Menjelang tanggal 6 Januari, suasana
menyambut Jambi sebagai Provinsi begitu terasa. Provinsi Jambi terbentuk
tanggal 6 Januari 1958 berdasarkan UU No. 58 Tahun 1958 sebelumnya dikenal
sebagai suatu daerah keresidenan dalam wilayah Propinsi Sumatra Tengah, yang
meliputi daerah kekuasaannya ialah Kabupaten Merangin, Kabupaten Batang Hari
dan Kotamadya Jambi. Sedangkan Kabupaten Kerinci semula termasuk kedalam Kewedanaan
Pesisir Selatan Kerinci, Sumbar). (Sejarah
Sosial Jambi – Jambi Sebagai Kota Dagang, Depdikbud, Jakarta, 1984)
Wilayah ini kemudian dikenal didalam
Tembo Jambi didalam Perjalanan Datu Ketemunggungan dan Perjalanan Datuk
Perpatih Nan Sebatang. “Perjalanan
Datuk Ketemenggungan, dari
Lubuk Sekubung Muara Jambi, terus ke Bukit si-Guntang-guntang antara Jambi
Palembang, ke Serintik hujan Paneh, terns
ke-Gedung Terbakar batu Lentik elang menari, meniti Bukit Barisan sampai ke
Pauh manis masam sebelah, terus ke Muara Sawo, ke lbuh Buih, laju ke batu bergombak
sarang keteki terus ke Tengku Raden lndrapura sampai ke Muara Labuh.
Sedangkan Perjalanan Datuk Perpatih Nan Sebatang menyebutkan, mulai mendekati gunung merapi meniti
pematang Mandiangin, terus ke Lurah Ulu beno, bertampuk
ke bukit Gombakbetang- kai kebukit Lipo berbadi batang hari bebetok buluh sekasok mudik rantau Semabu, hilir
kerantau Limau Kapeh mudik kerantau Limau Purut, sampai kedurian bertakuk
Rajobelah Muara Labuh batas Jambi dengan Minangkabau (Tanjung Samalidu) terus
ke Sialang Belantak besi sampai Serentak Air
Hitam, sekalian air bugis terus ke Selat Berhala kembali ke ujung Jabung
bertemu Lubuk Sekubung Muara Jambi.
Didalam Tembo Propinsi Jambi, “berjenjang dari Sialang Belantak Besi, lepas
dari Durian Takuk Rajo. Melayang ke Tanjung Semelidu menuju Berajo Nan
Seberang”.
Ditengah masyarakat, batas Jambi
dengan Sumbar dikenal “durian takuk rajo”.
Sedangkan batas Jambi dengan Sumsel dikenal “Sialang belantak besi”.
Menyebutkan Datuk Ketemunggungan dan
Perjalanan Datuk Perpatih Nan Sebatang sebagai “puyang” Pagaruyung bukanlah menyebabkan Jambi kemudian masuk
kedalam Kerajaan Pagaruyung.
Deklarasi ketiga Kerajaan yaitu
Kerajaan Tanah Pilih (kemudian menjadi Kerajaan Jambi Darussalam), Kerajaan
Palembang Darussalam (Sumsel) dan Kerajaan Pagaruyung (Sumbar) kemudian
menetapkan batas ketiga kerajaan. Deklarasi ini kemudian dikenal “Deklarasi
Bukit Sitinjau Laut”. (Muchtar Agus Cholif, 2009)
Istilah “durian takuk rajo” kemudia
dikenal didalam Marga Jujuhan yaitu di “Rantau
Panjang, Jumbak, Tepian Danto, Aur gading, Talang pembesun (di Rimbo Bujang).
Dalam seloko di tengah masyarakat di
daerah hulu Sungai Batanghari dikenal seloko “Jika menghadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap
hulu maka Beraja ke Pagaruyung. Atau “mengilir berajo Jambi, lipat pandan balek
ke Minangkabaru.
Ikrar “berajo” adalah penundukan
diri. Bukan bagian dari kerajaan.
Namun menurut Watson Andaya,
berbagai dokumen hanya menunjukkan wilayah Pagaruyung hanya bisa mendukung
Margo Koto VII dan Margo Kota IX (Tebo) yang berlatar belakang Minangkabau. Orang Minangkabau
berpindah ke selatan pada abad Ke 17 atau sesudahnya dan kemudian menyatakan
diri tunduk kepada bathin dengan menyatakan diri sebagai penghulu. Kelompok
bathin migran menetap di Rawas di perbatasan Jambi dan Palembang.
