04 November 2018

opini musri nauli : Jangan lawan generasi milenial


Generasi milenial dikategorikan sebagai penduduk Indonesia yang berusia 18 tahun – 45 tahun. Diperkirakan menguasai jumlah pemilih 40% dari mata pilih di Indonesia.

Milenial ditandai generasi yang hidup dalam dunia gadget, tidak terpisah dari informasi dari dunia maya, menguasai informasi, hidup dari kemudahan fasilitas yang disediakan oleh teknologi.

Mereka menguasai berbagai informasi, hidup dari kemudahan informasi yang membuat mereka mudah membaca informasi yang tersebar, mengecek jejak digital. Bahkan sekat-sekat politik yang menjemukan mampu mereka kuasai dengan konsep-konsep yang diluar perkiraan.

Mereka tidak mau terlibat polemic tentang macetnya Jakarta ataupun pelayanan angkutan umum yang tidak baik. Namun dengan daya gelegar, konsep angkutan online seperti go-jek, grab mampu meluluhlantakan perusahaan blue bird yang menguasai angkutan Jakarta lebih dari 20 tahun.

Atau mereka dengan kalem kemudian membungkam seven eleven, Ramayana yang kemudian tutup akibat pindahnya “jual beli online”.

Dasar orang tua. Jejak digital yang terekam didunia maya tidak mampu juga menjadi pelajaran.

Masih ingat dengan tulisan Anggito Abimanyu di Kompas yang berjudul “Menggagas Asuransi Bencana” ?

Ternyata tulisan dengna judul yang sama telah dituliskan oleh Hatbonar Sinaga di kolom kompasiana.

Publik kemudian terkejut. Tulisan di kompasiana kemudian menyambar tiga sasaran sekaligus. Kompas yang teledor memuat tulisan, Anggito Abimanyu sebagai ekonom yang mumpuni bahkan Anggito Abimanyu yang kebetulan saat itu menjadi pejabat penting negara.

Terlepas dari mundurnya Anggito Abimanyu dari UGM, jejak digital memang tidak bisa diremehkan. Dan dunia digital merekam jejak dengna baik.  

Yang paling teranyar tentu saja kisah melodrama tentang issu hoax yang dilontarkan Ratna Sarumpaet tentang kisah pemukulan yang mendera wajahnya.

Terlepas dari pengakuan Ratna Sarumpaet yang mengaku tidak pernah menyatakan hoax (sembari menunggu kasus ini sedang bergulir), namun huru-hara politik yang dikemas dengan konferensi pers namun kemudian meminta maaf keesokan harinya adalah peristiwa memalukan dalam jagat politik kontemporer.

Terbongkarnya hoax dimulai dari ‘mata jeli” dari netizen dengan melihat wallpaper dinding Rumah sakit yang menampilkan wajah Ratna Sarumpaet.

Dengan melihat ketidaklaziman dari wallpaper, jejak digital kemudian mampu membongkar kasus ini. Pihak kepolisian yang mampu mengendus “kebohongan” kemudian melihat kasus ini lebih sederhana. Baik dengna mendatangi ke bandara, mendatangi seluruh rumah sakit yang menerima korban UGD. Akhirnya kemudian diketahui dari daftar buku tamu, ternyata Ratna Sarumpaet mengadakan operasi plastic yang kemudian mudah diketahui dari register buku tamu. Bahkan polisi memiliki bukti terhadap kedatangan Ratna Sarumpaet.

Lagi-lagi jejak digital tidak mudah dibohongi.

Belum usai mengikuti kisah melodrama tentang hoax pemukulan Ratna Sarumpaet, disaat duka mendalam terhadap musibah pesawat Lion, Cawapres, Sandiaga Uno (Sandi) kemudian pernah mengaku naik pesawat dua minggu yang lalu ke Pangkal Pinang.

Namun lagi-lagi seorang netizen Dhieka Setyawan kemudian menelusuri jejak digital terhadap penerbangan pesawat dengan kode PK-LQP selama bulan oktober.

Dengan melampirkan gambar yang memuat penerbangan ke Pangkal Pinang berasal dari flightaware.com, dengan gambar juga sekaligus membongkar dan menunjukkan bahwa tidak ada penerbangan ke Pangkal Pinang yang dilakukan oleh pesawat Lion Air dengan nomor registrasi PK-LQP dalam jangka waktu tiga minggu sebelum jatuh di perairan Tanjung Karawang pada hari Senin tanggal 29 Oktober 2018.

Lagi-lagi kaum milenial mampu menunjukkan jejak digital untuk melihat persoalan lebih utuh.

Mengapa kita tidak belajar dari kekuatan milenial yang menguasai jagat dunia maya ?