Ketika
Tumenggung Orang Adat Batin Sembilan Rombong Kandang Rebo – Bawah Bedaro –
Rimbo Harapan Bakal Petas, Batanghari menyebutkan “Jempalo tangan” seketika saya tersentak. Sebagai sebuah nilai, “jempalo tangan” menarik perhatian
penulis ditengah pengetahuan tentang masyarakat Melayu Jambi.
Dalam
tutur yang sering disampaikan dalam berbagai pertemuan diberbagai Marga dan
Batin di Jambi, istilah “jempalo tangan”
sama sekali tidak pernah disebutkan. Bahkan terhadap kesalahan didalam hutan
sekalipun.
Sehingga
“jempalo tangan” adalah pengetahuan
baru sekaligus menunjukkan “keunikan”
didalam mengenal Masyarakat Hukum Adat di Jambi.
Ketika
kebakaran hutan dan lahan yang marak terjadi, disaat tentang “dengungan” dilarang membakar lahan,
perangkat hukum normatif seperti “larangan
membakar” begitu menggema. Entah dengan menggunakan perangkat hukum
nasional seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan maupun pasal 170 KUHP dan pasal
187 KUHP. Bahkan berbagai tempat terjadinya kebakaran sering sekali menggunakan
pasal 108 UU No. 32/2009 Tentang PPLH (baca UU Lingkungan Hidup).
Dijelaskan,
“jempalo tangan” adalah “perbuatan” melakukan perambahan dan
pendudukan kawasan hutan, melakukan penebangan kayu dan melakukan pembakaran
hutan di areal yang dilarang.
Areal
yang dilarang adalah “Masai Rusa” dan “hulu
badak”. Selain kedua wilayah itu,
masyarakat Batin Sembilan juga mengenal daerah yang dilindungi seperti “lubuk keramat” dan “Bukit Pisang Hutan”[1].
Tempat-tempat
ini menghasilkan “damar”, “rotan”, “getah
jelutung” dan berbagai umbi-umbian. Tempat penting dalam kehidupan
masyarakat Batin Sembilan.
Ketergantungan
Hutan yang menghasilkan “damar”, “rotan”, “getah jelutung” bahkan “umbi-umbian”
menyebabkan masyarakat Batin Sembilan dikategorikan sebagai “masyarakat berburu
dan meramu” (good
gethering and hunting period)[2].
Para ahli kemudian menyebutkan sebagai peradaban sebelum “pra aksara”.
Mengenal
“batin Sembilan” tidak dapat dilepaskan dari kisah tentang 9 kakak beradik.
Mereka kemudian mendiami 9 Sungai seperti Sungai Lalan, Sungai Bahar, Sungai
Jebak, Sungai Jangga, Sungai Bulian, Sungai Telisak, Sungai Sekamis, Sungai
Pemayung (hulu Sungai Pemayung/burung hantu dan Sungai Singoan (Riset PW AMAN
Jambi, 2012).
Didalam “Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig
Genootschap” disebutkan in het
batin gebied staan de woningen in de doesoen. Dengan
demikian, maka Batin terdiri dari beberapa Dusun. Cerita di masyarakat, arti kata “batin” berasal dari kata “asal”. Makna ini kemudian menjadi dasar
untuk pembagian Dusun.
Batin
Telisak dan Batin Sekamis kemudian dikenal Marga Telisak Sekamis Batin
Sembilan. Namun sejak 1916 kemudian “menginduk” ke Marga Simpang Tiga Pauh.
Namun
khusus Batin Sembilan yang terdapat di wilayah Sungai Kandang justru masuk
kedalam Marga Mestong yang berpusat di Sungai Duren.