Sedangkan batas Jambi – Sumsel dikenal
didalam Marga Mestong yang menyebutkan “Sungai Lalang”. Sungai yang memanjang
dari Marga Batanghari Leko melewati Marga Bayat dan Marga Lalan (Sumsel).
Di Marga Bayat (Sumsel) justru
menegaskan “apabila mudik dari Bayat
ulu”, seberang kanan adalah Jambi. Terus sampai Sungai Badak. Sedikit kiri maka
itu adalah punya Marga Lalan. Biasa dikenal sebagai “cucuran air”.
Dengan demikian maka tidak tepat
Jambi kemudian menjadi bagian (vessel) dari Kerajaan Pagaruyung. Demikian juga
Jambi tidak menjadi bagian dari Sumsel.
Selain itu juga Hukum yang berlaku
kemudian dikenal “induk delapan. Anak dua
belas”. Ada juga menyebutkan “Pucuk Undang
Nan Delapan”. Hukum yang diberlakukan sejak Datuk Paduka Berhala. Yang
kemudian dikukuhkan oleh Rangkayo Hitam.
Bandingkan dengan UU Simbur Cahaya pada
masa Pemerintahan Sido Ing Kenayan
(1629-1636). Atau UU Ratu Sinuhun.
Selain
itu juga dalam karya “To Live as Brothers” ahli sejarah Barbara Andaya
telah melukiskan dengan sangat teliti betapa rumitnya hubungan antara kedua
wilayah yang paling berpengaruh di Sumatra bagian selatan, yaitu Jambi dan
Palembang. “Tampaknya cukup jelas bahwa kedua
saudara tersebut sudah berabad-abad bersaing secara sangat gigih. Kedua saudara
tersebut selalu bersaing untuk memanfaatkan posisi strategis kedua wilayah tersebut
dalam menguasai Selat Malaka dan arus perdagangannya. Rupa-rupanya Palembang
sering dapat mengungguli Jambi dalam persaingannya sehingga Sriwijaya selalu
dikaitkan dengan Palembang sebagai pusat kerajaannya mulai dari abad ke-7
sampai dengan abad ke-11. Pada tahun 1025 Rajendra Chola yang memerintah
kerajaan Koromandel di India menyerang pusat-pusat perdagangan di Selat Malaka.
Ekspedisi militer ini merupakan pukulan dahsyat bagi Sriwijaya, dan memberi kesempatan
kepada Malayu (Jambi) untuk bangkit kembali. Walaupun Malayu telah berhasil menyingkirkan
Palembang, perubahan yang terjadi antara abad ke-11 dan abad ke-13 yang terutama
menyangkut pola perdagangan di Asia Tenggara tidak terlalu menguntungkan bagi Malayu
yang tidak pernah dapat meraih kembali status yang pernah dipegang oleh Palembang
sebagai penguasa mutlak di kawasan Selat Malaka. (Ulu Kozok, Kitab Undang-undang
Tanjung Tanah)
Dengan demikian terbantahkan Jambi
menjadi bagian dari Sumbar maupun Sumsel.
Dimasa Kesultahan Jambi Darussalam,
wilayahnya kemudian dikenal 12 Kalbu. Yaitu Awin, Pinokawan, Maji, Kebalen,
Penagan, Petajin, Aur Hitam, Pemayung, Maro Sebo, Jebus dan Tungkal. Dipimpin
seorang Temenggung sebagai wakil Sultan. (Sistem
Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Jambi, Depdikbud, 1979).
Sehingga daerah ulu Jambi masih
tetap otonom. Sebagaimana dalam laporan Charles Campbell bahwa di tahun 1800 penduduk Sungai Tenang jarang membayar upeti kepada
sultan Jambi yang selayaknya terdiri dari seekor kerbau, setahil emas, dan
seratus bambu beras dari setiap kampung. Surat-surat yang ditulis oleh
temenggung sultan Jambi yang sampai sekarang masih disimpan sebagai pusaka di
Kerinci juga menunjukkan bahwa penduduk di Kerinci tidak selalu patuh kepada
perintah rajanya di Jambi.
Provinsi Jambi kemudian terdiri dari
Kotamadya Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Tebo, Kabupaten Tanjung Jabung
Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Bungo, Kabupaten Sarolangun,
Kabupaten Merangin, Kabupaten Kerinci dan Kotamadya Sungai Penuh.
Dirgahayu Provinsi Jambi
Advokat. Tinggal di Jambi