05 Desember 2022

opini musri nauli : Asas contrario de limitasi

 


Didalam  pembuktian Hukum acara Perdata dikenal asas contrario de limitasi. 


Asas contrario de limitasi adalah asas yang diakui kepemilikannya terhadap tanah apabila hak atas tanah kemudian diakui oleh batas sepadan (sepadan). 


Didalam Putusan MA Nomor 444 K/TUN/2017 terkandung norma “hakim tidak memperhatikan hak penggugat dan tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan penggugat, juga tidak memberikan saran kepada penggugat di awal persidangan terkait dengan kedudukan hukumnya. Putusan ini telah melanggar asas kepastian hukum dan melanggar asas kepentingan umum yang dimaksud adalah mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. 

Asas contrario de limitasi harus dibuktikan dengan bukti-bukti dan keterangan batas sepadan. Sehingga terhadap kepemilikkan terhadap tanah menjadi terang. 


Cara Pandang hakim (ratio Decidendi) ini kemudian mengutamakan kepentingan para pihak untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap tanah (Benda tidak bergerak).


Didalam Hukum Adat Melayu Jambi juga dikenal Asas contrario de limitasi. Berbagai seloko seperti “mentaro”, “pringgan”, “Pasak mati” atau “Patok mati”, “takuk pohon”. “tuki”, “sak Sangkut”, “hilang celak. Jambu Kleko”, “Cacak Tanam. Jambu Kleko” dan “Lambas”. 

.  Di daerah ilir Jambi dikenal  “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati”.  


Sebagai batas tanah maka akan Mudah ditandai. Misalnya didalam tradisi melambas maka ditandai dengan “Kayu pengait. 


Atau bisa juga ditandai dengan cara sistem tuki (Pohon kayu silang). Atau pohon dikupang-kupang sebagai tanda telah membuka rimbo. 


Menempatkan asas contrario de limitasi didalam upaya menyelesaikan masalah pertanahan adalah pondasi penting didalam Hukum acara Perdata. 


Terhadap ketidakadaan penanda tanah didalam pembuktian Asas contrario de limitasi maka dapat dikatakan sebagai “tanah terlantar”. 


Advokat. Tinggal di Jambi