Ada
pepatah bijak dari para pesohor negeri. Bahasa menunjukkan Bangsa. Bahasa
menunjukkan identitas kita.
Kata-kata
bak mantra seakan menemukan momentum setelah 10 tahun terakhir ini. Penduduk
Indonesia yang sibuk “berkomunikasi” didunia media social terus membuat riuh
negeri ini.
Lihatlah.
Berbagai media online terus bermunculan. Status dari masyarakat di media social,
entah Facebook, twitter, instalgram “seakan-akan” menunjukkan identitas. Wujud
dari frasa sebuah bangsa.
Sebagai
rumpun Melayu, Bahasa Jambi adalah salah satu Bahasa yang menyumbang peradaban
Melayu Jambi. Entah disampaikan dalam upacara-upacara adat atau dalam berbagai
kesempatan sehari-hari maupun canda gurau ditengah masyarakat.
Entah didalam Seloko, pepatah bahkan berbagai “sindiran” maupun “penekanan” dari makna tertentu. Semuanya memperkaya dan kekaguman dari kita melihat warisan yang telah ditinggalkan nenek moyang ataupun leluhur masyarakat Melayu Jambi.
Namun
ketika Bahasa melayu, entah ujaran, Seloko ataupun percakapan sehari-hari
kemudian dituliskan menjadi media tulisan, baik disampaikan dimedia social maupun
media lain kemudian menimbulkan problematika mendasar.
Secara
sekilas, penulis menyoroti tentang penggunaan kata, penggunaan tanda baca
ataupun penggunaan imbuhan yang sama sekali tidak sesuai dengan ketentuan
Bahasa Indonesia.
Kesalahan
yang dilakukan berulang, terus menerus membuat “ada problema” yang mendasar
dari penggunaan kata, penggunaan tanda baca maupun penggunaan imbuhan.
Dari
sorotan inilah, penulis mencoba menarik benang merah. Sekaligus menjadi
pembelajaran agar “kesalahan” tidak berlanjut.
Penggunaan
Kata
Kesalahan
ini masih sering terjadi. Kata “Rubah” kurang tepat digunakan. Yang tepat
adalah “ubah’. Kata “rubah” adalah nama hewan.
Sehingga
kata dasar “rubah” walaupun mengalami imbuhan menjadi “Merubah” menjadi kurang
tepat.
Sebagai
kata dasar “ubah” maka ketika menjadi kalimat imbuhan justru menjadi “mengubah”.
Kesalahan
ini paling sering terjadi.
Tanda
Baca
Penggunaan
tanda baca adalah salah satu disiplin didalam menulis. Kesalahan tanda baca
ataupun tidak tepat menggunakan tanda baca membuat pembaca menjadi salah
menangkap pesan dari penulis.
Lihatlah.
Bagaimana seseorang menulis status di FB tanpa menggunakan tanda baca. Selain
mengganggu, justru akan terbangun sikap antipati untuk membaca lebih lanjut.
Selain
kesulitan menangkap, sang pembaca harus membaca beruang-ulang untuk memahami
maksud dari status di FB.
Begitu
juga penggunaan tanda baca titik (.) atau tanda baca koma (,).
Bayangkan.
Ketika membaca sebuah status FB, kita hanya melihat tanda baca di akhir
tulisan.
Padahal
pembuat status di FB menuliskannya panjang lebar. Kadang cuma diselingi tanda
baca koma.
Padahal
setiap paragraf harus melambangkan satu ide pemikiran. Setiap paragraf kemudian
tidak bisa digabung berbagai ide pemikiran.
Bukankah
sebaiknya, menulis itu mudah dipahami orang lain.
Cara
ini selain akan membantu orang memahami maksud dari sang penutur juga bertujuan
untuk mendisplinkan penulis sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan
benar.
Imbuhan
Kata
imbuhan adalah satu masalah terbesar dari sang penulis di status FB. Imbuhan
baik dimulai dengan awalan imbuhan maupun akhir imbuhan menimbulkan persoalan
yang paling besar.
Lihatlah.
Tulisan “dimana” atau “kemana” sering kali harus dipisahkan antara awalan
imbuhan “ke” dengan kata “mana”. Atau awalan imbuhan “di” yang kemudian
dipisahkan “mana.
Sehingga
sering dituliskan “Ke mana” atau “Di mana “.
Kesalahan
ini terus berulang dan hampir ditemukan diberbagai status FB.
Padahal
setiap imbuhan baik awalan imbuhan maupun akhir imbuhan harus tetap digabung
menjadi satu kalimat yang utuh.
Jadi
kata imbuhan yang tepat adalah “kemana” atau “dimana”. Begitu seterusnya.
Misalnya
“dikontrakkan”. Tidak boleh sama sekali “Di-kontrakkan” atau “Dikontrak-kkan.
Selain
itu, ada juga imbuhan yang mengalami perubahan.
Masih
ingat ketika menjelang Asian Games 2018. Kata “Mensukseskan” terus mewarnai
berbagai tempat dan berbagai acara.
Padahal
sudah jamak diketahui, kata “sukses” ketika mengalami imbuhan “me” dan “kan”
mengalami imbuhan. Sehingga kata “sukses” setelah mengalami imbuhan “me” dan “kan”
menjadi “menyukseskan”. Bukan mensukseskan. Kesalahan ini sungguh-sungguh
mengganggu.
Namun
sampai selesai hajatan, kata ini sama sekali tidak mengalami perbaikan.
Penggunaan
kata, tanda baca maupun imbuhan adalah pelajaran dasar yang diterima dibangku
sekolah. Pelajaran yang terus menerus diajarkan.
Namun
kesalahan yang terus menerus dilakukan membuat penulis kadangkala
bertanya-tanya. Apakah tidak ada upaya untuk memperbaikinya. Atau memang kita
sama sekali tidak mau belajar dan terus memperbaiki diri.
Kesalahan
kecil yang tidak diperbaiki selain mengganggu pandangan mata, justru
menempatkan kita menjadi bangsa yang abai sebagai bangsa Melayu.
Yang
menjunjung Bahasa sebagai identitas kita sebagai bangsa Indonesia.
Advokat. Tinggal di Jambi
Dimuat di www.metrojambi.com, 25 Februari 2019
https://metrojambi.com/read/2019/02/26/40897/identitas-kita/