06 Januari 2020

opini musri nauli : Tafsir Sesat Tentang Jambi


Menjelang tanggal 6 Januari, suasana menyambut Jambi sebagai Provinsi begitu terasa. Provinsi Jambi terbentuk tanggal 6 Januari 1958 berdasarkan UU No. 58 Tahun 1958 sebelumnya dikenal sebagai suatu daerah keresidenan dalam wilayah Propinsi Sumatra Tengah, yang meliputi daerah kekuasaannya ialah Kabupaten Merangin, Kabupaten Batang Hari dan Kotamadya Jambi. Sedangkan Kabupaten Kerinci semula termasuk kedalam Kewedanaan Pesisir Selatan Kerinci, Sumbar). (Sejarah Sosial Jambi – Jambi Sebagai Kota Dagang, Depdikbud, Jakarta, 1984)

Wilayah ini kemudian dikenal didalam Tembo Jambi didalam Perjalanan Datu Ketemunggungan dan Perjalanan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Perjalanan Datuk Ketemenggungan, dari Lubuk Sekubung Muara Jambi, terus ke Bukit si-Guntang-guntang antara Jambi Palembang, ke Serintik hujan Paneh, terns ke-Gedung Terbakar batu Lentik elang menari, meniti Bukit Barisan sampai ke Pauh manis masam sebelah, terus ke Muara Sawo, ke lbuh Buih, laju ke batu bergombak sarang keteki terus ke Tengku Raden lndrapura sampai ke Muara Labuh.

Sedangkan  Perjalanan Datuk Perpatih Nan Sebatang menyebutkan, mulai mendekati gunung merapi meniti pematang Mandiangin, terus ke Lurah Ulu beno, bertampuk ke bukit Gombakbetang- kai kebukit Lipo berbadi batang hari bebetok buluh sekasok mudik rantau Semabu, hilir kerantau Limau Kapeh mudik kerantau Limau Purut, sampai kedurian bertakuk Rajobelah Muara Labuh batas Jambi dengan Minangkabau (Tanjung Samalidu) terus ke Sialang Belantak besi sampai Serentak Air Hitam, sekalian air bugis terus ke Selat Berhala kembali ke ujung Jabung bertemu Lubuk Sekubung Muara Jambi.

Didalam Tembo Propinsi Jambi, “berjenjang dari Sialang Belantak Besi, lepas dari Durian Takuk Rajo. Melayang ke Tanjung Semelidu menuju Berajo Nan Seberang”.

Ditengah masyarakat, batas Jambi dengan Sumbar dikenal “durian takuk rajo”. Sedangkan batas Jambi dengan Sumsel dikenal “Sialang belantak besi”.

Menyebutkan Datuk Ketemunggungan dan Perjalanan Datuk Perpatih Nan Sebatang sebagai “puyang” Pagaruyung bukanlah menyebabkan Jambi kemudian masuk kedalam Kerajaan Pagaruyung.

Deklarasi ketiga Kerajaan yaitu Kerajaan Tanah Pilih (kemudian menjadi Kerajaan Jambi Darussalam), Kerajaan Palembang Darussalam (Sumsel) dan Kerajaan Pagaruyung (Sumbar) kemudian menetapkan batas ketiga kerajaan. Deklarasi ini kemudian dikenal “Deklarasi Bukit Sitinjau Laut”. (Muchtar Agus Cholif, 2009)

Istilah “durian takuk rajo” kemudia dikenal didalam Marga Jujuhan yaitu di “Rantau Panjang, Jumbak, Tepian Danto, Aur gading, Talang pembesun  (di Rimbo Bujang).

Dalam seloko di tengah masyarakat di daerah hulu Sungai Batanghari dikenal seloko “Jika menghadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung. Atau “mengilir berajo Jambi, lipat pandan balek ke Minangkabaru.

Ikrar “berajo” adalah penundukan diri. Bukan bagian dari kerajaan.

Namun menurut Watson Andaya, berbagai dokumen hanya menunjukkan wilayah Pagaruyung hanya bisa mendukung Margo Koto VII dan Margo Kota IX (Tebo) yang berlatar belakang Minangkabau. Orang Minangkabau berpindah ke selatan pada abad Ke 17 atau sesudahnya dan kemudian menyatakan diri tunduk kepada bathin dengan menyatakan diri sebagai penghulu. Kelompok bathin migran menetap di Rawas di perbatasan Jambi dan Palembang.

