03 Maret 2021

opini musri nauli : Pandangan Orang Humba

Akhir-akhir ini, politik kontemporer dihebohkan dengan pernyataan Dr. Benny K Harman. Anggota DPR-RI yang melihat kedatangan Jokowi ke NTT. 


Kata-katanya yang kemudian menjadi perhatian adalah pernyataan “Peristiwa ini juga memperlihatkan masyarakat NTT rela mati, rela korbankan dirinya terpapar Covid-19 hanya untuk melihat pemimpin yang mereka cintai".


Sebagai “orang NTT” dan anggota DPR_RI dipilih dari dapil NTT 1, Benny K Harman kemudian mendapatkan protes oleh Fransisco Soarez didalam surat terbukanya yang dimuat di www.radarntt.co kemudian dengan tegas menyatakan “satu-satunya wakil rakyat NTT di Parlemen Nasional yang menyalahkan Presiden telah melanggar Protokol Kesehatan. 


Bahkan Fransisco justru menyesalkan pernyataan Benny K Harman yang menyebutkan “Benny K Harman menunjukkan minimnya apresiasi Saudara terhadap rakyat Sumba dan Flores, Nusa Tenggara Timur. 


Namun saya tidak tertarik dengan pernyataan dari Benny K Harman. Biarlah masyarakat NTT sendiri memandang bagaimana pernyataan yang dikeluarkan oleh Benny K Harman. 


Membicarakan Sumba teringat 5 tahun yang lalu. Menghadiri undangan dari Direktur Walhi NTT di Pulau Sumba. Tradisi merayakan Hari Air (Way Humba) Oktober tahun 2016. 


Negeri Sumba yang kemudian didalam dialek sering disebutkan “Humba” tidak dapat dilepaskan dari Pulau Sumba. Salah satu pulau yang berjejer dari Pulau Jawa, Pulau Bali, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Sehingga dengan penyebutan “Humba” maka tidak dapat dilepaskan dari negeri Sumba. 


Catatan arkeologi kemudian menempatkan jajaran pulau ini sering disebutkan sebagai “Sundaland”. Atau Pulau Sunda. 


Dalam pandangan kosmopolitan, orang Humba menganut keyakinan “Marapu”. Marapu berarti “Yang dihormati”  Leluhur orang Humba yang kemudian dihormati merupakan “jalan” untuk menemukan Keilahian”. Menemukan Tuhan yang menciptakan bumi dan pohon sebagai kehidupan (Pertemuan di Laiwotang, 29 Oktober 2016). 


Sebagai ajaran leluhur Marapu,  maka setiap keturunan dari orang Humba tidak boleh merusak alam, menghormati binatang, mengambil barang orang lain, tidak boleh berbohong. Ajaran ini kemudian menempatkan “anatala” yang mengawasi segala tindak tanduk manusia di muka bumi. Penyebutan “anatala” hanya disebutkan didalam doa-doa yang diucapkan oleh ratu didalam doanya didalam “Pamangu Ndewa”. 


Dalam pengucapatan terhadap Tuhan juga dikenal “Mawulu Tau” (yang menciptakan manusia), Ina Mbulu – Ama Ndaba (Ibu dan bapak dari segala sesuatu), Ina Nuku – Ama Hara (Ibu dan Bapak segala urusan).  


Sebagai masyarakat yang mengagungkan dan menghormati tentang alam, masyarakat Humba mengenal struktur social yang biasa dikenal Maramba. Maramba terdapat didalam Kabihu. 


Kabihu adalah kelompok kekerabatan yang berasal dari sistem kekerabatan berdasarkan keturunan garis ibu. Sistem kekerabatan ini mirip dengna “kaum“ dari masyarakat Minangkabau. Atau “guguk” atau Kalbu di Jambi.


Sehingga Kabihu memiliki struktur seperti Maramba dan Ratu. 


Istilah Raja tidak dikenal didalam struktur adat. Pengikraran Raja dikalangan tertentu tidak menjadi bagian dari masyarakat di Sumba. Belanda kemudian menghancurkan pranata dan kemudian membuat struktur seperti Maramba, Ratu, Kabiku, Ata. Struktur ini kemudian dikendalikan Belanda sehingga urutan struktur kemudian membuat lapisan social menjadi berbeda.


Dalam struktur social, pemangku pemerintahan mengenal Praingu. Praingu dapat dikategorikan sebagai struktur setingkat pemerintahan Desa.


Dalam struktur ini kemudian didalam Praingu mengenal sistem kekerabatan yang terletak di Praingu. Setiap kabihu diusulkan oleh kekerabatan masyarakat. Sehingga didalam Praingu terdapat beberapa Kabihu.


Humba tidak terpisahkan dari rumah adat khas dengan atap menyertai dan berbentuk limas besar diyakini sebagai tempat pemujaan kepada leluhur. Selain itu juga berfungsi sebagai “Uma Dana” yang juga berguna sebagai tempat menyimpan keramat, Bei Uma, rumah utama sebagai kegiatan sehari-hari dan Kali Kambunga, yaitu kolong rumah yang digunakan sebagai kandang hewan peliharaan.


Untuk memahami sistem kekerabatan orang Humba, maka sistem kekerabatan geneologis merupakan pembentuk kekerabatan masyarakat. Pendekatan kekerabatan geneologis merupakan perpaduan antara sistem kekerabatan di Batak dan sistem kekerabatan di Minangkabau. 


Untuk menentukan kekerabatan yang berdasarkan kekerabatan garis Ibu, penghormatan kepada garis ibu mengingatkan kepada struktur masyarakat di sistem matrilinieal. Sistem ini kemudian dikenal sebagai “mamak” sebagai perwakilan saudara laki-laki dari pihak ibu yang mewakili “kaum” didalam urusan adat dan persoalan lainnya.


Namun yang unik didalam didalam perkawinan, maka perempuan yang mengikuti laki-laki. Didalam perselisihan kekeluargaan, perempuan hendaklah harus mengadu kepada keluarga laki-laki. Setiap tahap ini disampaikan melalui prosesi yang dikenal “Panaungu” atau nasehat adat.


Negeri Humba kemudian masih bertahan dengan tradisi dan budaya yang kental. Entah tenunan maupun rumah adat yang atapnya terbuat dari ijuk. Sudah berdiri ribuan tahun yang lalu. 


Mewarisi sejarah panjang negeri Humba kemudian mengajarkan banyak hal. Termasuk menghormati tamu yang datang. Apalagi pemimpin yang dirindukan.