Wilayah (Tembo) Mestong disebutkan
didalam Piagam Mestong yang menyebutkan “Adapun perbatasan tanah pijoan
Sungai Manggis itu yang disebelah hilir di tepi sungai Batanghari Besar,
sebelah kanan mudik Muara Pijoan (Rengas Panjang dahan) dari Rengas Panjang
menuju Lebung belut, dari situ menuju Sungai raman, menurut seliuk-selangkok
Sungai Raman, dari situ menuju Rawang Medan, dari situ menuju Singkawang besar,
dari situ menuju Lopak Sepong, dari situ menuju Terah Besar, dari situ menuju
Titian Sengkawang Lubuk Tuak Belimbing, padu raksa dengan orang Pulau Betung,
dari situ ke hulu menuju teras kayu kacang serta buluh Aur dan Duren Kelapa
terkandung-kandung didalam tanah Sungai Manggis, dari situ menuju Galumbung,
dari galumbung menuju Lebung Sekamis, dari situ menuju Solok Imanan, dari situ
menuju ke Payo Lebar, dari situ menuju Sialang Sipih Besar, dari situ menuju
Sikejam, dari situ menuju Puting Payo Sikejam, dari situ menuju Pematang Tengah
dalam Payo Sikejam hingga sampai ke Kayo Aro Manggis, dari situ menuju
Sibungur, dari situ menuju Payo Kelambai, dari situ menuju Talang Durian
Petarik, dari situ menuju puting Sumanau, dari situ menuju Muara Sekah, dari
situ menuju Bakah Terang, dari situ menuju Tanjung Beliku, Air sebelok Mudik,
dari situ menuju Pematang Mimbar Duo, dari situ menuju Lasung Pelubangan, dari
situ menuju Bungkal Padu empat, yang pertama padu raksa dengan tanah Bajubang,
pad raksa dengan tanah Rengas Condong, padu raksa dengan Tanah Bulian.
Marga Mestong berbatasan dengan
Marga Awin di Dusun Sekernan, Dusun Rengas Bandung. Marga Awin berpusat di Sengeti.
Marga Mestong berbatasan Marga Jambi Kecil yang berpusat di Mudung Darat[3].
Dan Marga Mestong kemudian berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera
Selatan. Yang disering disebut sebagai “sungai lalan”. Atau biasa juga dikenal
sebagai “sialang belantak besi”.
Sedangkan
Batin yang terletak di Sungai Pemayung justru masuk kedalam Marga Pemayung Ulu
yang berpusat di Pangkal Bulian. Pangkal Bulian atau juga dikenal “rimbo bulian”
dimana terdapat hutan yang banyak pohon bulian. Pohon bulian sering juga
disebut “kayu besi”.
Bulian
adalah adalah
tanaman khas Jambi yang terkenal “kekokohannya”, kebal dari rayap dan kuat.
“Pangkal
Bulian” kemudian dikenal sebagai “Muara
Bulian”. Pusat Pemerintahan Kabupaten
Batanghari sejak ditetapkan berdasarkan UU No. 12 Tahun 1979[4].
Selain
Marga Pemayung Ulu yang berpusat di Pangkal Bulian (Muara Bulian) juga dikenal
Marga Pemayung Ilir. Marga Pemayung Ilir berpusat di Lubuk Ruso.
Bahar
adalah istilah untuk satuan terhadap barang. Dalam hal ini satuan terhadap Lada
(di Jambi sering disebut dengan Sahang). Satu bahar = 6 zaak. Atau 25-30 real
(1660. Laporan J. C. Van Leur). Dalam perkembangannya, harga satu bahar Lada
kemudian disetarakan dengan 12-30 real.
Dalam
perdagangan di Sumatera, Politik Lada dikenal memasuki paruh abad XVII. Lada
umumnya tumbuh di kawasan barat Sumatera, mulai dari utara Pasaman (kawasan
sekitar Sungai Masang dan Batang Pasaman) hingga daerah sekitar Bayang dan
Inderapura di selatan. Daerah yang paling cocok untuk penanaman lada ini
adalah kawasan yang memiliki tanah rata di tepi sungai, namun tidak persis di
pinggir sungai itu (tidak tergenang atau terendam bila banjir). Letak yang
dekat dengan pinggir sungai juga ditujukan untuk memudahkan pengangkutan bila
lada telah dipanen.
