26 Februari 2019

opini musri nauli : KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN INDONESIA


KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN INDONESIA[1]
Musri Nauli[2]

Negara tropis kok pakai fosil ?”






Demikian percakapan saya dengan teman-teman Friend of Earth (FOE)[3] di Eropa, pada saat mengikuti COP 21 di Paris, November 2015.

Pertanyaan itu menggelitik dan mengganggu saya. Pertanyaan yang menggugat sekaligus mempertanyakan pandangan negara disektor ekonomi terbarukan.

Negara Jerman yang hanya mengenal musim panas pada Bulan Juni, Juli dan berakhir bulan Agustus kemudian mengenal energ1 terbarukan adalah angin. Jerman mampu menargetkan menurunkan emisi GRK sesuai protocol hingga 40% (2020) dan 80%-95% (2050). Bandingkan pada tahun 1990, menyumbang emisi mencapai 974 juta ton.

Di Belanda, musim panas cuma bulan Juni hingga September. Namun transportasi Kereta Api di Belanda tahun 2018 mampu menggunakan energ1 terbarukan sebanyak 100% dari angin.

Bayangkan, mereka hanya mempunyai sinar matahari selama 4 bulan namun mampu bersandarkan kepada teknologi dari angina. Sebuah ironi di Indonesia yang setiap hari disinari matahari. Seharian dan terus menerus.

Sebagai negeri yang diberi kekayaan luar biasa sumberdaya alam sebagaimana seloko Jambi “Padi menjadi. Rumput hijau, kerbo gepuk. Ke aek cemeti keno, ke darat durian gugur”, Indonesia masih sangat tergantung energi dari fosil. Entah Minyak, gas ataupun batubara.

Batubara menyumbang 28%, gas alam 23% dari total energi[4]. Kebijakan terhadap sumber-sumber energi terbarukan masih sedikit. 12,52% tahun 2017[5]. Sumber energi terbarukan hanya pada geoterman, tenaga air, sinar matahari dan angin.

Kebijakan negara dalam energi terbarukan dapat dilihat didalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber daya Alam Mineral No. 12 Tahun 2017 (Permen ESDM). Didalam Permen ESDM, energi terbarukan terdiri dari sinar matahari, angin, tenaga air, biomassa, sampah kota dan panas bumi.

Permen ESDM yang bersandarkan kepada PP No. 79 Tahun 2014 (PP No.79 Tahun 2014) kemudian mematok target tahun 2025, energi baru dan energi terbarukan mencapai 23 % (2025 dan 31 % (2050). Sekaligus mengurangi pemakaian fosil kurang 25 % (2025) dan 20% (205) untuk minyak bumi, 30% (2025) dan 25% (2050) untuk batubara dan 22% (2025) hingga 24% (205) untuk gas bumi[6].

Penggunaan energi terbarukan selain mewujudkan ketahanan energi negara juga bertujuan untuk menurunkan emisi CO2 sebagaimana komitmen Pemerintah RI sebesar 29% di COP[7] 21 di Paris, November 2015.

Komitmen Pemerintahan Indonesia dapat ditandai dengan optimistis mencapai 23% (2015). Baik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listri Tenaga Air (PLTA) dan pembangkit listrik Tenaga Panas Bumi yang memiliki potensi mencapai 29 gigawatt (GW). Walaupun hingga tahun 2017 baru mencapai 11,9%.[8]

Melihat target ambisius dari Pemerintah Republik Indonesia maka kebijakan ini harus didukung. Selain mengurangi pemakaian fosil, menggunakan potensi energi terbarukan yang dapat menyelamatkan bumi dan pengurangan CO2.

Ditengah masyarakat, teknologi energi terbarukan merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan.

Melihat rentang jauhnya akses untuk mendapatkan listrik, penduduk yang sedikit maka penggunaan listrik konvensional menjadi tidak relevan. Selain biaya besar untuk pemasangan listrik, jumlah penduduk yang sedikit, jauhnya jalur, membuat  energi listrik dikonsentrasikan menggunakan arus air sungai.

Di 24 Desa Merangin telah mengenal Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Dengan satu mesin pembangkit listrik untuk satu desa, maka desa kemudian dapat diterangi.

Selain itu, masyarakat yang telah mendapatkan penerangan dari PLTMH juga berkepentingan menjaga hulu sungai. Selain memastikan arus air untuk menggerakan turbin, kepentingan menjaga hutan menjadi lestari.

Di Dusun Simarantihan, Desa Suo-suo, masyarakat Suku Talang Mamak telah mengenal panel surya setiap rumah penduduk. Cukup untuk menerangi malam hari.

Di Bangka Belitung, Walhi Bangka Belitung telah bekerjasama dengan FoE Korea Selatan untuk menggunakan panel surya di 4 Desa.  

Namun penggunaan energi terbarukan masih menjadi teknologi mahal, sulit mendapatkan, kesulitan suku cadang dan belum menjadi kebijakan nasional yang kuat.

Pemakaian energi konvesional digedung-gedung bertingkat di kota besar masih menggunakan energi fosil. Pemerintah belum kuat untuk memaksa pemakaian energi terbarukan atau mengurangi pemakaian energi dari fosil di kota-kota besar.

Disisi lain, teknologi energi terbarukan belum menjadi kebutuhan massal. Selain kesulitan untuk mendapatkan teknologi dan alatnya di rumah-rumah penduduk, energi terbarukan belum menjadi pengetahuan publik.  

Pemerintah harus bekerja keras membangun industri untuk memproduksi teknologi energi terbarukan sehingga dapat diproduksi massal untuk memenuhi pasar domestik. Teknologi murah, dapat dijangkau oleh masyarakat, tersedia dipasar. Sehingga dapat mempercepat penggunaan teknologi energi terbarukan.

Publik harus diberikan edukasi, informasi untuk menggunakan energi terbarukan. Pengetahuan ini harus diimbangi dengan informasi yang terus menerus. Tidak cukup dengan kampanye “hemat listrik” sebagai slogan mengurangi pemakaian fosil.

Sudah saatnya kita beralih meninggalkan teknologi energi konvensional seperti minyak, gas dan batubara.

Apabila hingga menjelang tahun 2020, kita belum mampu memproduksi teknologi energi terbarukan secara massal, maka kita tidak mungkin lagi mengejar ketertinggalan untuk memenuhi pasokan energi terbarukan menjelang tahun 2025.

Sehingga slogan “negara tropis kok pakai fosil” adalah kritikan dan sikap ambigu bangsa Indonesia yang justru harus menikmati kemewahan menikmati matahari.


            [1] Disampaikan pada Seminar Energi – Potensi dan Pengelolaan Batubara dan Energi Terbarukan, Badko HMI Jambi, Jambi, 28 Februari 2019
            [2] Advokat. Tinggal di Jambi
            [3] Friend of Earth adalah jaringan organisasi lingkungan hidup sedunia. Terdiri dari 71 organisasi akar rumput, 15 organisasi afiliasi dan mempunyai 2 juta anggota individu di 70 negara. Berpusat di Amsterdam.
            [4] IMF, April 2011.
            [5] Tribun, 8 Januari 2018
            [6] Fikry dkk, Strategi Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia, Program Studi Teknik Elektro, Universitas Pakuan,
            [7] The Conference of the Parties (COP) adalah pertemuan dunia di Paris 2015. Sering juga disebut sebagai COP 21. Indonesia berkomitmen menurukan emisi karbon (CO2) sebesar 29%. COP merupakan program lembaga PBB, The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) paska pertemuan Rio De Janerio tahun 1992.
            [8] Kompas, 15 Agustus 2018