Sedangkan batas Jambi – Sumsel dikenal didalam Marga Mestong yang menyebutkan “Sungai Lalang”. Sungai yang memanjang dari Marga Batanghari Leko melewati Marga Bayat dan Marga Lalan (Sumsel).

Di Marga Bayat (Sumsel) justru menegaskan “apabila mudik dari Bayat ulu”, seberang kanan adalah Jambi. Terus sampai Sungai Badak. Sedikit kiri maka itu adalah punya Marga Lalan. Biasa dikenal sebagai “cucuran air”.  

Dengan demikian maka tidak tepat Jambi kemudian menjadi bagian (vessel) dari Kerajaan Pagaruyung. Demikian juga Jambi tidak menjadi bagian dari Sumsel.

Selain itu juga Hukum yang berlaku kemudian dikenal “induk delapan. Anak dua belas”. Ada juga menyebutkan “Pucuk Undang Nan Delapan”. Hukum yang diberlakukan sejak Datuk Paduka Berhala. Yang kemudian dikukuhkan oleh Rangkayo Hitam.

Bandingkan dengan UU Simbur Cahaya pada masa Pemerintahan Sido Ing Kenayan (1629-1636). Atau UU Ratu Sinuhun.

Selain itu juga dalam karya “To Live as Brothers” ahli sejarah Barbara Andaya telah melukiskan dengan sangat teliti betapa rumitnya hubungan antara kedua wilayah yang paling berpengaruh di Sumatra bagian selatan, yaitu Jambi dan Palembang. “Tampaknya cukup jelas bahwa kedua saudara tersebut sudah berabad-abad bersaing secara sangat gigih. Kedua saudara tersebut selalu bersaing untuk memanfaatkan posisi strategis kedua wilayah tersebut dalam menguasai Selat Malaka dan arus perdagangannya. Rupa-rupanya Palembang sering dapat mengungguli Jambi dalam persaingannya sehingga Sriwijaya selalu dikaitkan dengan Palembang sebagai pusat kerajaannya mulai dari abad ke-7 sampai dengan abad ke-11. Pada tahun 1025 Rajendra Chola yang memerintah kerajaan Koromandel di India menyerang pusat-pusat perdagangan di Selat Malaka. Ekspedisi militer ini merupakan pukulan dahsyat bagi Sriwijaya, dan memberi kesempatan kepada Malayu (Jambi) untuk bangkit kembali.  Walaupun Malayu telah berhasil menyingkirkan Palembang, perubahan yang terjadi antara abad ke-11 dan abad ke-13 yang terutama menyangkut pola perdagangan di Asia Tenggara tidak terlalu menguntungkan bagi Malayu yang tidak pernah dapat meraih kembali status yang pernah dipegang oleh Palembang sebagai penguasa mutlak di kawasan Selat Malaka. (Ulu Kozok, Kitab Undang-undang Tanjung Tanah)

Dengan demikian terbantahkan Jambi menjadi bagian dari Sumbar maupun Sumsel.

Dimasa Kesultahan Jambi Darussalam, wilayahnya kemudian dikenal 12 Kalbu. Yaitu Awin, Pinokawan, Maji, Kebalen, Penagan, Petajin, Aur Hitam, Pemayung, Maro Sebo, Jebus dan Tungkal. Dipimpin seorang Temenggung sebagai wakil Sultan. (Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Jambi, Depdikbud, 1979).

Sehingga daerah ulu Jambi masih tetap otonom. Sebagaimana dalam laporan Charles Campbell bahwa di tahun 1800 penduduk Sungai Tenang jarang membayar upeti kepada sultan Jambi yang selayaknya terdiri dari seekor kerbau, setahil emas, dan seratus bambu beras dari setiap kampung. Surat-surat yang ditulis oleh temenggung sultan Jambi yang sampai sekarang masih disimpan sebagai pusaka di Kerinci juga menunjukkan bahwa penduduk di Kerinci tidak selalu patuh kepada perintah rajanya di Jambi.

Provinsi Jambi kemudian terdiri dari Kotamadya Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Tebo, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Bungo, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Merangin, Kabupaten Kerinci dan Kotamadya Sungai Penuh.

Dirgahayu Provinsi Jambi

Advokat. Tinggal di Jambi