Generasi
milenial dikategorikan sebagai penduduk Indonesia yang berusia 18 tahun – 45 tahun.
Diperkirakan menguasai jumlah pemilih 40% dari mata pilih di Indonesia.
Milenial
ditandai generasi yang hidup dalam dunia gadget, tidak terpisah dari informasi
dari dunia maya, menguasai informasi, hidup dari kemudahan fasilitas yang
disediakan oleh teknologi.
Mereka
menguasai berbagai informasi, hidup dari kemudahan informasi yang membuat
mereka mudah membaca informasi yang tersebar, mengecek jejak digital. Bahkan
sekat-sekat politik yang menjemukan mampu mereka kuasai dengan konsep-konsep
yang diluar perkiraan.
Mereka
tidak mau terlibat polemic tentang macetnya Jakarta ataupun pelayanan angkutan
umum yang tidak baik. Namun dengan daya gelegar, konsep angkutan online seperti
go-jek, grab mampu meluluhlantakan perusahaan blue bird yang menguasai angkutan
Jakarta lebih dari 20 tahun.
Atau
mereka dengan kalem kemudian membungkam seven eleven, Ramayana yang kemudian
tutup akibat pindahnya “jual beli online”.
Dasar
orang tua. Jejak digital yang terekam didunia maya tidak mampu juga menjadi
pelajaran.
Masih
ingat dengan tulisan Anggito Abimanyu di Kompas yang berjudul “Menggagas
Asuransi Bencana” ?
Ternyata
tulisan dengna judul yang sama telah dituliskan oleh Hatbonar Sinaga di kolom
kompasiana.
Publik
kemudian terkejut. Tulisan di kompasiana kemudian menyambar tiga sasaran
sekaligus. Kompas yang teledor memuat tulisan, Anggito Abimanyu sebagai ekonom
yang mumpuni bahkan Anggito Abimanyu yang kebetulan saat itu menjadi pejabat
penting negara.
Terlepas
dari mundurnya Anggito Abimanyu dari UGM, jejak digital memang tidak bisa
diremehkan. Dan dunia digital merekam jejak dengna baik.
Yang
paling teranyar tentu saja kisah melodrama tentang issu hoax yang dilontarkan Ratna
Sarumpaet tentang kisah pemukulan yang mendera wajahnya.
Terlepas
dari pengakuan Ratna Sarumpaet yang mengaku tidak pernah menyatakan hoax
(sembari menunggu kasus ini sedang bergulir), namun huru-hara politik yang
dikemas dengan konferensi pers namun kemudian meminta maaf keesokan harinya
adalah peristiwa memalukan dalam jagat politik kontemporer.
Terbongkarnya
hoax dimulai dari ‘mata jeli” dari netizen dengan melihat wallpaper dinding
Rumah sakit yang menampilkan wajah Ratna Sarumpaet.
Dengan
melihat ketidaklaziman dari wallpaper, jejak digital kemudian mampu membongkar
kasus ini. Pihak kepolisian yang mampu mengendus “kebohongan” kemudian melihat
kasus ini lebih sederhana. Baik dengna mendatangi ke bandara, mendatangi
seluruh rumah sakit yang menerima korban UGD. Akhirnya kemudian diketahui dari
daftar buku tamu, ternyata Ratna Sarumpaet mengadakan operasi plastic yang
kemudian mudah diketahui dari register buku tamu. Bahkan polisi memiliki bukti
terhadap kedatangan Ratna Sarumpaet.
Lagi-lagi
jejak digital tidak mudah dibohongi.
Belum
usai mengikuti kisah melodrama tentang hoax pemukulan Ratna Sarumpaet, disaat
duka mendalam terhadap musibah pesawat Lion, Cawapres, Sandiaga Uno (Sandi)
kemudian pernah mengaku naik pesawat dua minggu yang lalu ke Pangkal Pinang.
Namun
lagi-lagi seorang netizen Dhieka Setyawan kemudian menelusuri jejak digital
terhadap penerbangan pesawat dengan kode PK-LQP selama bulan oktober.
Dengan
melampirkan gambar yang memuat penerbangan ke Pangkal Pinang berasal dari flightaware.com,
dengan
gambar juga sekaligus membongkar dan menunjukkan bahwa tidak ada penerbangan ke
Pangkal Pinang yang dilakukan oleh pesawat Lion Air dengan nomor
registrasi PK-LQP dalam jangka waktu tiga minggu sebelum jatuh di perairan
Tanjung Karawang pada hari Senin tanggal 29 Oktober 2018.
Lagi-lagi kaum milenial mampu
menunjukkan jejak digital untuk melihat persoalan lebih utuh.
Mengapa kita tidak belajar dari
kekuatan milenial yang menguasai jagat dunia maya ?