Pasal
50 ayat (3) huruf UU No. 41/1999 (UU Kehutanan) menyebutkan “Setiap orang dilarang merambah kawasan
hutan”. Terhadap perbuatan kemudian “dihukum
pidana penjara paling lama 10 tahun dan paling denda Rp 5 milyar (Pasal 78
ayat (2)).
Didalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, “perbuatan
merambah” yaitu perbuatan “menebasi atau menebangi tumbuah, semak, rumput”
untuk membuka hutan. Sedangkan yang dimaksud dengan “merambah kawasan hutan” adalah melakukan
pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang
(Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf b UU Kehutanan).
Problema
yuridis mulai muncul. Berbagai ketentuan yang diatur didalam UU Kehutanan
kemudian dicabut oleh UU No. 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (UU P3H).
Pasal
112 huruf a UU P3H kemudian mencabut norma yang diatur didalam UU Kehutanan. Sedangkan
pasal 112 huruf b UUU kemudian mencabut sanksi pidana/denda yang diatur didalam
pasal 78 UU Kehutanan.
Problema
yuridis semakin rumit. Ketika pasal 112 huruf a UU P3H tidak mencabut pasal 50
ayat (3) huruf b UU Kehutanan menyebabkan ketentuan “larangan” merambah hutan
masih merujuk kepada UU Kehutanan.
Secara
yuridis, ketentuan larangan pasal 50 ayat (3) huruf b UU Kehutanan masih tetap
berlaku. Sehingga dapat dijadikan sandaran untuk perbuatan “melarang merambah
kawasan hutan”.
Namun
ternyata pasal 112 huruf b UU P3H kemudian tetap mencabut ketentuan pasal 78
ayat (2) UU Kehutanan. Pasal 78 ayat (2) UU Kehutanan mengatur sanksi pidana
terhadap “perbuatan yang dilarang” pasal 50 ayat (3) huruf b.
Atau
dengan kata lain, Perbuatan “merambah kawasan hutan” sebagai “norma larangan” masih
tetap hidup didalam UU Kehutanan dan tidak dicabut oleh UU P3H.
Padahal
secara prinsip, doktrin menyebutkan sanksi pidana dalam suatu
undang-undang dijadikan sebagai garda terdepan dalam menyelesaikan masalah-masalah tindak
pidana di Indonesia. Hukum Pidana dipandang sebagai solusi yang efektif dalam
menanggulangi masalah tersebut.
H.G de Bunt dalam bukunya “strafrechtelijke handhaving van miliue
recht”, “hukum pidana dapat menjadi primum remidium jika korban sangat besar,
tersangka/terdakwa merupakan recidivist, dan kerugian tidak dapat dipulihkan
(irreparable).
Sementara Remmelink menyebutkan, sanksi pidana
hanya akan dijatuhkan apabila mekanisme penegakan hukum lain yang lebih ringan
telah tiada berdaya guna atau tidak
dipandang cocok lagi.
Konsentrasi
didalam doktrin kemudian menegaskan penerapan sanksi pidana dilihat dari (a) memiliki motif niat jahat
(mens rea), (
b) Bahwa kejahatan yang baik termasuk
dalam kategori tindak pidana ringan atau berat maka penggunaan sanksi pidana
tetap diposisikan sebagai ultimum remedium, (c) Perbuatan itu termasuk
dalam kategori perbutan yang jahat karena tindakan itu sendiri (evil in
itself) dan pada hakikatnya melanggar moral dan prinsip-prinsip norma dalam
masyarakat (Mala in se atau malum in se).
Untuk itu, Negara sebagai perwakilan
dari masyarakat menggunakan kewenangannya dalam mengatasi permasalahannya
melalui kebijakan pidana (criminal policy).
Terlepas pergeseran sifat pemidanaan
dari "primum remedium” menjadi “ultimum remedium (senjata pamungkas/senjata
akhir yang digunakan hukum pidana), namun sanksi pidana adalah makna yang
terdapat didalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Dimana Hukum pidana yang sifatnya harus
tertulis juga memuat tindak pidana (nulla
poena sine crimine) dan sanksi pidana (nullum
crimen sine poena legali).
Problema yuridisi lain adalah ketika
melihat didalam melihat kerusakan hutan, MK sendiri justru menyadari semangat
untuk penerapan sanksi pidana didasarkan kepada (a) Prinsip pertama, Pencegahan Bahaya
Lingkungan (Prevention of Harm) dan Prinsip kedua, Prinsip
Kehati-hatian (Precautionary Principle) yang menempatkan untuk melindungi lingkungan, hutan, setiap
negara harus menerapkan prinsip kehati-hatian. Apabila terdapat ancaman
kerusakan yang serius atau tidak dapat dipulihkan, ketiadaan bukti ilmiah tidak
dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya pencegahan penurunan fungsi
lingkungan. Prinsip ini antara lain diterapkan dalam menentukan kriteria
seorang yang bertanggungjawab dalam tindak pidana, meliputi unsur kealpaan,
yaitu orang yang menyebabkan kerusakan hutan harus bertanggungjawab apabila
yang bersangkutan menerapkan kehati-hatian di bawah standard atau tidak
menerapkan kehatian-hatian sebagaimana mestinya. (Putusan MK No. 95/2014).
Sehingga menurut Von Feurbach, tindak pidana (nulla poena sine crimine) tanpa sanksi pidana (nullum crimen sine poena legali) bukanlah hukum pidana
(Pasal 1 ayat (1) KUHP).
Pengabaian terhadap sanksi pidana justru akan
menghilangkan dari fungsi hukum pidana itu sendiri. Sebagaimana disampaikan
didalam doktrin, fungsi hukum pidana melindungi Kepentingan hukum (rechtsbelangen) yaitu Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen) Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappelijke belangen) dan Kepentingan hukum negara (staatsbelangen).
Selain
juga berfungsi untuk untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau untuk
menyelenggarakan tata dalam masyarakat, melindungi
masyarakat dan tercipta dan
terpeliharanya ketertiban umum.
Dimuat di www.jamberita.com, 11 Januari 2019
https://jamberita.com/read/2020/01/11/5956140/problem-yuridis-pasal-perambahan-hutan
Dimuat di www.jamberita.com, 11 Januari 2019
https://jamberita.com/read/2020/01/11/5956140/problem-yuridis-pasal-perambahan-hutan
-->