12 Maret 2022

opini musri nauli : Membaca KLHS Provinsi Jambi

 


Didalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.32/2009) disebutkan adanya pengelolaan tata ruang, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Izin Lingkungan dan Pelibatan Masyarakat. 


Keempat instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bagian dari 16 instrumen yang diatur didalam UU No. 32/2009. 

Hasil dari keempat instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kemudian dikenal sebagai pengakuan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makna tegas yang diatur didalam Pasal 33 UUD.


Keempat instrumen kemudian tegas dicantumkan didalam UU Cipta Kerja. Sehingga dapat dibaca sebagai instrumen berkaitan erat. 


Apabila menilik dari UU Cipta Kerja, Pelaksanaan tata ruang dilakukan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung Lingkungan Hidup dan Kajian Hidup Strategis (KLHS) (Pasal 14 a ayat 1). Dengan demikian maka penyusunan tata ruang wilayah harus didasarkan kepada KLHS (Pasal 19 ayat 1 UU Cipta kerja. 


Keempat instrumen tersebut inilah yang diatur dalam UU Cipta Kerja (UU CK), yang telah disahkan oleh DPR dan Pemerintah dalam Sidang Paripurna DPR-RI tertanggal 5 Oktober 2020, yaitu: Tata Ruang, Amdal, Izin lingkungan dan Pelibatan Masyarakat. Instrumen-instrumen tersebut yang diatur secara komprehensif dalam UU 32 tahun 2009 tidak berdiri sendiri sendiri, tetapi berkaitan erat antara satu instrumen dengan instrumen lainnya (interrelated).


Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah Provinsi Jambi mengajukan Tata Ruang Provinsi Jambi. Sebagai bahan bacaan Tata ruang, maka cara membacanya juga didasarkan kepada KLHS. 


Didalam KLHS disebutkan Luas wilayah Provinsi Jambi 53.435,92 KM2, yang secara geografis berada di tengah Pulau Sumatera, berhadapan dengan Selat Karimata dan Selat Berhala serta berada pada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I dan lalu lintas internasional. Posisi ini menjadikan Provinsi Jambi masuk dalam rencana Pembangunan Tol Laut di Indonesia serta menjadi provinsi yang cukup strategis karena langsung berhadapan dengan kawasan pertumbuhan ekonomi IMS-GT (Indonesia Malaysia Singapura Growth Triangle). 


Konsentrasi Pemerintah Gubernur Jambi ditandai dengan Peningkatan kualitas dan kelestarian kelestarian lingkungan hidup (sumberdaya air, lahan dan tambang) serta pengelolaan mitigasi perubahan iklim, melalui Pengelolaan dan rehabilitasi, mangrove, estuaria dan teluk. Selain juga Pengelolaan pemanfaatan lahan dengan teknologi ramah lingkungan. 


Wilayah Provinsi Jambi memiliki seluas 9.347,61 hektare hutan mangrove, yang tersebar di dua kabupaten, yakni Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar) dan Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim). 4.126 haktare diantaranya masuk dalam kawasan cagar alam hutan mangrove Pantai Timur Jambi dengan persentase tutupannya sekitar 82.90% dan kerapatan pohon 1164 pohon/ha. 


4.126 haktare kemudian di bawah kewenangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi.


Didalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis - Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jambi 2021-2026 disebutkan “Tingginya jasa ekosistem pengaturan iklim disebabkan bahwa sebagian besar wilayahnya masing terdiri dari hamparan hutan alam, hutan tanaman, hamparan perkebunan sagu, perkebunan karet dan hutan mangrove yang berperan dalam menjaga dan menyeimbangkan kondisi iklim di daerah tersebut”.   


Hasil penelitian Ahmad menunjukkan bahwa sebagian besar hutan mangrove di Provinsi Jambi pada Tahun 2018 berada pada tingkat kerapatan sedang (1000-1500 pohon/ha).


Dari interpretasi citra dapat dilihat bahwa di Kecamatan  Mendahara (Mendahara Ilir), Kuala Jambi, Muara Sabak Timur (Simbur Naik) dan Sadu (Sungai Sambal, Sungai Sayang, Remaobakutuo) berada pada kelas kerapatan Rapat (>1500 pohon/ha).


