02 Maret 2021

opini musri nauli : Surat Tuntutan dimata Hakim

Dalam praktek peradilan hukum pidana, pembacaan surat tuntutan (requisitoir) menarik perhatian publik. Surat tuntutan (requisitoir) yang menjadi kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk dibacakan menjadi pedoman para pihak untuk menyikapinya. 


Entah didalam nota pembelaan (pleidooi) dari terdakwa/Penasehat Hukum maupun Jaksa Penuntut Umum didalam menentukan sikap terhadap putusan hakim. Apakah menyatakan banding ataupun menerima putusan hakim (vonis). 


Berdasarkan KUHAP, setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, maka Jaksa Penuntut Umum kemudian mengajukan surat tuntutan (telastelegging).


Berbeda dengan Jaksa penuntut Umum maupun terdakwa/penasehat hukum terhadap surat tuntutan, didalam menjatuhkan putusan, hakim sama sekali tidak terikat dengan surat tuntutan jaksa penuntut umum. 


Namun sebelum memeriksa persidangan, hakim hanya mendasarkan kepada surat dakwaan (telastelegging). Surat dakwaan dibacakan ketika persidangan dimulai pertama kali. 


Berbagai yurisprudensi MA tegas menyatakan “hakim tidak boleh memutuskan atau mengadili perbuatan pidana yang tidak didakwakan”. 


Mekanisme pembuktian didalam hukum acara pidana juga mengenal pembuktian berdasarkan undang-undang. Ada yang menyebutkan pembuktian berdasarkan undang-undang negative (negatief wettlijk). Dimaksudkan apabila adanya cukup bukti menurut undang-undang namun hakim tidak mempunyai keyakinan, maka terhadapnya tidak dapat dipersalahkan. 


Didalam KUHAP, hakim hanya mendasarkan kepada dua alat bukti yang sah untuk menentukan terjadinya tindak pidana dan terdakwa kemudian diminta pertanggungjawaban. 


Makna ini kemudian dipertegas “Musyawarah hakim harus didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang” (Pasal 182 ayat (3) KUHAP). 


Bahkan apabila hakim sama sekali tidak memperoleh keyakinan terhadap seorang bersalah, justru hakim tidak boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Adagium ini kemudian dikenal “in dubio pro reo”. 


Istilah lain juga sering disampaikan “Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah. Daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. 


Dengan demikian maka hakim hanya berpedoman terhadap surat dakwaan (telastelegging). Bukan surat tuntutan (requisitoir). 


Atau dengan kata lain, “dibacakan atau tidak dibacakan surat tuntutan (requisitoir)”  oleh Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dijadikan patokan hakim didalam menjatuhkan putusan. 


Proses hukum acara terus berlanjut. Terhadap surat tuntutan (requisitoir) yang kemudian tidak dibacakan maka tidak menjadi “penghalang” hakim untuk menjatuhkan putusan.