Istilah
“jempalo tangan” adalah “perbuatan” melakukan perambahan dan
pendudukan kawasan hutan, melakukan penebangan kayu dan melakukan pembakaran
hutan di areal yang dilarang diatur didalam Pasal 50 ayat (3) UU No. 41/1999
Tentang kehutanan (UU Kehutanan) dan Pasal 11- Pasal 13 UU No. 18/2013 Tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
Hal
yang mendasar adalah perbuatan “pengrusakan hutan” yang dilakukan perseorangan
kemudian diatur didalam Pasal 50 ayat (3) UU Kehutanan. Sedangkan “pengrusakan hutan” yang dilakukan “oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri
atas 2 (dua) orang atau lebih” kemudian diatur didalam UU P3H.
Selain
“jempalo tangan” dikenal juga “jempalo kaki”, jempalo mato”. “salah kaki”
kemudian kaki dipotong. Sedangkan “salah
mato”, “mato dicukik”. Dicukik
artinya “bola mata dihancurkan”
sehingga tidak dapat melihat lagi.
Norma
“jempalo tangan”, “jempalo kaki”, “jempalo mato”
mengingatkan pelaksanaan “an eyes for
eyes”. Prinsip “an eyes for eyes”
dikenal sebagai hukuman pembalasan setimpal[5].
Istilah
“jempalo tangan” adalah perbuatan
yang dilakukan disebabkan karena “tangan” yang berbuat. Sehingga “tangan” yang melakukan kesalahan, maka
tangan kemudian harus menerima sanksi. Termasuk “potong tangan” sebagaimana sering disampaikan didalam Hukum Islam (Al Maidah ayat 45).
Sistem
dasar seperti ini juga diterapkan dalam Hukum Hammurabi (2200 SM) dalam Pasal
196 menyebutkan, “If a man put out the eye of another man, his eye shall be put out. [An
eye for an eye].”[6]
(William Ian Muller, 2006).
Cara
ini kemudian ditinggalkan (Beccaria - Dei Delim e Delle Pene,
Voltaire- Utilitisch, J.J.
Rousseau - Du Contract Social, Jeremy Bentham- felicific calculus)
Selain
itu mekanisme hukuman pembalasan setimpal kemudian mengalami proses “procedural and commutative provisions.
Dalam praktek kemudian “menghindarkan” dan pelarangannya.
Dalam
praktek hukum Adat Melayu Jambi kemudian dikenal sanksi seperti “kerbo sekok. Bereh 100 gantang. Selemak
semanis”, “kambing sekok. Bereh 20 gantang. Selemak semanis” atau “ayam sekok. Bereh
segantang. Selemak semanis”.
Namun
menurut masyarakat Batin Sembilan, pentingnya masih menerapkan “jempalo tangan” adalah “penghukuman” terhadap besarnya kesalahan
terhadap hutan. Tempat penghidupan dan ketergantungan masyarakat Batin
Sembilan.
Sehingga
dengan menerapkan “jempalo tangan”
adalah bentuk “perlawanan” masyarakat
didalam menghadapi perubahan zaman.
Mengingat
pentingnya hutan bagi masyarakat Batin Sembilan, sudah saatnya kita menghormati
penerapan hukuman “jempalo tangan” oleh
masyarakat Batin Sembilan didalam cara adaptasi dengan alam.
Baca : Marga mestong
[4]
Kabupaten Batanghari Dalam Ingatan Masyarakat Melayu Jambi, Musri Nauli, www.jamberita.com, 18 Juni 2019.
[6] William Ian Muller, 2006, Eye
for An Eye,
Cambrigde University Press, Cambridge, hlm. ix.