“Bang,
pertemuan di Singapura nih, kayak Raffles menentukan Singapura dan Bengkulu “?,
kata Jefri Gideon Saragih (Bang Jef) sambil mengepulkan asap rokoknya.
Berputar-putar. Persis “kelakuan” gaya merokok anak SMA. Kamipun tertawa.
Kisah
itu kemudian membuat saya mempunyai keyakinan. Bang Jef adalah “orang yang
kritis” disetiap kesempatan.
Padahal
kutahu, kedatanganku bersama-sama dengan Desa yang sedang berkonflik dengan
perusahaan sawit, Sawit Watch sebagai “board” mempunyai posisi strategis di
Forum RSPO. Lembaga kredibel yang baru saja menyelesaikan hajatannya di
Thailand.
Sebagai
“posisi strategis sebagai board”, sikap kritis Bang Jef tidak ikut larut dalam “irama”
SW. Bang Jef tetap memposisikan diri dari sudut pandang lain.
Kisah
tentang Singapura dan Bengkulu kemudian mengingatkan “Traktat London”. Traktat
London (Treaty of London) adalah “kisah” tentang Bengkulu yang kemudian ditukar
dengan Singapura. Kitab Negara Kertagama kemudian menyebutkan “Temasek”. Sebuah
koloni dalam kekuasaan imperium Majapahit.
Dengan
“kurang ajar”, Raffles berunding dengan Belanda di Singapura dan “seenaknya”
kemudian membuat Bengkulu menjadi jajahan Inggeris. Ditengah pulau Sumatera
yang dikuasai oleh Belanda.
Saya
kemudian “membayangkan” suasana RSPO yang “seenaknya” menentukan nasib-nasib
koloni didalam persoalan sawit. Sehingga cerita bang Jef menjadi renyah untuk
dinikmati.
Kesan
sebagai orang “kritis” tidak hilang. Setelah menjadi Direktur Sawit Watch,
setiap kedatangan ke Jambi, bang Jef “menumpahkan” kekesalannya dengan sikap
funding yang hendak mengatur manajemen organisasi, mengatur arah organisasi.
Dengan
nada yang berapi-api (khas orang Batak), dia sedang membayangkan bagaimana
kekuatan organisasi yang disupport oleh pendanaan dari anggota. Entah dengan
kegiatan organisasi yang produktif, kegiatan swadaya petani sawit hingga
kemudian membuat mandiri.
Saya
tidak mengikuti perkembangan lebih jauh. Selain “kesibukan” di Walhi Jambi, berbagai
forum di nasional, Bang Jef sering mengamanatkan kepada Carlo atau mas Rambo. Yang
kutahu, SW kemudian mengundurkan diri menjadi Board SW. Sehingga forum RSPO
sebagai salah satu “pintu” untuk mempertemukan masyarakat korban sawit dengan
pemilik perusahaan menjadi “kurang perhatian” lagi.
Pertemuan
fisik dengan bang Jef adalah ketika pertemuan di bandara. Sebagai “sesama” pensiun
(saya sudah berhenti menjadi Direktur Walhi Jambi dan Bang Jef sudah berhenti
dari SW), pertemuan kami lebih banyak berdiskusi tentang “ramah tamah” sebagai
teman. Selain juga bertukar informasi tentang perkembangan teman-teman.
Bang
Jef malah bercerita tentang agenda kerja ke Papua. Agenda yang kuketahui
kemudian cukup massif kesana.
Cerita
bang Jef justru dari berbagai teman-teman lain. Entah agenda mau melanjutkan
sekolah ataupun tentang “hendak kembali kekampung”. Mengurusi politik. Cerita
yang tidak sempat kedalami.
Namun
“cerita tentang kembali kekampung” menjadi lain. Ketika hendak turun dari Damri
di Terminal Damri di Bogor, berbagai informasi masuk ke berbagai group WA.
Bang
Jef kemudian “menunaikan” janjinya. Pulang ke kampong.
Selamat
Jalan, bang Jef. Berbagai kisahmu tentang Singapura dan “ejekanmu” tentang
Raffles membuat saya yakin. Engkau adalah Inspirator. Sebuah tugas yang telah
tuntas engkau tunaikan.