Kecamatan Sebrang, Tungkal Ilir, Betara Sebagian Kecamatan Mendahara (Pangkal Duri dan Sungai Ayam), Nipah Panjang dan Sadu (Sungai Lokan) berada pada kelas kerapatan Sedang. Untuk kelas kerapatan Jarang (<1000 pohon/ha), berada di Kecamatan Muaro Sabak Timur (Alang-Alang, Sungai Ular, Lambur) dan Sadu (Sungai Cemara). Tabel 73 menunjukkan perubahan kerapatan tutupan mangrove di wilayah pesisir Provinsi Jambi sepanjang tahun 1989- 2018 berdasarkan hasil analisis citra satelit. 


Data tersebut juga memperlihatkan bahwa meskipun dari sisi luasan terjadi peningkatan, namun terjadi penurunan pada tingkat kerapatan hutan mangrove. 


Ahmad memaparkan bahwa berkurangnya kerapatan hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh tekanan aktivitas manusia berupa penebangan kayu mangrove untuk kayu bakar, pembuatan arang hingga konstruksi beton. Peningkatan luasan disisi lain disebabkan adanya perubahan kembali lahan perkebunan (umumnya kelapa sawit) menjadi areal hutan mangrove dikarenakan tidak lagi layak secara ekonomi untuk dikelola. Abrasi pantai dan banjir pasang air laut menjadi penyebab utama ditelantarkannya lahan-lahan perkebunan tersebut. 


Disisi lain, data menunjukkan terjadi perubahan garis pantai sepanjang pesisir Provinsi Jambi antara tahun 1989-2018. Gambar 49 memperlihatkan bahwa garis pantai yang berada di Kecamatan Sebrang Kota, Tungkal Ilir (Kuala Tungkal), Kuala Betara (Betara Kiri), Mendahara (Pangkal Duri dan Mendahara Ilir), Kuala Jambi (Lagan Ilir), Nipah Panjang (Pemusiran) dan Sadu (Sungai Lokan, Sungai Sayang dan Remaubakutuo) mengalami perubahan yaitu penambahan daratan (akresi). Sebaliknya pada daerah Kecamatan Muara Sabak  Timur (Lambur, Sungai Ular, Simbur Naik), Nipah Panjang (Nipah Panjang) dan Sadu (Sungai Lokan, Air Hitam, Sungai Cemara, Labuan Paning dan Sungai Benuh) mengalami pengurangan daratan (Abrasi). 


Lokasi yang mengalami akresi (penambahan daratan) tutupan mangrovenya masih dominan dalam keadaan rapat hingga sedang. Sebaliknya, lokasi yang mengalami abrasi (pengurangan daratan) dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun tutupan mangrove yang kondisi kerapatan awalnya rapat, namun semakin lama kerapatannya menjadi jarang. 


Didalam KLHS disebutkan Pengelolaan ekosistem mangrove melalui pengembangan KIPJL untuk keanekaragaman hayati. Sehingga dapat diharapkan Kebijakan satu peta dan penegakan aturan implementasinya Dan adanya Sistem KIPJL untuk keanekaragaman hayati. 


Disisi lain, ekosistem mangrove Masih dikenal ditengah masyarakat.Cara Pandang masyarakat tentang mangrove yang memuat tentang nama tempat yang khas yang melambangkan Ciri dari mangrove, pandangan masyarakat tentang mangrove, pengaturan terhadap tiap-tiap ruang dari setiap wilayah mangrove, pengaturan wilayah tangkapan membuktikan masyarakat mempunyai pengetahuan didalam wilayah ekosistem mangrove. 


Selain itu juga ditandai dengan pengetahuan empiric seperti Kalender musim yang ditandai dengan tanda-tanda alam maupun tanda khas dari setiap musim, pengaturan waktu dan aktivitas yang dilakukan setiap musim. 


Belum lagi Pengetahuan tentang tumbuhan (flora) dan hewan (fauna) yang ditandai dengan Nama-nama lokal terhadap tumbuhan (flora) dan hewan (fauna), Nama ikan yang khas, kepiting, udang dan Kegunaan dari setiap tumbuhan (flora) dan hewan (fauna). 


Disisi lain Keterampilan didalam mengolah hasil dari mangrove, alat keterampilan yang tentu saja menghasilkan potensi Sumber-sumber ekonomi. 


Dukungan dari Pemerintah Provinsi Jambi sebagai konsentrasi Gubernur Jambi yang dimuat didalam Visi-Misi Jambi Mantap 2021-2026 merupakan kesempatan yang dapat digunakan sebagai capaian kegiatan. 



Advokat. Tinggal di Jambi