11 Januari 2020

opini musri nauli : Problema Yuridis Pasal Perambahan Hutan









Pasal 50 ayat (3) huruf UU No. 41/1999 (UU Kehutanan) menyebutkan “Setiap orang dilarang merambah kawasan hutan”. Terhadap perbuatan kemudian “dihukum pidana penjara paling lama 10 tahun dan paling denda Rp 5 milyar (Pasal 78 ayat (2)).

Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “perbuatan merambah” yaitu perbuatan “menebasi atau menebangi tumbuah, semak, rumput” untuk membuka hutan. Sedangkan yang dimaksud dengan “merambah kawasan hutan” adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang (Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf b UU Kehutanan).

Problema yuridis mulai muncul. Berbagai ketentuan yang diatur didalam UU Kehutanan kemudian dicabut oleh UU No. 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).

Pasal 112 huruf a UU P3H kemudian mencabut norma yang diatur didalam UU Kehutanan. Sedangkan pasal 112 huruf b UUU kemudian mencabut sanksi pidana/denda yang diatur didalam pasal 78 UU Kehutanan.

Problema yuridis semakin rumit. Ketika pasal 112 huruf a UU P3H tidak mencabut pasal 50 ayat (3) huruf b UU Kehutanan menyebabkan ketentuan “larangan” merambah hutan masih merujuk kepada UU Kehutanan.

Secara yuridis, ketentuan larangan pasal 50 ayat (3) huruf b UU Kehutanan masih tetap berlaku. Sehingga dapat dijadikan sandaran untuk perbuatan “melarang merambah kawasan hutan”.

Namun ternyata pasal 112 huruf b UU P3H kemudian tetap mencabut ketentuan pasal 78 ayat (2) UU Kehutanan. Pasal 78 ayat (2) UU Kehutanan mengatur sanksi pidana terhadap “perbuatan yang dilarang” pasal 50 ayat (3) huruf b.

Atau dengan kata lain, Perbuatan “merambah kawasan hutan” sebagai “norma larangan” masih tetap hidup didalam UU Kehutanan dan tidak dicabut oleh UU P3H.

Padahal secara prinsip, doktrin menyebutkan sanksi pidana dalam suatu undang-undang dijadikan sebagai garda terdepan  dalam menyelesaikan masalah-masalah tindak pidana di Indonesia. Hukum Pidana dipandang sebagai solusi yang efektif dalam menanggulangi masalah tersebut.

H.G de Bunt dalam bukunya “strafrechtelijke handhaving van miliue recht”, “hukum pidana dapat menjadi primum remidium jika korban sangat besar, tersangka/terdakwa merupakan recidivist, dan kerugian tidak dapat dipulihkan (irreparable).

Sementara Remmelink menyebutkan, sanksi pidana hanya akan dijatuhkan apabila mekanisme penegakan hukum lain yang lebih ringan telah tiada  berdaya guna atau tidak dipandang cocok lagi.

Konsentrasi didalam doktrin kemudian menegaskan penerapan sanksi pidana dilihat dari (a) memiliki motif niat jahat (mens rea), (b) Bahwa kejahatan yang baik termasuk dalam kategori tindak pidana ringan atau berat maka penggunaan sanksi pidana tetap diposisikan sebagai ultimum remedium, (c) Perbuatan itu termasuk dalam kategori perbutan yang jahat karena tindakan itu sendiri (evil in itself) dan pada hakikatnya melanggar moral dan prinsip-prinsip norma dalam masyarakat (Mala in se atau malum in se).

Untuk itu, Negara sebagai perwakilan dari masyarakat menggunakan kewenangannya dalam mengatasi permasalahannya melalui kebijakan pidana (criminal policy).

Terlepas pergeseran sifat pemidanaan dari "primum remedium” menjadi “ultimum remedium (senjata pamungkas/senjata akhir yang digunakan hukum pidana), namun sanksi pidana adalah makna yang terdapat didalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Dimana Hukum pidana yang sifatnya harus tertulis juga memuat tindak pidana (nulla poena sine crimine) dan sanksi pidana (nullum crimen sine poena legali).

Problema yuridisi lain adalah ketika melihat didalam melihat kerusakan hutan, MK sendiri justru menyadari semangat untuk penerapan sanksi pidana didasarkan kepada (a) Prinsip pertama, Pencegahan Bahaya Lingkungan (Prevention of Harm) dan Prinsip kedua, Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle) yang menempatkan untuk melindungi lingkungan, hutan, setiap negara harus menerapkan prinsip kehati-hatian. Apabila terdapat ancaman kerusakan yang serius atau tidak dapat dipulihkan, ketiadaan bukti ilmiah tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya pencegahan penurunan fungsi lingkungan. Prinsip ini antara lain diterapkan dalam menentukan kriteria seorang yang bertanggungjawab dalam tindak pidana, meliputi unsur kealpaan, yaitu orang yang menyebabkan kerusakan hutan harus bertanggungjawab apabila yang bersangkutan menerapkan kehati-hatian di bawah standard atau tidak menerapkan kehatian-hatian sebagaimana mestinya. (Putusan MK No. 95/2014).

Sehingga menurut Von Feurbach, tindak pidana (nulla poena sine crimine) tanpa sanksi pidana (nullum crimen sine poena legali) bukanlah hukum pidana (Pasal 1 ayat (1) KUHP).

Pengabaian terhadap sanksi pidana justru akan menghilangkan dari fungsi hukum pidana itu sendiri. Sebagaimana disampaikan didalam doktrin, fungsi hukum pidana melindungi Kepentingan hukum (rechtsbelangen) yaitu Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen) Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappelijke belangen) dan Kepentingan hukum negara (staatsbelangen).

Selain juga berfungsi untuk untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat, melindungi masyarakat dan tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.  

Dimuat di www.jamberita.com, 11 Januari 2019

https://jamberita.com/read/2020/01/11/5956140/problem-yuridis-pasal-perambahan-hutan











-->