KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN
INDONESIA[1]
Musri Nauli[2]
Negara tropis kok pakai fosil ?”
Demikian
percakapan saya dengan teman-teman Friend of Earth (FOE)[3]
di Eropa, pada saat mengikuti COP 21 di Paris, November 2015.
Pertanyaan
itu menggelitik dan mengganggu saya. Pertanyaan yang menggugat sekaligus
mempertanyakan pandangan negara disektor ekonomi terbarukan.
Negara
Jerman yang hanya mengenal musim panas pada Bulan Juni, Juli dan berakhir bulan
Agustus kemudian mengenal energ1 terbarukan adalah angin. Jerman mampu
menargetkan menurunkan emisi GRK sesuai protocol hingga 40% (2020) dan 80%-95%
(2050). Bandingkan pada tahun 1990, menyumbang emisi mencapai 974 juta ton.
Di
Belanda, musim panas cuma bulan Juni hingga September. Namun transportasi Kereta
Api di Belanda tahun 2018 mampu menggunakan energ1 terbarukan sebanyak 100%
dari angin.
Bayangkan,
mereka hanya mempunyai sinar matahari selama 4 bulan namun mampu bersandarkan
kepada teknologi dari angina. Sebuah ironi di Indonesia yang setiap hari
disinari matahari. Seharian dan terus menerus.
Sebagai
negeri yang diberi kekayaan luar biasa sumberdaya alam sebagaimana seloko Jambi
“Padi menjadi. Rumput hijau, kerbo gepuk.
Ke aek cemeti keno, ke darat durian gugur”, Indonesia masih sangat
tergantung energi dari fosil. Entah Minyak, gas ataupun batubara.
Batubara
menyumbang 28%, gas alam 23% dari total energi[4].
Kebijakan terhadap sumber-sumber energi terbarukan masih sedikit. 12,52% tahun
2017[5].
Sumber energi terbarukan hanya pada geoterman, tenaga air, sinar matahari dan angin.
Kebijakan negara dalam energi terbarukan
dapat dilihat didalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber daya Alam Mineral No.
12 Tahun 2017 (Permen ESDM). Didalam Permen ESDM, energi terbarukan terdiri
dari sinar matahari, angin, tenaga air, biomassa, sampah kota dan panas bumi.
Permen ESDM yang bersandarkan kepada
PP No. 79 Tahun 2014 (PP No.79 Tahun 2014) kemudian mematok target tahun 2025, energi
baru dan energi terbarukan mencapai 23 % (2025 dan 31 % (2050). Sekaligus
mengurangi pemakaian fosil kurang 25 % (2025) dan 20% (205) untuk minyak bumi,
30% (2025) dan 25% (2050) untuk batubara dan 22% (2025) hingga 24% (205) untuk
gas bumi[6].
Penggunaan energi terbarukan selain mewujudkan
ketahanan energi negara juga bertujuan untuk menurunkan emisi CO2 sebagaimana
komitmen Pemerintah RI sebesar 29% di COP[7]
21 di Paris, November 2015.
Komitmen
Pemerintahan Indonesia dapat ditandai dengan optimistis mencapai 23% (2015).
Baik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listri Tenaga Air
(PLTA) dan pembangkit listrik Tenaga Panas Bumi yang memiliki potensi mencapai
29 gigawatt (GW). Walaupun hingga tahun 2017 baru mencapai 11,9%.[8]
Melihat
target ambisius dari Pemerintah Republik Indonesia maka kebijakan ini harus
didukung. Selain mengurangi pemakaian fosil, menggunakan potensi energi terbarukan
yang dapat menyelamatkan bumi dan pengurangan CO2.
Ditengah
masyarakat, teknologi energi terbarukan merupakan keniscayaan yang tidak dapat
dihindarkan.
Melihat
rentang jauhnya akses untuk mendapatkan listrik, penduduk yang sedikit maka penggunaan
listrik konvensional menjadi tidak relevan. Selain biaya besar untuk pemasangan
listrik, jumlah penduduk yang sedikit, jauhnya jalur, membuat energi listrik dikonsentrasikan menggunakan
arus air sungai.
Di
24 Desa Merangin telah mengenal Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH).
Dengan satu mesin pembangkit listrik untuk satu desa, maka desa kemudian dapat
diterangi.
Selain
itu, masyarakat yang telah mendapatkan penerangan dari PLTMH juga
berkepentingan menjaga hulu sungai. Selain memastikan arus air untuk menggerakan
turbin, kepentingan menjaga hutan menjadi lestari.
Di
Dusun Simarantihan, Desa Suo-suo, masyarakat Suku Talang Mamak telah mengenal
panel surya setiap rumah penduduk. Cukup untuk menerangi malam hari.
Di
Bangka Belitung, Walhi Bangka Belitung telah bekerjasama dengan FoE Korea
Selatan untuk menggunakan panel surya di 4 Desa.
Namun
penggunaan energi terbarukan masih menjadi teknologi mahal, sulit mendapatkan,
kesulitan suku cadang dan belum menjadi kebijakan nasional yang kuat.
Pemakaian
energi konvesional digedung-gedung bertingkat di kota besar masih menggunakan energi
fosil. Pemerintah belum kuat untuk memaksa pemakaian energi terbarukan atau
mengurangi pemakaian energi dari fosil di kota-kota besar.
Disisi
lain, teknologi energi terbarukan belum menjadi kebutuhan massal. Selain
kesulitan untuk mendapatkan teknologi dan alatnya di rumah-rumah penduduk, energi
terbarukan belum menjadi pengetahuan publik.
Pemerintah
harus bekerja keras membangun industri untuk memproduksi teknologi energi
terbarukan sehingga dapat diproduksi massal untuk memenuhi pasar domestik.
Teknologi murah, dapat dijangkau oleh masyarakat, tersedia dipasar. Sehingga
dapat mempercepat penggunaan teknologi energi terbarukan.
Publik
harus diberikan edukasi, informasi untuk menggunakan energi terbarukan. Pengetahuan
ini harus diimbangi dengan informasi yang terus menerus. Tidak cukup dengan
kampanye “hemat listrik” sebagai slogan mengurangi pemakaian fosil.
Sudah
saatnya kita beralih meninggalkan teknologi energi konvensional seperti minyak,
gas dan batubara.
Apabila
hingga menjelang tahun 2020, kita belum mampu memproduksi teknologi energi
terbarukan secara massal, maka kita tidak mungkin lagi mengejar ketertinggalan
untuk memenuhi pasokan energi terbarukan menjelang tahun 2025.
Sehingga
slogan “negara tropis kok pakai fosil”
adalah kritikan dan sikap ambigu bangsa Indonesia yang justru harus menikmati
kemewahan menikmati matahari.
[7]
The Conference of the Parties (COP) adalah pertemuan dunia
di Paris 2015. Sering juga disebut sebagai COP 21. Indonesia berkomitmen
menurukan emisi karbon (CO2) sebesar 29%. COP merupakan program lembaga PBB, The
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) paska pertemuan
Rio De Janerio tahun 1992.