Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata “kait” dapat dipadankan dengan “besi (kawat dan sebagainya) yang ujungnya melentuk (seperti gancu, seruit, sangga mara).
Kata “kait” juga digunakan ukuran jarak baris pada ketikan; penunjuk ukuran jarak baris pada ketikan.
Dapat juga diartikan ekor kecil pada kaki atau kepala huruf di beberapa gambar huruf.
Namun arti “kait” ditengah masyarakat Melayu Jambi dihubungkan dengan prosesi adat didalam membuka hutan.
Istilah kait dikenal didalam istilah “Mengepang”. Mengepang adalah prosesi setelah membuka rimbo kemudian memberikan tanda dengan kayu berkait, maka dilakukan tebas dan tebang pohon. Apabila tidak dikerjakan selama 3 bulan, maka haknya menjadi hilang. Tanah kembali ke Desa.
Tanah yang telah ditebang kemudian diberikan tanda dengan kayu berkait (Mengepang).
Namun apabila ternyata tidak dikerjakan selama 3 bulan, maka haknya menjadi hilang. Tanah kembali ke Desa. Walaupun sudah dikerjakan dengna cara membuat tanda kayu (kayu berkait) namun apabila tidak dikerjakan selama 3 tahun maka haknya menjadi hilang. Tanah kemudian kembali ke desa (Belukar tuo).
Istilah kait juga dapat dihubungkan dengan seloko “belukar tuo”. Istilah belukar tuo adalah rimbo yang telah dibuka dan dikerjakan dengan cara membuat tanda kayu berkait, ditebas dan ditumbangkan, apabila tidak dikerjakan selama 3 tahun, maka haknya menjadi hilang. Tanah kembali ke Desa.
Di Kumpeh dikenal dengan Seloko “akar bakait, pakis dan tanaman Jelutung”. Ada juga menyebutkan “kait-kait” (Desa Sogo, Desa Sungai Bungur dan Desa Sponjen, Kumpeh, Muara Jambi).
Istilah “akar bekait” atau “kait-kait” adalah ciri-ciri alam yang menunjukkan gambut.
Mirip dengan ciri-ciri di Sungai Beras (Kecamatan Mendahara Ulu, Tanjabtim), dikenal istilah “duo tigo mato cangkul).
Dapat diartikan apabila “dua atau tiga mata cangkul” Masih terdapat air (yang dikategorikan sebagai rawa) maka tidak dibenarkan untuk dibuka.