas” mengandung arti. Di Jambi[31] Pancung alas kemudian memperoleh persetujuan/izin dari Demang[32]. Atau membuka hutan[33]. Di Pesisir Riau, pancung alas adalah sewa tanah[34]. Seperti di Bangkinang[35].

Sedangkan di Sumatera Selatan dikenal sebagai penebasan dan pembersihan hutan Ilir[36] seperti di Ogan Ilir[37], Sekayu[38], Kayu Agung[39]

istilah “pancung alas” biasa dikenal dalam model mengenai  tanah. Arti Pancung yaitu “ujung atau penjuru”. Namun pancung kemudian diartikan sebagai memancung/me-man-cung/ menetak (memenggal) puncak (kepala dan sebagainya). Namun dalam istilah pancung kemudian diartikan “memotong hingga putus”. Sedangkan alas diartikan sebagai “dasar, fondasi” dari posisi rumah.

Dengan demikian, maka pancung diartikan sebagai “menandai pohon diujung sebagai batas tanah yang diberikan kepada masyarakat.

Diluar dari prosesi diatas maka dikenal beumo jauh betalang suluk, beadat dewek pusako mencil”. Terhadap kesalahan kemudian dijatuhi sanksi. Sedangkan apabila dijatuhi sanksi namun tidak dipatuhi dikenal “Plali”. Ditandai dengan Seloko ”Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang, Berayam pada kuawo.

Selain badan hukum sebagai subyek hukum (subyektum Yuris) juga dikenal manusia sebagai subyektim yuris[40]. Manusia sebagai subyektum yuris mempunyai hak atas tanah. Tentang milik bersama masyarakat yang ditandai dengan Seloko “Keayek samo diperikan, kedarat sama di perotan.

Setelah dilakukan penentuan wilayah yang tidak boleh dibuka (pantang larang) (daerah yang tidak boleh dibuka atau diganggu)”, maka kemudian dikenal daerah untuk pertanian (cencang latih[41]  atau peumoan[42]), untuk perkebunan (jambu keloko[43], petanang[44]) dan untuk pemukiman (plabo umah atau sepenegak rumah).

Terhadap hak atas tanah kemudian  hak atas tanah dan tanaman tumbuh. Tanah kemudian dirawat. Apabila tanah kemudian tidak dirawat maka terhadap tanahnya menjadi hilang. Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah Seloko yang menunjukkan tanah yang telah dibuka maka harus ditanami.

Dimuat di www.jamberita.com, 5 November 2018

http://jamberita.com/read/2018/11/05/5292/subkyektum-yuris-/





            [1] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Penerbit CV. Haji Masagung, Jakarta, 1967, Hal. 198.
            [2] Desa batu Empang, 2 April 2013
            [3] Desa batu Empang, 2 April 2013
            [4] Peraturan Desa Napal Melintang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Adat.
[5] Sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Sarolangan dan kabupaten Merangin
            [6] SK Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002 Tentang Pengukuhan hutan adat Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo Desa Pulau tengah Kec. Jangkat.
            [7] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat.
            [8] Keputusan Bupati BUngo Nomor 1249 Tahun 2002 Tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo
            [9] Peraturan Desa Gedang No.  Tahun 2011Tentang Keputusan Adat istiadat Depati Suka Merajo
            [10] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012. Lihat juga PERDES  NO 2 TAHUN 2012 Tentang KEPUTUSAN ADAT KETURUNAN DATUK DOMANG MUNCAK KOMARHUSIN
            [11] Muara Sekalo, Maret 2013
            [12] Desa Semambu, 18 Maret 2013
            [13] Desa Suo-suo, 21 Maret 2013
            [14] Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
            [15] Dusun Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsyah, Tebo, 22 Agustus 2016
[16] Suak dikenal sebagai “Sungai Mati”. Menunjukkan sungai yang tidak mengalir . Desa Sungai Beras, 10 Februari 2018.
[17] Hasil Riset Walhi, 2016
            [18] Desa Sungai Keradak, 27 Juli 2013
            [19] Peraturan Desa Tanjung Alam  No. 3 Tahun 2011 Tentang  Piagam Depati Duo Menggalo
            [20] Eson, Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
            [21] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012. Lihat juga PERDES  NO 2 TAHUN 2012 Tentang KEPUTUSAN ADAT KETURUNAN DATUK DOMANG MUNCAK KOMARHUSIN
            [22] Manggis adalah tanaman yang ditanami. Sedangkan Manggupo adalah tanaman manggis yang tumbuh sendiri di hutan.
            [23] Lupak merupakan danau yang tercipta dengan sendirinya dari proses alam.  Sedangkan pendanauan adalah genangan air berupa danau. Sesap adalah belukar yang baru ditinggalkan. Sedangkan  belukar adalah semak yang sudah lama ditinggalkan namun masih terdapat tanaman tua seperti durian, macang, jengkol. Peninggalan dari “puyang’. Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
            [24] Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan dalam Pemeliharan Lingkungan Hidup daerah Propinsi jambi, Hal. 19
[25] Zulkifli, Birun, 7 Agustus 2016
[26] Profile Desa Muara Madras Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
[27] Riset Walhi Jambi, 2013, Hal. 35
            [28] Putusan Mahkamah Agung Nomor 273 K/Pdt/2014 tanggal 17 Juli 2014
            [29] Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur Nomor 01/Pdt.G/2014/PN.Tjt tanggal 14 Juli 2014. Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor 732/Pid.B/2015/PN.Jmb dikuat berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Jambi Nomor 17/Pid/2016/PT.JMB
            [30] Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor 06/Pdt.G/2013/PN.Ktl tanggal 26 September 2013
            [31] Putusan Mahkamah Agung Nomor 273 K/Pdt/2014 tanggal 17 Juli 2014
            [32] Putusan Mahkamah Agung Nomor 273 K/Pdt/2014 tanggal 17 Juli 2014
            [33] Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor 06/Pdt.G/2013/PN.Ktl tanggal 26 September 2013
            [34] Husni Thamrin, Zulfan Saam, ECO-RELIGIO-CULTURE SUATU ALTERNATIF PENGELOLAAN LINGKUNGAN, AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
            [35] Pengadilan Negeri Bangkinang Nomor 224/Pid.B/2015/PN Bkntanggal 27 AGUSTUS 2015
            [36] Pengadilan Negeri Palembang Nomor 98 / PID / 2012 / PT.PLG
tanggal 28 JUNI 2012
            [37] Pengadilan Negeri Palembang Nomor 98 / PID / 2012 / PT.PLG
tanggal 28 JUNI 2012
            [38] Putusan pengadilan Negeri Sekayu Nomor 30/Pdt.G/2012/PN.Sky tanggal 2 Juli 2013 dan  15/Pdt.G/2011/PN.Sky tanggal 02 JANUARI 2012
            [39] Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 98 / PID / 2012 / PT.PLG 
tanggal 28 JUNI 2012
[40]  Hal. 103.
[41] Riset Walhi Jambi, 2013. Hal. 25
            [42] Walhi, Kelola Rakyat Atas Ekosistem Rawa Gambut : Pelajaran Ragam Potret Dan Argumen Tanding, Walhi, 2016
[43] Riset Walhi Jambi, 2013. Hal. 25
            [44] Walhi, Kelola Rakyat Atas Ekosistem Rawa Gambut : Pelajaran Ragam Potret Dan Argumen Tanding, Walhi, 2016